Sakral dan Profan

Jum'at, 18 Agustus 2017 - 08:02 WIB
Sakral dan Profan
Sakral dan Profan
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

KEDUA istilah di atas, sakral dan profan, lazim dijumpai dalam berbagai kajian ilmu sosial, filsafat, dan agama. Secara populer sakral artinya suci, disucikan, atau dianggap suci, sedangkan profan bermakna sebaliknya. Contoh paling sederhana, ada dua buku tebal, yang satu kitab suci, satunya lagi buku akademis.

Buku pertama dianggap sakral, yang lain profan. Tentu saja sakralitas sebuah entitas berkaitan dengan kepercayaan dan iman seseorang. Kitab Injil dan Alquran bagi pemeluk Nasrani dan Islam diyakini sakral sehingga disebut kitab suci, tetapi bagi orang ateis dianggap profan.

Bagi muslim, bangunan Kakbah dan batu hitam (hajar aswad) yang melekat di tembok Kakbah, Mekkah, dianggap sakral, suci, bukan bangunan sembarangan dan bukan sembarang batu. Kakbah itu bahkan disebut baitullah dan hajar aswad itu simbol tangan Tuhan.

Secara tekstual, baitullah berarti rumah Allah. Apakah berarti rumah milik Allah ataukah Allah bertempat di situ? Tentu bukan begitu maknanya. Semua langit dan bumi seisinya adalah milik Allah.

Di situ terkandung konsep sakral, sesuatu yang dianggap suci. Dan Kakbah memiliki derajat kesucian istimewa karena semua bangunan masjid oleh umat Islam juga disebut tempat suci. Tempat ibadah agama lain, misalnya gereja, juga dipandang sebagai tempat suci. Tempat khusus untuk memuji Tuhan.

Contoh lain yang sakral dan yang profan misalnya gerakan salat dan senam. Keduanya sama-sama gerak tubuh secara teratur dan terstruktur, tetapi senam tubuh diposisikan sebagai budaya yang bersifat profan.

Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan. Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara agama dan budaya.

Bangunan masjid, misalnya, sejak dari bahan, arsitektur, karpet, menara, dan seluruh wujud fisiknya adalah fenomena budaya tak ubahnya bangunan rumah. Hanya saja oleh masyarakat disepakati sebagai masjid, tempat suci, di mana entitas budaya tadi disakralkan sebagai instrumen keagamaan.

Begitu pun bahasa Arab adalah bahasa budaya. Tapi ketika dipinjam atau dipilih Tuhan untuk mewadahi wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bahasa Arab itu lalu disakralkan. Terjadi sakralisasi budaya.

Tapi proses sakralisasi ini kadang melewati batas proporsinya. Misalnya model pakaian budaya Arab yang dikenakan Nabi juga oleh sebagian orang disakralkan, dianggap sebagai pakaian keagamaan.

Mengenakan gamis model Arab diidentikkan dengan mengikuti sunah Rasulullah, padahal sejatinya adalah fenomena budaya, bukan agama. Wilayah profan, bukan sakral. Dulu orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah juga sama pakaiannya.

Jadi bagi mereka yang menganut paham sekularisme, semua yang ada ini profan, sekuler, duniawi, tak ada kualitas ilahi di dalamnya. Tapi ada pula yang membedakan antara entitas sakral, yang suci atau disucikan, dan entitas yang duniawi, sekuler, yang masuk ranah budaya.

Makanya ada ungkapan, yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan. Lebih ekstrem lagi, sesungguhnya yang suci secara absolut itu hanyalah Allah semata. Selain Allah dianggap suci atau disucikan karena menjadi instrumen dalam peribadatan untuk memuji dan menyucikan Allah.

Meski begitu, jika ditarik pada tataran kesadaran dan perilaku batin orang beriman, semua tindakan yang diniati sebagai sujud dan berserah diri kepada Tuhan adalah suci. Bekerja mencari rezeki (uang) juga tindakan sakral karena menjalankan perintah Tuhan. Apa pun kegiatannya yang dimaksudkan dan diarahkan sebagai amal saleh adalah suci, sebagai ibadah, tidak semata salat.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0788 seconds (0.1#10.140)