Rohingya, Damailah Saudaraku

Rabu, 13 September 2017 - 08:15 WIB
Rohingya, Damailah Saudaraku
Rohingya, Damailah Saudaraku
A A A
Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015

KONFLIK beraroma agama, politik, dan ekonomi di Rohingya membara. Komunitas muslim menjadi sasaran kebiadaban. Human Rigths Watch merilis sebanyak 2.625 rumah komunitas muslim hancur lebur akibat serangan Arakan Rohingya Salvation Army ke-30 pos polisi sejak 25 Agustus 2017. Sedikitnya 58.600 muslim tunggang-langgang, menyelamatkan diri ke Bangladesh (2/9/2017).

Derita penduduk Rohingya merupakan derita kemanusiaan, bagian derita dunia, dan derita Indonesia. Kepribadian bangsa Indonesia terusik untuk berbuat sesuatu yang terbaik sesuai amanat konstitusi: ”ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Langkah-langkah strategis terus dilakukan Menlu RI antara lain, (1) mendorong Organisasi Kerja Sama Negara Islam (OKI) membantu menyelesaikan masalah Rohingya dan konflik di Marawi (11/7/2017), (2) memberikan bantuan kemanusiaan serta peningkatan kapasitas (12/7/ 2017), (3) menemui pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, (4) memfasilitasi terbentuknya Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang beranggota 11 ormas dan lembaga kemanusiaan. Langkah-langkah konkret Pemerintah Indonesia tersebut patut diapresiasi dan mestinya diikuti negara-negara lainnya.

Pada hemat saya, konflik Rohingya perlu diselesaikan secara fundamental. Faktor-faktor agama, kemanusiaan, natur, dan struktur, perlu dilihat secara utuh menyeluruh melalui pendekatan holistik.

Pertama, Pemerintah Myanmar dan penganut agama Buddha di Rohingya, wajib menghormati dan melindungi hak-hak keberagaman serta kemanusiaan kaum muslim. Bukankah pesan moral religius-humanistik sudah berkumandang sejak abad ke-7 ketika Muhammad SAW berkhotbah di Arafah. ”Wahai manusia, sungguh darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah haram. Artinya, setiap manusia tidak boleh mengalirkan darah, merampas harta, dan mengganggu kehormatan sesamanya atas alasan apa pun.” Pesan moral religius-humanistik itu tidak hanya tertuju kepada umat Islam saja, melainkan meliputi seluruh penduduk dunia. Ingat, tahun 2014, tokoh karismatik—Dalai Lama—meminta umat Buddha menghentikan kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka. ”Saya menyerukan kepada umat Buddha di Myanmar, Sri Lanka, membayangkan wajah Buddha sebelum mereka berbuat kejahatan. Buddha mengajarkan cinta dan kasih sayang. Jika Buddha ada di sana, dia akan melindungi muslim dari serangan umat Buddha,” katanya. Jelas ada kesamaan visi dan misi kemanusiaan antara Islam dan Buddha. Masing-masing umat mestinya segera kembali pada ajaran kemanusiaan hakiki itu.

Kedua, dalam pemerintah Myanmar nyaris tak ada jaminan struktural terhadap kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial bagi muslim Rohingya. Menurut Fortify Rights, pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks kontra-pemberontakan di Provinsi Rakhine bukanlah hal baru. Pihak berwajib sering kali menuduh Rohingya terlibat dengan ekstremis bersenjata. Sejak 2012 lebih dari 100 orang tewas dalam bentrok antara Rohingya dan suku Rakhine penganut Buddha. Sekitar 125 ribu orang, mayoritas Rohingya, terusir dari rumahnya (10/10/ 2016). Sepantasnya dunia mengutuk Aung San Suu Kyi yang diam seribu bahasa. Betapapun soal struktur pemerintahan merupakan urusan dalam negeri Myanmar, tetapi dalam perspektif agama dan kemanusiaan, struktur pemerintahan diskriminatif jelas melanggar hukum internasional, hak asasi manusia, dan bertentangan dengan hukum Tuhan. Desakan Menlu RI terhadap Aung San Suu Kyi untuk berbuat adil, sungguh mendasar, sah, dan mestinya diperhatikan Aung San Suu Kyi.

Ketiga, Rakhine dikenal sebagai wilayah kaya sumber daya alam, tetapi kehidupan di sana timpang. Angka kemiskinan tinggi, gap antara kaya-miskin begitu lebar. Persoalan kemiskinan senantiasa rawan konflik, terutama ketika komunitas muslim diperlakukan diskriminatif secara budaya, dieksploitasi secara ekonomi, dan disingkirkan secara politis. Selama ini muslim Rohingya dipandang sebagai pesaing dalam pencarian pekerjaan, berwirausaha, maupun menjaga identitas Rakhine. Api konflik cepat berkobar ketika permasalahan kemiskinan ditarik ke ranah politik. Komunitas Rohingya dianggap pengkhianat lantaran tidak mendukung partai politik mayoritas penduduk setempat. Bungkamnya Aung San Suu Kyi diduga karena faktor politis ini.

Sembari memberikan kontribusi pemikiran, sikap, dan bantuan konkret, kita sebagai bangsa majemuk dalam beragama, berbudaya, dan berpolitik, perlu melakukan refleksi atas tragedi Rohingya. Keberanian mengalkulasi kesalahan sendiri merupakan langkah awal demi terwujudnya kehidupan damai yang diidamkan bersama. Setiap rezim penguasa tidak ada yang benar seluruhnya. Ibarat pasir, kesalahan terus menggunung bila tidak dikoreksi secara fundamental.

Myanmar telah berbuat kesalahan dalam pengelolaan negerinya. Indonesia tidak boleh terpuruk sebagaimana konflik yang dialami Myanmar. Oleh karenanya, perlu introspeksi. Kita sadar bahwa kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial, melekat pada jati diri bangsa, resiprokal terhadap kepribadian bangsa. Kepribadian bangsa adalah kondisi kejiwaan dan ekspresinya sebagai perilaku unik bangsa bersangkutan sehingga ia menjadi berbeda dengan bangsa lainnya. Setiap bangsa memiliki potensi menjadi bangsa berkepribadian mulia, hidup dalam kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.

Gunung pasir kejahatan di negeri ini berupa: korupsi, narkoba, kejahatan kesusilaan, tergadaikannya sumber daya alam, membengkaknya utang luar negeri, dan melebarnya gap antara kaya-miskin yang kian membesar. Semuanya merupakan implikasi negatif buruknya kepribadian bangsa dan kesalahan-kesalahan pengelolaan negara. Mari permasalahan-permasalahan itu dikoreksi secara fundamental agar tragedi Rohingya tidak terjadi di Indonesia. Damailah saudaraku di Rohingya. Damai pula Indonesia.
Wallahu’alam. *
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0461 seconds (0.1#10.140)