Mengapa Berumah Tangga
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MESKIPUN jumlah penduduk bumi semakin bertambah dari hari ke hari, tidak berarti hidup seseorang merasa kian hangat karena banyak teman. Sebaliknya, kita sering mendengar ungkapan paradoksal, sepi dalam keramaian.
Yang demikian bisa terjadi ketika seseorang tidak memiliki teman dekat yang cocok dan saling mencintai, terutama teman hidup lawan jenis yang bisa menciptakan suasana batin, to love and to be loved, saling merasa mencintai dan dicintai. Akan lebih kuat lagi ketika perasaan batin itu dikukuhkan dalam ikatan perkawinan dengan mengikuti petunjuk dan pedoman agama sehingga menjadi lebih sakral.
Secara psikologis dan memperhatikan isyarat Alquran (30:21), dorongan orang berkeluarga itu untuk mendapatkan hidup sakinah dan memperoleh keturunan. Sakinah artinya tenang, tenteram dan nyaman, yang di dalamnya tumbuh mawaddah dan rahmah.
Yang pertama, mawaddah, dalam istilah psikologis mungkin bisa dimaknai sebagai conditional love. Yaitu, orang mencintai dan memilihnya sebagai sebagai pasangan hidup karena adanya beberapa pertimbangan, misalnya karena kecantikan atau ketampanannya, agamanya, asal-usul keluarganya, kemampuan finansialnya, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, mawaddah artinya "cinta karena". Orang memilih pasangan hidup pada tahap awalnya lebih dominan dimensi "cinta bersyarat".
Bersama jalannya waktu, diharapkan tumbuh rahmah, cinta kasih yang tulus, senantiasa ingin memberi, atau unconditional love, "cinta tanpa syarat", atau "cinta walaupun". Orang tua memiliki kiasan, rumah tangga itu bagaikan tempat berlabuh. Tentu ungkapan ini muncul dari masyarakat maritim atau pelaut. Mereka merasakan sebuah risiko perjalanan laut yang setiap saat bisa dihantam ombak.
Ketika siang hari udara panas. Ketika datang malam suasana gelap. Ikan yang diburu pun tidak selalu berhasil ditangkap. Kalau badan dan pikiran sudah letih, yang dirindukan adalah pantai tempat berlabuh untuk memperoleh suasana rileks, aman, dan nyaman.
Begitulah mestinya sebuah kehidupan rumah tangga, menjadi tempat yang membuat aman, nyaman, damai dan merdeka bagi semua anggota kekuarga begitu masuk rumah. Saat ini sesungguhnya kehidupan di darat tidak kalah bahaya dan penuh risiko dibanding kehidupan di laut bagi para nelayan.
Persaingan dan perebutan yang keras terjadi hampir di semua lini kehidupan sehingga membuat suasana hostile, hurried, dan humourless. Di mana-mana muncul suasana permusuhan, hidup serba buru-buru, dan suasana rileks, humor, jadi barang yang mahal.
Nabi Muhammad memberikan kiasan rumah tangga itu bagaikan taman surgawi, baiti jannati. Kiasan ini tentunya karena pengaruh gersangnya alam padang pasir, yang selalu merindukan taman hijau, rindang, dan tempat bermain. Demikian juga kehidupan keluarga, idealnya adalah bagaikan taman tempat santai, rileksasi, menghilangkan semua beban dan ketegangan hidup.
Tetapi pada kenyataannya kehidupan keluarga tidak selalu indah dan seideal yang dibayangkan setelah seseorang menjalin perkawinan dan membangun rumah tangga. Namun begitu, kita juga menyaksikan banyak sekali keluarga yang bahagia, mereka sukses mengalahkan dan menjinakkan berbagai problem dan tantangan yang menghadang.
Banyak pasangan yang berhasil meraih status rahmah, yaitu cinta tanpa syarat, terutama sering kita jumpai dalam pasangan tua. Mereka tetap kokoh saling mencintai "walaupun" usia sudah lanjut, "walaupun" kondisi fisik tak lagi menarik, "walaupun" sakit-sakitan, dan sekian "walaupun" lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa pohon cinta yang akarnya menghunjam, daunnya rindang dan buahnya lebat bukan datang dengan sendirinya. Tetapi mesti dipupuk, dirawat dan dijaga oleh pasangan suami-istri. Suatu usaha yang mulia namun kadang terasa berat sehingga ada juga pasangan yang putus di tengah jalan, karena berbagai faktor, mengingat jalinan suami-istri tak ada yang terbebas dari berbagai cobaan dan godaan.
Yang namanya kehidupan rumah tangga selalu saja muncul masalah-masalah baru yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya, sampai-sampai muncul ungkapan populer, It is easy to build a house, but not a home.
Bagaimana halnya dengan keturunan? Ini juga anugerah sekaligus ujian. Sering kita temukan orangtua prihatin dan merasa kurang beruntung karena tidak punya keturunan, namun tak sedikit orangtua yang mengeluh dan pusing karena problem anak-anaknya.
Perubahan sosial yang berlangsung sedemikian cepat tanpa dibarengi edukasi publik telah membuat banyak masyarakat bingung, tidak tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Orangtua selalu dibayangi rasa was-was, khawatir dan takut terhadap anak-anaknya, baik khawatir dari segi keamanan, pengaruh narkoba, perkelahian, pergaulan bebas, dan berbagai sumber kekhawatiran lain, termasuk pengaruh gerakan radikalisme-terorisme.
Pendeknya para orangtua dan guru saat ini dihadapkan problem yang semakin berat dalam mendidik anak-anak dan remaja. Belum lagi banyak remaja yang memandang pesimistis terhadap masa depan mereka.
Salah satu sumber harapan dan optimisme dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas keluarga dan masa depan generasi penerus adalah senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama, pada tradisi luhur, memiliki pendidikan yang bagus, memilih lingkungan pergaulan yang berkualitas, memberi asupan yang bergizi dan halal.
Berbagai problem yang menghadang janganlah dihindari, tetapi dipahami dan diatasi karena sesungguhnya problem kehidupan itu justru mengajarkan pada kita agar tumbuh menjadi pribadi lebih kuat dan lebih bijak.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MESKIPUN jumlah penduduk bumi semakin bertambah dari hari ke hari, tidak berarti hidup seseorang merasa kian hangat karena banyak teman. Sebaliknya, kita sering mendengar ungkapan paradoksal, sepi dalam keramaian.
Yang demikian bisa terjadi ketika seseorang tidak memiliki teman dekat yang cocok dan saling mencintai, terutama teman hidup lawan jenis yang bisa menciptakan suasana batin, to love and to be loved, saling merasa mencintai dan dicintai. Akan lebih kuat lagi ketika perasaan batin itu dikukuhkan dalam ikatan perkawinan dengan mengikuti petunjuk dan pedoman agama sehingga menjadi lebih sakral.
Secara psikologis dan memperhatikan isyarat Alquran (30:21), dorongan orang berkeluarga itu untuk mendapatkan hidup sakinah dan memperoleh keturunan. Sakinah artinya tenang, tenteram dan nyaman, yang di dalamnya tumbuh mawaddah dan rahmah.
Yang pertama, mawaddah, dalam istilah psikologis mungkin bisa dimaknai sebagai conditional love. Yaitu, orang mencintai dan memilihnya sebagai sebagai pasangan hidup karena adanya beberapa pertimbangan, misalnya karena kecantikan atau ketampanannya, agamanya, asal-usul keluarganya, kemampuan finansialnya, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, mawaddah artinya "cinta karena". Orang memilih pasangan hidup pada tahap awalnya lebih dominan dimensi "cinta bersyarat".
Bersama jalannya waktu, diharapkan tumbuh rahmah, cinta kasih yang tulus, senantiasa ingin memberi, atau unconditional love, "cinta tanpa syarat", atau "cinta walaupun". Orang tua memiliki kiasan, rumah tangga itu bagaikan tempat berlabuh. Tentu ungkapan ini muncul dari masyarakat maritim atau pelaut. Mereka merasakan sebuah risiko perjalanan laut yang setiap saat bisa dihantam ombak.
Ketika siang hari udara panas. Ketika datang malam suasana gelap. Ikan yang diburu pun tidak selalu berhasil ditangkap. Kalau badan dan pikiran sudah letih, yang dirindukan adalah pantai tempat berlabuh untuk memperoleh suasana rileks, aman, dan nyaman.
Begitulah mestinya sebuah kehidupan rumah tangga, menjadi tempat yang membuat aman, nyaman, damai dan merdeka bagi semua anggota kekuarga begitu masuk rumah. Saat ini sesungguhnya kehidupan di darat tidak kalah bahaya dan penuh risiko dibanding kehidupan di laut bagi para nelayan.
Persaingan dan perebutan yang keras terjadi hampir di semua lini kehidupan sehingga membuat suasana hostile, hurried, dan humourless. Di mana-mana muncul suasana permusuhan, hidup serba buru-buru, dan suasana rileks, humor, jadi barang yang mahal.
Nabi Muhammad memberikan kiasan rumah tangga itu bagaikan taman surgawi, baiti jannati. Kiasan ini tentunya karena pengaruh gersangnya alam padang pasir, yang selalu merindukan taman hijau, rindang, dan tempat bermain. Demikian juga kehidupan keluarga, idealnya adalah bagaikan taman tempat santai, rileksasi, menghilangkan semua beban dan ketegangan hidup.
Tetapi pada kenyataannya kehidupan keluarga tidak selalu indah dan seideal yang dibayangkan setelah seseorang menjalin perkawinan dan membangun rumah tangga. Namun begitu, kita juga menyaksikan banyak sekali keluarga yang bahagia, mereka sukses mengalahkan dan menjinakkan berbagai problem dan tantangan yang menghadang.
Banyak pasangan yang berhasil meraih status rahmah, yaitu cinta tanpa syarat, terutama sering kita jumpai dalam pasangan tua. Mereka tetap kokoh saling mencintai "walaupun" usia sudah lanjut, "walaupun" kondisi fisik tak lagi menarik, "walaupun" sakit-sakitan, dan sekian "walaupun" lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa pohon cinta yang akarnya menghunjam, daunnya rindang dan buahnya lebat bukan datang dengan sendirinya. Tetapi mesti dipupuk, dirawat dan dijaga oleh pasangan suami-istri. Suatu usaha yang mulia namun kadang terasa berat sehingga ada juga pasangan yang putus di tengah jalan, karena berbagai faktor, mengingat jalinan suami-istri tak ada yang terbebas dari berbagai cobaan dan godaan.
Yang namanya kehidupan rumah tangga selalu saja muncul masalah-masalah baru yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya, sampai-sampai muncul ungkapan populer, It is easy to build a house, but not a home.
Bagaimana halnya dengan keturunan? Ini juga anugerah sekaligus ujian. Sering kita temukan orangtua prihatin dan merasa kurang beruntung karena tidak punya keturunan, namun tak sedikit orangtua yang mengeluh dan pusing karena problem anak-anaknya.
Perubahan sosial yang berlangsung sedemikian cepat tanpa dibarengi edukasi publik telah membuat banyak masyarakat bingung, tidak tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Orangtua selalu dibayangi rasa was-was, khawatir dan takut terhadap anak-anaknya, baik khawatir dari segi keamanan, pengaruh narkoba, perkelahian, pergaulan bebas, dan berbagai sumber kekhawatiran lain, termasuk pengaruh gerakan radikalisme-terorisme.
Pendeknya para orangtua dan guru saat ini dihadapkan problem yang semakin berat dalam mendidik anak-anak dan remaja. Belum lagi banyak remaja yang memandang pesimistis terhadap masa depan mereka.
Salah satu sumber harapan dan optimisme dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas keluarga dan masa depan generasi penerus adalah senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai agama, pada tradisi luhur, memiliki pendidikan yang bagus, memilih lingkungan pergaulan yang berkualitas, memberi asupan yang bergizi dan halal.
Berbagai problem yang menghadang janganlah dihindari, tetapi dipahami dan diatasi karena sesungguhnya problem kehidupan itu justru mengajarkan pada kita agar tumbuh menjadi pribadi lebih kuat dan lebih bijak.
(whb)