Fadli Zon: AIPA dan ASEAN Harus Bekerja Sama Atasi Krisis Rohingya
A
A
A
JAKARTA - Fadli Zon menjadi Ketua delegasi parlemen Indonesia dalam Sidang Umum AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) ke-38 di Manila, Sabtu (16/9/2017) waktu setempat.
Dalam sidang umum yang juga dihadiri oleh delegasi parlemen negara-negara peninjau, seperti Rusia, RRC, Jepang, Korea, Kanada, dan Australia, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menyampaikan sejumlah persoalan yang dihadapi ASEAN hari ini. Ia juga menyoroti isu kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
“AIPA merupakan forum diplomasi parlemen yang strategis. Melalui AIPA, parlemen negara-negara ASEAN, termasuk negara-negara peninjau yang hadir dari berbagai kawasan, bisa mendukung kegiatan diplomasi pemerintahan negaranya masing-masing. DPR ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas pentingnya kemitraan antara lembaga legislatif dan eksekutif di ASEAN," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews.
Menurutnya, bagaimanapun diplomasi adalah sebuah tindakan kolektif. Untuk menuju Masyarakat ASEAN 2025, butuh sinergi antara diplomasi parlemen dengan diplomasi pemerintah.
“Ada empat persoalan kunci yang kini dihadapi oleh negara-negara ASEAN, yaitu kemiskinan, kesenjangan, perubahan iklim, sengketa perbatasan, dan konflik internal," ucap dia.
Dalam sidang AIPA kali ini, kata Fadli, delegasi parlemen Indonesia mengajukan empat proposal, yaitu mengenai penyelesaian aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, mengenai isu lingkungan terkait kemaritiman, pentingnya pembangunan ekonomi inklusif dalam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), serta mengenai pengembangan kapasitas AIPA.
“Dalam isu mengenai konflik Laut Cina Selatan, DPR RI menegaskan bahwa pihak Indonesia juga mendorong penyelesaian damai. Tanpa perdamaian, integrasi regional tidak akan mungkin tercapai. Isu keamanan dan stabilitas kawasan memang mendapat catatan penting, terutama terkait agenda Masyarakat ASEAN 2025,” tuturnya.
Dari empat proposal itu, lanjut Fadli, delegasi parlemen Indonesia memberi bobot perhatian yang sangat besar terhadap isu Rohingya, karena ini adalah isu yang aktual, mendapat perhatian dunia internasional, menyangkut soal keamanan, dan terutama karena ini menyangkut kemanusiaan.
“Kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar telah berpengaruh terhadap kawasan dan bisa membawa kita pada kemunduran. Ketika sepertiga penduduk Rohingya harus melarikan diri dari negaranya karena ketidakadilan dan kekerasan, tak ada kata-kata lain untuk menggambarkannya bahwa ini adalah pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan pelanggaran berat terhadap HAM,” tegasnya.
Dia menjelaskan, posisi Indonesia dalam masalah ini sangat keras dan jelas, mengutuk serangan sistematis terhadap etnis minoritas Rohingya. Parlemen Indonesia mendesak semua pihak untuk menghormati hukum yang berlaku, menahan diri secara maksimal, dan menghentikan kekerasan yang masih berlangsung di Rakhine.
"Pemerintah dan parlemen Myanmar harus memulihkan perdamaian dan stabilitas, serta memberikan jaminan keamanan dan bantuan untuk semua pihak tanpa memperhatikan etnis, ras, agama dan kepercayaan mereka.”
Secara kolektif, tambah Fadli, sebagai anggota ASEAN, Indonesia harus mengakhiri pengusiran dan penderitaan mereka yang terkena dampak kekerasan. "Kami mendorong pemerintah Myanmar untuk melaksanakan rekomendasi dari Komisi Penasihat PBB di Rakhine dan juga untuk membuka negara mereka untuk bantuan kemanusiaan dan mematuhi hukum internasional dalam menangani masalah pengungsi,” tutupnya.
Dalam sidang umum yang juga dihadiri oleh delegasi parlemen negara-negara peninjau, seperti Rusia, RRC, Jepang, Korea, Kanada, dan Australia, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menyampaikan sejumlah persoalan yang dihadapi ASEAN hari ini. Ia juga menyoroti isu kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
“AIPA merupakan forum diplomasi parlemen yang strategis. Melalui AIPA, parlemen negara-negara ASEAN, termasuk negara-negara peninjau yang hadir dari berbagai kawasan, bisa mendukung kegiatan diplomasi pemerintahan negaranya masing-masing. DPR ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas pentingnya kemitraan antara lembaga legislatif dan eksekutif di ASEAN," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews.
Menurutnya, bagaimanapun diplomasi adalah sebuah tindakan kolektif. Untuk menuju Masyarakat ASEAN 2025, butuh sinergi antara diplomasi parlemen dengan diplomasi pemerintah.
“Ada empat persoalan kunci yang kini dihadapi oleh negara-negara ASEAN, yaitu kemiskinan, kesenjangan, perubahan iklim, sengketa perbatasan, dan konflik internal," ucap dia.
Dalam sidang AIPA kali ini, kata Fadli, delegasi parlemen Indonesia mengajukan empat proposal, yaitu mengenai penyelesaian aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, mengenai isu lingkungan terkait kemaritiman, pentingnya pembangunan ekonomi inklusif dalam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), serta mengenai pengembangan kapasitas AIPA.
“Dalam isu mengenai konflik Laut Cina Selatan, DPR RI menegaskan bahwa pihak Indonesia juga mendorong penyelesaian damai. Tanpa perdamaian, integrasi regional tidak akan mungkin tercapai. Isu keamanan dan stabilitas kawasan memang mendapat catatan penting, terutama terkait agenda Masyarakat ASEAN 2025,” tuturnya.
Dari empat proposal itu, lanjut Fadli, delegasi parlemen Indonesia memberi bobot perhatian yang sangat besar terhadap isu Rohingya, karena ini adalah isu yang aktual, mendapat perhatian dunia internasional, menyangkut soal keamanan, dan terutama karena ini menyangkut kemanusiaan.
“Kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar telah berpengaruh terhadap kawasan dan bisa membawa kita pada kemunduran. Ketika sepertiga penduduk Rohingya harus melarikan diri dari negaranya karena ketidakadilan dan kekerasan, tak ada kata-kata lain untuk menggambarkannya bahwa ini adalah pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan pelanggaran berat terhadap HAM,” tegasnya.
Dia menjelaskan, posisi Indonesia dalam masalah ini sangat keras dan jelas, mengutuk serangan sistematis terhadap etnis minoritas Rohingya. Parlemen Indonesia mendesak semua pihak untuk menghormati hukum yang berlaku, menahan diri secara maksimal, dan menghentikan kekerasan yang masih berlangsung di Rakhine.
"Pemerintah dan parlemen Myanmar harus memulihkan perdamaian dan stabilitas, serta memberikan jaminan keamanan dan bantuan untuk semua pihak tanpa memperhatikan etnis, ras, agama dan kepercayaan mereka.”
Secara kolektif, tambah Fadli, sebagai anggota ASEAN, Indonesia harus mengakhiri pengusiran dan penderitaan mereka yang terkena dampak kekerasan. "Kami mendorong pemerintah Myanmar untuk melaksanakan rekomendasi dari Komisi Penasihat PBB di Rakhine dan juga untuk membuka negara mereka untuk bantuan kemanusiaan dan mematuhi hukum internasional dalam menangani masalah pengungsi,” tutupnya.
(kri)