Kritis Tangkal Hoax

Senin, 04 September 2017 - 08:01 WIB
Kritis Tangkal Hoax
Kritis Tangkal Hoax
A A A
MELIHAT hoax yang sedemikian rupa bertebaran di hari-hari kita, ada satu legenda rakyat yang agaknya baik diingat tentang seorang anak pembohong dan seekor singa. Alkisah ada seorang anak yang acap berbohong di kampungnya. Pada suatu waktu dia berteriak ketakutan karena ada singa. Orang kampung pun berlarian dengan senjata untuk menolongnya.

Ternyata dia tertawa terkekeh-kekeh karena sukses membohongi satu kampung. Kejadian seperti itu berulang beberapa kali. Sampai akhirnya benar-benar ada singa, tetapi saat itu orang sekampung sudah tak percaya teriakannya. Si anak akhirnya diterkam singa.

Cerita rakyat di atas sedikit banyak bisa menjadi pelajaran bagi kita semua dalam konteks begitu banyaknya kebohongan (hoax) di media sosial. Entah kita menjadi orang yang menyebarkan kebohongan dengan sengaja atau tidak sengaja, kredibilitas akan rusak. Memang hoax ada produsennya, tetapi hal itu tak akan bisa menyebar baik jika tak ada individu-individu yang menyebarkannya.

Kita melihat belakangan ini pemerintah sudah mulai menindak tegas masalah hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Langkah ini patut diapresiasi walaupun jauh dari cukup. Tentunya hoax tidak akan bisa hilang hanya dengan penindakan saja. Ketika permintaan (demand) akan hoax ini tetap ada, produsen hoax yang terjerat oleh aparat penegak hukum hanya akan menganggap itu sebuah kesialan belaka. Mereka tidak akan berpikir untuk bertobat, melainkan mencari cara agar tidak tertangkap. Oleh karena itu beberapa poin ini penting untuk diperhatikan dan diupayakan kita semua.

Pertama, literasi digital adalah titik penjuru dari seluruh persoalan mengenai hoax ini. Memang, tingkat literasi bangsa Indonesia sudah nyaris 100%, tetapi rasanya tingkat literasi digital masih jauh ketinggalan. Bangsa Indonesia sudah sangat kapabel untuk mengutarakan pendapat dan menyerap informasi dalam konteks konvensional. Namun booming media digital menciptakan lapangan pertandingan yang sepenuhnya berbeda. Sudah barang tentu tidak semua orang mampu beradaptasi dengan lapangan yang berbeda ini. Harus ada affirmative action baik dari pemerintah maupun stakeholder lain dalam dunia digital.

Kedua, pemerintah melalui kementeriaan komunikasi dan informasi serta kementerian dan lembaga terkait harus mampu menciptakan suatu sistem teknologi informasi yang dengan algoritma khusus mampu menyaring berita-berita hoax yang bertebaran di media digital. Tentunya akan sangat sulit, tetapi akan sangat mungkin dilakukan. Kita sudah mendegar berita beberapa media sosial di beberapa negara Eropa Barat sudah bekerja sama atas desakan pemerintahan mereka untuk menyaring media sosialnya.

Tentu artinya teknologi untuk itu sudah tersedia. Sekarang pertanyaannya, apakah pemerintah memang serius dalam membasmi hoax ini. Ada satu poin penting dalam penyaringan ini, yaitu keterbukaan. Jangan sampai ketika akhirnya mampu menyaring, pemerintah terdorong bersikap abussive atas persebaran informasi.

Ketiga, kita perlu mendorong suatu bentuk hukuman sosial terhadap pihak-pihak yang sering ikut menyebarkan informasi bohong baik itu karena ketidaktahuan maupun karena kesengajaan. Kita semua sering mengalami sendiri bagaimana dalam media sosial banyak orang yang seperti senang sekali menyebarkan informasi-informasi yang masih sumir. Ketika dikritik dan dibuktikan bahwa informasinya salah atau bahkan bohong, mereka beralasan hal itu didapat dari ”grup sebelah”.

Keempat, melatih skeptisisme dalam masyarakat. Skeptis ini tentu bukanlah sikap apatis yang menganggap semua informasi salah, melainkan sikap skeptis mendorong kita untuk selalu memastikan kebenaran informasi yang kita dapatkan sehingga bisa memilah mana informasi yang kita butuhkan, yang tidak kita butuhkan maupun informasi bohong yang disebarkan dengan maksud buruk.

Kita harus ingat, hoax itu menyebar karena ada kita semua sebagai perantaranya. Mari tangkal hoax dengan menjadi warganet yang lebih kritis.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4974 seconds (0.1#10.140)