Saham FI Dibeli Siapa?
A
A
A
SETELAH melalui negosiasi yang panjang, akhirnya Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (FI) mencapai kata sepakat. Pemerintah Indonesia bersedia memperpanjang izin operasi FI hingga 10 tahun setelah 2021 dan FI masih punya kesempatan menambah izin 10 tahun lagi dengan tiga syarat, salah satu di antaranya perusahaan tambang emas raksasa itu siap melakukan divestasi saham sebanyak 51% kepada pihak Indonesia.
Dengan tercapainya kesepakatan tersebut, maka bola sekarang berada di pihak Indonesia. Siapa yang akan ditunjuk mengakuisisi saham kini masih dihitung berapa harga riilnya? Mungkinkah menunjuk pihak lain di luar Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Lalu, bagaimana dengan masyarakat Papua yang juga mengajukan opsi untuk mendapatkan bagian dari hasil divestasi perusahaan yang sudah beroperasi puluhan tahun di tanah Papua?
Ketiga persoalan internal yang disebutkan itu bakal menjadi perdebatan serius di tengah masyarakat. Buktinya, belum sepekan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan FI dipublikasikan, perwakilan masyarakat adat Papua dari suku Amungme dan Kamoro telah mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Perwakilan masyarakat Papua yang diterima langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan, selain mengapresiasi keberhasilan pemerintah "menundukkan" FI, juga meminta bagian dan dilibatkan dalam urusan pengelolaan tambang. Secara gamblang, Anggota Dewan Adat Papua wilayah Meepgo, John Gobai, meminta kepada pemerintah agar masyarakat mendapatkan langsung hasil dari tambang di Papua. Alasannya, masyarakat adat punya hak karena tanah tempat FI menambang adalah milik mereka.
Terlepas dari persoalan internal pemerintah terkait pengambilalihan saham FI, ketegasan pemerintah menghadapi perusahaan tambang emas itu harus diapresiasi. Sebelumnya, dalam arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat bernegosiasi dengan FI meminta kedaulatan Indonesia tetap dinomorsatukan tanpa merusak iklim investasi.
Akhirnya dicapai kesepakatan untuk menerbitkan perpanjangan izin operasi FI selama 10 tahun setelah 2021 dan bisa diperpanjang selama 10 tahun lagi asal memenuhi tiga syarat. Pertama, FI wajib mendivestasi saham sebanyak 51%. Kedua, harus membangun smelter dalam lima tahun sejak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diterbitkan. Ketiga, penerimaan negara dari pajak dan royalti harus lebih baik dibandingkan dengan landasan kontrak karya.
Meski pemerintah sudah berhasil "menundukkan" FI dengan tiga persyaratan yang diajukan untuk memperpanjang izin operasi, tapi masih terdengar nada-nada sumbang mempertanyakan mengapa izin FI mesti diperpanjang? Alangkah baiknya perusahaan tambang itu dioperasikan dan dimiliki sepenuhnya oleh negara? Rupanya pemerintah punya pertimbangan tersendiri.
Sebagaimana ditegaskan Ignasius Jonan bahwa pemerintah harus berpikir panjang seandainya mengambil alih 100% pengelolaan FI. Implikasinya banyak di antaranya bisa menimbulkan citra negatif dalam menanamkan modal di Indonesia yang bisa membuat investor asing takut menanamkan modal. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan pengambilalihan saham FI 100% bisa membuat jeda pengoperasian sementara yang pada akhirnya bisa mengganggu perekonomian dalam negeri, meski diakui bahwa kontribusi FI belakangan ini tidak terlalu signifikan.
Lantas, pertanyaan berikutnya siapa pembelinya dan berapa harga saham perusahaan tambang yang sudah 50 tahun beroperasi di Papua? Hampir pasti pemerintah bakal menunjuk BUMN pertambangan. Namun, membebankan pada segelintir BUMN pertambangan saja tentu jadi masalah karena harga saham sangat tinggi, sedang holding BUMN pertambangan belum juga terwujud sampai saat ini.
Kementerian BUMN sedang menyiapkan holding BUM pertambangan yang meliputi PT Aneka Tambang Tbk dengan aset sebesar Rp30,2 triliun, PT Inalum sebanyak Rp21,2 triliun, PT Timah Tbk sekitar Rp10 triliun, dan PT Bukit Asam yang mencapai Rp19,5 triliun. Kalau ditotal aset empat BUMN tambang tersebut sekitar Rp81 triliun.
Sebelumnya, pemerintah sudah mengantongi 9,36% saham FI, jadi sebanyak 41,64% lagi harus dibeli. Berapa nilai saham 41,64% FI? Terdapat dua versi. Pertama , kalau dihitung berdasarkan metode Fair Market Value berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak hingga 2041, maka nilai total saham FI (100%) sekitar Rp211 triliun sehingga nilai saham sebanyak 41,64% adalah Rp87,8 triliun.
Dengan metode Fair Market Value, holding BUMN pasti kesulitan sebab nilai saham FI lebih besar dari nilai aset holding BUMN. Lain lagi ceritanya jika menggunakan metode Replacement Cost sebagaimana diinginkan pemerintah. Nilai 41,64% saham FI hanya sebesar Rp32,4 triliun.
Persoalan harga saham divestasi, siapa yang mengeksekusi dan tuntutan masyarakat adat Papua untuk mendapatkan hak yang layak, jangan sampai menjadi bola liar bisa memengaruhi berubahnya kesepakatan pemerintah Indonesia dan FI.
Dengan tercapainya kesepakatan tersebut, maka bola sekarang berada di pihak Indonesia. Siapa yang akan ditunjuk mengakuisisi saham kini masih dihitung berapa harga riilnya? Mungkinkah menunjuk pihak lain di luar Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Lalu, bagaimana dengan masyarakat Papua yang juga mengajukan opsi untuk mendapatkan bagian dari hasil divestasi perusahaan yang sudah beroperasi puluhan tahun di tanah Papua?
Ketiga persoalan internal yang disebutkan itu bakal menjadi perdebatan serius di tengah masyarakat. Buktinya, belum sepekan kesepakatan Pemerintah Indonesia dan FI dipublikasikan, perwakilan masyarakat adat Papua dari suku Amungme dan Kamoro telah mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Perwakilan masyarakat Papua yang diterima langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan, selain mengapresiasi keberhasilan pemerintah "menundukkan" FI, juga meminta bagian dan dilibatkan dalam urusan pengelolaan tambang. Secara gamblang, Anggota Dewan Adat Papua wilayah Meepgo, John Gobai, meminta kepada pemerintah agar masyarakat mendapatkan langsung hasil dari tambang di Papua. Alasannya, masyarakat adat punya hak karena tanah tempat FI menambang adalah milik mereka.
Terlepas dari persoalan internal pemerintah terkait pengambilalihan saham FI, ketegasan pemerintah menghadapi perusahaan tambang emas itu harus diapresiasi. Sebelumnya, dalam arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat bernegosiasi dengan FI meminta kedaulatan Indonesia tetap dinomorsatukan tanpa merusak iklim investasi.
Akhirnya dicapai kesepakatan untuk menerbitkan perpanjangan izin operasi FI selama 10 tahun setelah 2021 dan bisa diperpanjang selama 10 tahun lagi asal memenuhi tiga syarat. Pertama, FI wajib mendivestasi saham sebanyak 51%. Kedua, harus membangun smelter dalam lima tahun sejak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diterbitkan. Ketiga, penerimaan negara dari pajak dan royalti harus lebih baik dibandingkan dengan landasan kontrak karya.
Meski pemerintah sudah berhasil "menundukkan" FI dengan tiga persyaratan yang diajukan untuk memperpanjang izin operasi, tapi masih terdengar nada-nada sumbang mempertanyakan mengapa izin FI mesti diperpanjang? Alangkah baiknya perusahaan tambang itu dioperasikan dan dimiliki sepenuhnya oleh negara? Rupanya pemerintah punya pertimbangan tersendiri.
Sebagaimana ditegaskan Ignasius Jonan bahwa pemerintah harus berpikir panjang seandainya mengambil alih 100% pengelolaan FI. Implikasinya banyak di antaranya bisa menimbulkan citra negatif dalam menanamkan modal di Indonesia yang bisa membuat investor asing takut menanamkan modal. Selain itu, pemerintah mempertimbangkan pengambilalihan saham FI 100% bisa membuat jeda pengoperasian sementara yang pada akhirnya bisa mengganggu perekonomian dalam negeri, meski diakui bahwa kontribusi FI belakangan ini tidak terlalu signifikan.
Lantas, pertanyaan berikutnya siapa pembelinya dan berapa harga saham perusahaan tambang yang sudah 50 tahun beroperasi di Papua? Hampir pasti pemerintah bakal menunjuk BUMN pertambangan. Namun, membebankan pada segelintir BUMN pertambangan saja tentu jadi masalah karena harga saham sangat tinggi, sedang holding BUMN pertambangan belum juga terwujud sampai saat ini.
Kementerian BUMN sedang menyiapkan holding BUM pertambangan yang meliputi PT Aneka Tambang Tbk dengan aset sebesar Rp30,2 triliun, PT Inalum sebanyak Rp21,2 triliun, PT Timah Tbk sekitar Rp10 triliun, dan PT Bukit Asam yang mencapai Rp19,5 triliun. Kalau ditotal aset empat BUMN tambang tersebut sekitar Rp81 triliun.
Sebelumnya, pemerintah sudah mengantongi 9,36% saham FI, jadi sebanyak 41,64% lagi harus dibeli. Berapa nilai saham 41,64% FI? Terdapat dua versi. Pertama , kalau dihitung berdasarkan metode Fair Market Value berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak hingga 2041, maka nilai total saham FI (100%) sekitar Rp211 triliun sehingga nilai saham sebanyak 41,64% adalah Rp87,8 triliun.
Dengan metode Fair Market Value, holding BUMN pasti kesulitan sebab nilai saham FI lebih besar dari nilai aset holding BUMN. Lain lagi ceritanya jika menggunakan metode Replacement Cost sebagaimana diinginkan pemerintah. Nilai 41,64% saham FI hanya sebesar Rp32,4 triliun.
Persoalan harga saham divestasi, siapa yang mengeksekusi dan tuntutan masyarakat adat Papua untuk mendapatkan hak yang layak, jangan sampai menjadi bola liar bisa memengaruhi berubahnya kesepakatan pemerintah Indonesia dan FI.
(whb)