GP Ansor Nilai Tragedi Rohingya Terjadi karena Konflik Geopolitik
A
A
A
JAKARTA - GP Ansor menilai, konflik yang dialami etnis Rohingya di Myanmar merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini, dan menduga keras ini dilakukan oleh tangan negara, baik militer, keamanan, kepolisian maupun Pemerintah Myanmar.
Hal itu dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Mahmud Syaltout. Menurutnya, didasarkan pada laporan penginderaan secara satelit oleh UNOSAT maupun HRW.
"Terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan," kata Mahmud dalam siaran pers, JUmat (1/9/2017).
GP Ansor lanjut Mahmud, mengkaji dengan seksama dari konflik di Myanmar tersebut, khususnya secara geopolitik. Mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada tahun 2013, kemudian 2016 dan semakin menguat di tahun 2017.
"Ini dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan. GP Ansor menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik," tuturnya.
"Pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa, tanah, dan sumber daya, khususnya minyak dan gas, di wilayah-wilayah sekitar," imbuhnya.
Kata Mahmud, hal itu ditambah lagi dengan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sekaligus penyiksaan selama penahanan terhadap ribuan warga Rohingya.
"Perusakan maupun penjarahan terhadap rumah, harta benda, makanan dan sumber makanan warga Rohingya secara masif, serta pengabaian maupun ketiadaan perawatan kesehatan terhadap para korban," tandasnya.
Hal itu dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Mahmud Syaltout. Menurutnya, didasarkan pada laporan penginderaan secara satelit oleh UNOSAT maupun HRW.
"Terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan," kata Mahmud dalam siaran pers, JUmat (1/9/2017).
GP Ansor lanjut Mahmud, mengkaji dengan seksama dari konflik di Myanmar tersebut, khususnya secara geopolitik. Mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada tahun 2013, kemudian 2016 dan semakin menguat di tahun 2017.
"Ini dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan. GP Ansor menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik," tuturnya.
"Pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa, tanah, dan sumber daya, khususnya minyak dan gas, di wilayah-wilayah sekitar," imbuhnya.
Kata Mahmud, hal itu ditambah lagi dengan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sekaligus penyiksaan selama penahanan terhadap ribuan warga Rohingya.
"Perusakan maupun penjarahan terhadap rumah, harta benda, makanan dan sumber makanan warga Rohingya secara masif, serta pengabaian maupun ketiadaan perawatan kesehatan terhadap para korban," tandasnya.
(maf)