Pakar Hukum: UU Pemilu Diskriminasi Partai Baru
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai, Pasal 173 ayat 1 dan 3 Undang-Undang (UU) Pemilu mengandung muatan diskriminatif bagi partai politik (parpol) baru.
"Ini yang selalu menjadi problem, terkesan ada diskriminasi partai lama terhadap partai baru," kata Suparji saat dihubungi, Selasa (12/9/2017).
Adapun bunyi Pasal 173 ayat 1 UU Pemilu menyatakan, bahwa partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan atau lolos verifikasi oleh KPU.
Sedangkan, Pasal 173 ayat 3 UU Pemilu menyatakan partai politik yang telah lolos verifikasi tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
Di samping itu, Suparji menilai bahwa verifikasi faktual bisa memberikan keuntungan dan juga kelemahan terhadap partai politik tersebut.
"Mungkin mereka menganggap hal itu menguntungkan, karena pada akhirnya partai politik tidak perlu susah-susah untuk melakukan verifikasi, tetapi secara substantif akan berpotensi untuk melemahkan partai tersebut. Karena tidak bisa menjadikan momentum untuk melakukan konsolidasi melalui proses verifikasi faktual itu," katanya.
Pasalnya, konsolidasi internal menjadi hal penting bagi partai politik untuk lebih mudah menghadapi verifikasi faktual. Misalnya dengan memnuhi syarat kepemilikan pengurus di 100% provinsi, kepengurusan di 75% kabupaten/kota, dan 50% kepengurusan di tingkat kecamatan.
"Parpol lama yang melaju tanpa verifikasi ulang, ibarat menggunakan tiket yang sudah dipakai untuk pemilu 2014, kemudian dipakai lagi untuk pemilu 2019, jadi tiket yang sudah hangus kok mau dihidupkan lagi," ujarnya.
"Ini yang selalu menjadi problem, terkesan ada diskriminasi partai lama terhadap partai baru," kata Suparji saat dihubungi, Selasa (12/9/2017).
Adapun bunyi Pasal 173 ayat 1 UU Pemilu menyatakan, bahwa partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan atau lolos verifikasi oleh KPU.
Sedangkan, Pasal 173 ayat 3 UU Pemilu menyatakan partai politik yang telah lolos verifikasi tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
Di samping itu, Suparji menilai bahwa verifikasi faktual bisa memberikan keuntungan dan juga kelemahan terhadap partai politik tersebut.
"Mungkin mereka menganggap hal itu menguntungkan, karena pada akhirnya partai politik tidak perlu susah-susah untuk melakukan verifikasi, tetapi secara substantif akan berpotensi untuk melemahkan partai tersebut. Karena tidak bisa menjadikan momentum untuk melakukan konsolidasi melalui proses verifikasi faktual itu," katanya.
Pasalnya, konsolidasi internal menjadi hal penting bagi partai politik untuk lebih mudah menghadapi verifikasi faktual. Misalnya dengan memnuhi syarat kepemilikan pengurus di 100% provinsi, kepengurusan di 75% kabupaten/kota, dan 50% kepengurusan di tingkat kecamatan.
"Parpol lama yang melaju tanpa verifikasi ulang, ibarat menggunakan tiket yang sudah dipakai untuk pemilu 2014, kemudian dipakai lagi untuk pemilu 2019, jadi tiket yang sudah hangus kok mau dihidupkan lagi," ujarnya.
(mhd)