Sebanyak 50% Pengaduan ke KPK Berpotensi Korupsi

Kamis, 07 September 2017 - 18:01 WIB
Sebanyak 50% Pengaduan...
Sebanyak 50% Pengaduan ke KPK Berpotensi Korupsi
A A A
MEDAN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam satu tahun menerima sebanyak 7.000 pengaduan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 50% di antaranya memiliki potensi korupsi. Hal ini menandakan korupsi di Indonesia masih memprihatinkan.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam kegiatan seminar media bertajuk Media Massa dalam Posisi sebagai Entitas Bisnis dan Fungsi Kontrol Sosial yang digelar Biro Humas dan Keprotokolan Provinsi Sumatera Utara bekerja sama dengan KPK, di Hotel Four Points, Kamis (7/9/2017).

Selain itu, sambung Saut, di era kepemimpinan Presiden Jokowi, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih berada di peringkat 37, jauh lebih tinggi Malaysia yang berada di peringkat 50.

Oleh karena itu, kata Saut, ditargetkan hingga akhir masa jabatan Presiden Jokowi, Indekis Persepsi Korupsi Indonesia itu bisa berada pada peringkat 45.

"Saat ini Indonesia peringkat 37 masih lebih tinggi dari Malaysia yang peringkat 50. Kita menargetkan hingga masa jabatan presiden Jokowi berakhir itu nanti peringkat korupsi Indonesia bisa mencapai angka 45," tutur Saut.

Menurut dia, untuk memperbaiki hal tersebut perlu upaya perbaikan di segala bidang, termasuk oleh pimpinan politik nasional dan lokal.

Kinerja PNS pusat dan daerah, hingga persepsi korupsi pada institusi tertentu seperti kepolisian, pengadilan, bea cukai, pajak, perizinian dan militer.

“Meski saat ini sesuai undang-undang kewenangan KPK masih sebatas pemberantasan korupsi untuk instansi pemerintahan dan penyelenggara negara, namun ke depan kita berharap nantinya juga mengupayakan agar pihak swasta juga dapat menjadi objek penyelidikan KPK,” tutur Saut.

Termasuk, kata Saut, peran media yang dinilainya harus tetap melakukan kontrol sosial.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumatera Utara, Nurhajizah Marpaung mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara terbuka terhadap kritik dari media.

Kritik, menurut dia, diperlukan sebagai bentuk partisipasi dan respon masyarakat melalui media terhadap program dan kebijakan Pempro.

“Kami memiliki standarisasi, tapi belum tentu menurut pers dan masyarakat apa yang kami lakukan itu benar, makanya itu perlu kontrol dari pers. Untuk itu, baik siang maupun malam kami siap untuk dihubungi,” ujar Nurhajizah.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0814 seconds (0.1#10.140)