UU Pemilu Diharapkan Tidak Menggerus Kekhususan Provinsi Aceh
A
A
A
JAKARTA - Pengamat politik hukum Aceh, Erlanda Juliansyah Putra menyayangkan adanya pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) tentang Pemilu saat ini, yang mencabut kekhususan Provinsi Aceh dan menyatakan tidak berlaku.
Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 571 huruf D UU Pemilu yang baru saja disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna beberapa hari lalu.
Di dalam Pasal 571 huruf D disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 Ayat (1), Ayat (2), serta Ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Keseluruhan Pasal yang disebutkan dalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh yakni, Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) dan Panwaslih Aceh, yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu.
Padahal menurut Erlanda, pembentuk UU di sini sepertinya keliru memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, sehingga bisa terjadi penggerusan terhadap pasal-pasal yang menjadi domaian kekhususan Aceh.
"Aceh itu kan khusus, KIP itu hanya ada di Aceh loh, walaupun secara esensi pekerjaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan oleh KPU pusat," kata Erlanda dalam siaran pers, Minggu (23/7/2017).
"Namun itu adalah kekhususan Aceh dan itu hasil dari perdamaian Aceh, toh pembentuk undang-undang tinggal menghormati kekhususannya saja kan bisa. Selama ini juga tidak inkonstitusional jadi jangan asal cabut-cabut pasal seperti itu dong," imbuhnya.
Erlanda mengungkapkan, terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh dan Panwaslih Aceh, dan itu menurutnya tidak terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh.
"Kalau mau diperbaiki demi penyempurnaan pemilu kedepannya menurut saya mekanisme pemilihan komisioner penyelenggara pemilu di DPRA itu lebih esensial untuk ditinjau ulang kembali apakah itu sudah tepat atau tidak," tuturnya.
Dia berharap, jangan sampai UU yang dihasilkan malah harus memunculkan polemik, terlebih setelah diberlakukan, dan berujung ke judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Tentu itu tidak akan baik bagi penyempurnaan undang-undang itu sendiri secara kualitas," tandasnya.
Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 571 huruf D UU Pemilu yang baru saja disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna beberapa hari lalu.
Di dalam Pasal 571 huruf D disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 Ayat (1), Ayat (2), serta Ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Keseluruhan Pasal yang disebutkan dalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh yakni, Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) dan Panwaslih Aceh, yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu.
Padahal menurut Erlanda, pembentuk UU di sini sepertinya keliru memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, sehingga bisa terjadi penggerusan terhadap pasal-pasal yang menjadi domaian kekhususan Aceh.
"Aceh itu kan khusus, KIP itu hanya ada di Aceh loh, walaupun secara esensi pekerjaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan oleh KPU pusat," kata Erlanda dalam siaran pers, Minggu (23/7/2017).
"Namun itu adalah kekhususan Aceh dan itu hasil dari perdamaian Aceh, toh pembentuk undang-undang tinggal menghormati kekhususannya saja kan bisa. Selama ini juga tidak inkonstitusional jadi jangan asal cabut-cabut pasal seperti itu dong," imbuhnya.
Erlanda mengungkapkan, terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh dan Panwaslih Aceh, dan itu menurutnya tidak terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh.
"Kalau mau diperbaiki demi penyempurnaan pemilu kedepannya menurut saya mekanisme pemilihan komisioner penyelenggara pemilu di DPRA itu lebih esensial untuk ditinjau ulang kembali apakah itu sudah tepat atau tidak," tuturnya.
Dia berharap, jangan sampai UU yang dihasilkan malah harus memunculkan polemik, terlebih setelah diberlakukan, dan berujung ke judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Tentu itu tidak akan baik bagi penyempurnaan undang-undang itu sendiri secara kualitas," tandasnya.
(maf)