Festival Ragam Nusantara Ajak Masyarakat Rawat Keberagaman
A
A
A
JAKARTA - Selama beberapa hari terselenggaranya Festival Ragam Nusantara di Kota Tua selain dimeriahkan pameran foto, bazaar, musik dan tari, telah terjadi berbagai pertukaran pengetahuan mengenai pentingnya merawat keragaman untuk menjaga persatuan.
Hari kedua Festival, diadakan Rembug Pemuda untuk Politik Arif (Redapolar) II, sebuah forum diskusi pemuda lintas profesi dan organisasi yang bertujuan meredakan polarisasi politik. Peserta diskusi adalah; Lukas Simanjuntak (advokat), Maksum Syam (peneliti pedesaan), Yennie Heriachandra (penggiat upaboga), Wira Herdiansyah (koki), Kanti W. Janis (advokat/novelis), bersama Sunil Tolani (motivator/pengusaha) sebagai moderator. Sore itu masing-masing mengungkapkan keresahannya atas situasi belakangan yang mengancam keragaman.
Hari berikutnya, Savic Ali Direktur NU on-line dan Damar Juniarto SafeNet Indonesia secara bergantian memaparkan usaha-usaha merawat keragaman dengan media sosial.
Diskusi Sabtu dilanjutkan dengan tema "Pentingnya Merawat Keragaman Pengetahuan Lokal” dengan Eko Cahyono Direktur Sajogyo Institut dan Nia Sjahrifudin Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Eko memaparkan konflik agraria banyak bersumber pada cara pandang korporasi yang menyederhanakan pergusuran dengan kompensasi materiil. Padahal setiap masyarakat memiliki hubungan emosional, ikatan sejarah dan budaya dengan tanah yang didiaminya.
Hari Minggu, 8 Oktober 2017, sebagai puncak Festival Ragam Nusantara di Kota Tua, diadakan diskusi bersama para tokoh seperti; Sarwono Kusumaatmadja, Bambang Harymurti, Herawati Supolo Sudoyo dan Saraswati Putri, dengan moderator Olga Lydia.
Herawati sebagai peneliti Lembaga Biologi Molekuler Ejikman mengangkat penelitian Geneka Tunggal Ika, berbeda gen tapi tetap satu. Ia memaparkan asal-usul orang Indonesia yang beragam, juga menunjukkan asal-usul semua manusia modern berasal dari Afrika.
Sementara, Sarwono berefleksi saat ia tinggal di Yugoslavia, tanda-tanda perpecahan negara itu sudah mulai terasa saat anak-anak kecil mulai menjelekkan kelompok lain. Di Indonesia sudah terlihat gejala anak-anak menjelekkan agama orang lain, itu adalah peringatan keras yang harus dicermati.
"Tapi sebenarnya tidak ada orang yang berseteru karena suku, ras, agama itu hanya simbol belaka, dari dulu yang membuat perseteruan sebenarnya selalu tiga hal, yaitu; air, makanan dan energi. Motif manusia bekerja sama atau bermusuhan ditentukan dari persepsi tentang metode bertahan hidup, maka jika Indonesia mau jaya harus memperkuat persepsi kesatuan dalam keragaman untuk ketahanan," tuturnya.
Kemudian, Bambang Harymurti mengatakan banyak konflik muncul karena gentrifikasi, di mana masyarakat pendatang dari kota masuk ke desa kemudian membeli semua lahan dan menerapkan gaya hidup perkotaan. Belajar dari Hawai, pemerintah melindungi kepemilikan tanah rakyat untuk melindungi keragaman.
Selanjutnya, menurut Saraswati untuk menjaga keragaman, para penopang keragaman yaitu masyarakat adat harus dilindungi. Bagaimana keragaman Nusantara dapat terawat apabila persekusi terhadap masyarakat adat terus berlangsung.
Hari kedua Festival, diadakan Rembug Pemuda untuk Politik Arif (Redapolar) II, sebuah forum diskusi pemuda lintas profesi dan organisasi yang bertujuan meredakan polarisasi politik. Peserta diskusi adalah; Lukas Simanjuntak (advokat), Maksum Syam (peneliti pedesaan), Yennie Heriachandra (penggiat upaboga), Wira Herdiansyah (koki), Kanti W. Janis (advokat/novelis), bersama Sunil Tolani (motivator/pengusaha) sebagai moderator. Sore itu masing-masing mengungkapkan keresahannya atas situasi belakangan yang mengancam keragaman.
Hari berikutnya, Savic Ali Direktur NU on-line dan Damar Juniarto SafeNet Indonesia secara bergantian memaparkan usaha-usaha merawat keragaman dengan media sosial.
Diskusi Sabtu dilanjutkan dengan tema "Pentingnya Merawat Keragaman Pengetahuan Lokal” dengan Eko Cahyono Direktur Sajogyo Institut dan Nia Sjahrifudin Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Eko memaparkan konflik agraria banyak bersumber pada cara pandang korporasi yang menyederhanakan pergusuran dengan kompensasi materiil. Padahal setiap masyarakat memiliki hubungan emosional, ikatan sejarah dan budaya dengan tanah yang didiaminya.
Hari Minggu, 8 Oktober 2017, sebagai puncak Festival Ragam Nusantara di Kota Tua, diadakan diskusi bersama para tokoh seperti; Sarwono Kusumaatmadja, Bambang Harymurti, Herawati Supolo Sudoyo dan Saraswati Putri, dengan moderator Olga Lydia.
Herawati sebagai peneliti Lembaga Biologi Molekuler Ejikman mengangkat penelitian Geneka Tunggal Ika, berbeda gen tapi tetap satu. Ia memaparkan asal-usul orang Indonesia yang beragam, juga menunjukkan asal-usul semua manusia modern berasal dari Afrika.
Sementara, Sarwono berefleksi saat ia tinggal di Yugoslavia, tanda-tanda perpecahan negara itu sudah mulai terasa saat anak-anak kecil mulai menjelekkan kelompok lain. Di Indonesia sudah terlihat gejala anak-anak menjelekkan agama orang lain, itu adalah peringatan keras yang harus dicermati.
"Tapi sebenarnya tidak ada orang yang berseteru karena suku, ras, agama itu hanya simbol belaka, dari dulu yang membuat perseteruan sebenarnya selalu tiga hal, yaitu; air, makanan dan energi. Motif manusia bekerja sama atau bermusuhan ditentukan dari persepsi tentang metode bertahan hidup, maka jika Indonesia mau jaya harus memperkuat persepsi kesatuan dalam keragaman untuk ketahanan," tuturnya.
Kemudian, Bambang Harymurti mengatakan banyak konflik muncul karena gentrifikasi, di mana masyarakat pendatang dari kota masuk ke desa kemudian membeli semua lahan dan menerapkan gaya hidup perkotaan. Belajar dari Hawai, pemerintah melindungi kepemilikan tanah rakyat untuk melindungi keragaman.
Selanjutnya, menurut Saraswati untuk menjaga keragaman, para penopang keragaman yaitu masyarakat adat harus dilindungi. Bagaimana keragaman Nusantara dapat terawat apabila persekusi terhadap masyarakat adat terus berlangsung.
(kri)