Indonesia Terancam Kehilangan 2.000 Pulau Kecil
A
A
A
BOGOR - Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 14.752 pulau bernama dengan garis pantai 95.181 kilometer (km) dan luas lautnya 5,6 juta kilometer persegi (km2).
Dari keseluruhan pulau, ada 10 ribu pulau-pulau kecil yang memiliki potensi sumber daya alam pesisir yang sangat besar dan prospektif sebagai aset pembangunan.
"Namun diperkirakan ada 2.000 pulau kecil yang akan tenggelam di tahun 2030," kata Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Prof Dr Ir Dietriech Geoffrey Bengen, DAA, DEA, kepada wartawan menjelang pra-orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Dia memaparkam prediksi tersebut berdasarkan hasil penelitiannya terkait dampak perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
"Jika pulau-pulau kecil yang bentuknya dataran tersebut ekosistemnya tidak dijaga dengan baik, seperti terumbu karangnya rusak, mangrove rusak, atau penangkapan ikan yang destruktif maka saya perkirakan Indonesia akan kehilangan dua ribu pulau kecil yang berpotensi tenggelam pada tahun 2030. Bahkan bisa jadi sebelum itu. Yang paling dekat dengan kita ya Pulau Seribu, karena bentuk pulaunya dataran," ujarnya.
Menurut dia, pulau-pulau kecil memiliki potensi besar tetapi masyarakat yang ada di pulau-pulau tersebut kehidupan ekonominya masih rendah. Penyebabnya karena lokasi yang jauh dari daratan utama, lokasi pasarnya jauh. Sumber ikan banyak tetapi tidak bisa terjual di pasar karena tidak ada sarana dan prasarana yang memadai.
"Daging ikan itu mudah busuk. Ikan harus diawetkan menjadi ikan presto, ikan asin atau dibekukan. Harus ada cold storage sehingga kesegaran ikan bisa dipertahankan. Tapi masyarakat di pulau-pulau kecil belum memiliki sarananya. Jadi potensi besar tapi secara ekonomi masyarakatnya belum baik," katanya.
Selain sarana dan prasarana yang terbatas dan lokasi jauh, faktor lainnya adalah tingkat pendidikan yang rendah dan keberpihakan kita atau pemerintah terhadap pembangunan pulau-pulau kecil.
"Orientasi kita selama ini adalah fokus ke pembangunan daratan. Paradigma ini belum berubah sehingga potensi laut termarjinalkan," ujar Geoffrey.
Dia mengatakan, salah satu solusinya adalah mengubah paradigma tersebut dan laut harus menjadi pemersatu dan penggerak pembangunan. Caranya dengan minawisata atau pariwisata perikatanan.
Dengan demikian, kata dia, nelayan tidak harus ke pasar untuk menjual ikan, tetapi pembeli yang harus didatangkan ke pulau-pulau tersebut dengan pariwisata, yakni dengan menggabungkan perikanan dan ekowisata.
Menurut dia, pengembangan terpadu bisa di satu pulau atau beberapa pulau. Konsep pengembangannya beda antara pulau dataran dan pulau bukit. Pulau dataran hanya bisa 30-50% digunakan sebagai objek wisata, selebihnya untuk konservasi. Pulau berbukit bisa lebih besar pemakaiannya karena tidak rentan terhadap perubahan iklim.
"Pulau-pulau kecil bisa dimanfaatkan. Karena di sekitar pulau inilah kita masih bisa menemukan terumbu karang yang bagus, dan lain-lain. Tentu dengan penataan sedemikian rupa," ujarnya.
Dari keseluruhan pulau, ada 10 ribu pulau-pulau kecil yang memiliki potensi sumber daya alam pesisir yang sangat besar dan prospektif sebagai aset pembangunan.
"Namun diperkirakan ada 2.000 pulau kecil yang akan tenggelam di tahun 2030," kata Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Prof Dr Ir Dietriech Geoffrey Bengen, DAA, DEA, kepada wartawan menjelang pra-orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Dia memaparkam prediksi tersebut berdasarkan hasil penelitiannya terkait dampak perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
"Jika pulau-pulau kecil yang bentuknya dataran tersebut ekosistemnya tidak dijaga dengan baik, seperti terumbu karangnya rusak, mangrove rusak, atau penangkapan ikan yang destruktif maka saya perkirakan Indonesia akan kehilangan dua ribu pulau kecil yang berpotensi tenggelam pada tahun 2030. Bahkan bisa jadi sebelum itu. Yang paling dekat dengan kita ya Pulau Seribu, karena bentuk pulaunya dataran," ujarnya.
Menurut dia, pulau-pulau kecil memiliki potensi besar tetapi masyarakat yang ada di pulau-pulau tersebut kehidupan ekonominya masih rendah. Penyebabnya karena lokasi yang jauh dari daratan utama, lokasi pasarnya jauh. Sumber ikan banyak tetapi tidak bisa terjual di pasar karena tidak ada sarana dan prasarana yang memadai.
"Daging ikan itu mudah busuk. Ikan harus diawetkan menjadi ikan presto, ikan asin atau dibekukan. Harus ada cold storage sehingga kesegaran ikan bisa dipertahankan. Tapi masyarakat di pulau-pulau kecil belum memiliki sarananya. Jadi potensi besar tapi secara ekonomi masyarakatnya belum baik," katanya.
Selain sarana dan prasarana yang terbatas dan lokasi jauh, faktor lainnya adalah tingkat pendidikan yang rendah dan keberpihakan kita atau pemerintah terhadap pembangunan pulau-pulau kecil.
"Orientasi kita selama ini adalah fokus ke pembangunan daratan. Paradigma ini belum berubah sehingga potensi laut termarjinalkan," ujar Geoffrey.
Dia mengatakan, salah satu solusinya adalah mengubah paradigma tersebut dan laut harus menjadi pemersatu dan penggerak pembangunan. Caranya dengan minawisata atau pariwisata perikatanan.
Dengan demikian, kata dia, nelayan tidak harus ke pasar untuk menjual ikan, tetapi pembeli yang harus didatangkan ke pulau-pulau tersebut dengan pariwisata, yakni dengan menggabungkan perikanan dan ekowisata.
Menurut dia, pengembangan terpadu bisa di satu pulau atau beberapa pulau. Konsep pengembangannya beda antara pulau dataran dan pulau bukit. Pulau dataran hanya bisa 30-50% digunakan sebagai objek wisata, selebihnya untuk konservasi. Pulau berbukit bisa lebih besar pemakaiannya karena tidak rentan terhadap perubahan iklim.
"Pulau-pulau kecil bisa dimanfaatkan. Karena di sekitar pulau inilah kita masih bisa menemukan terumbu karang yang bagus, dan lain-lain. Tentu dengan penataan sedemikian rupa," ujarnya.
(dam)