Pangkas Angka Rupiah

Kamis, 20 Juli 2017 - 08:03 WIB
Pangkas Angka Rupiah
Pangkas Angka Rupiah
A A A
SETELAH senyap hampir setahun, kabar penyederhanaan tiga nol dalam rupiah atau dari Rp1.000 menjadi Rp1 mendadak ramai kembali.

Adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengungkit lagi rencana kebijakan penyederhanaan angka mata uang atau lebih akrab di telinga dengan penyebutan redenominasi tersebut, dengan mendesak ke parlemen segera dimasukkan sebagai Program Legislasi Nasional (Proglenas) tahun ini. Program redenominasi rupiah sudah bergulir sejak lima tahun lalu dan sudah terdaftar dalam Proglenas 2013, namun "mentah" kembali tanpa alasan jelas.

Program redenominasi atau pemangkasan alias penyederhanaan nilai mata uang memang bukan program yang lazim dilakukan oleh sebuah negara. Karena itu dibutuhkan berbagai prasyarat yang tidak mudah. Seandainya program denominasi rupiah sudah disepakati antara pemerintah dan DPR, bukan berarti serta-merta kebijakan tersebut bisa segera diimplementasikan di lapangan.

Pihak bank sentral menyebut setidaknya membutuhkan waktu tak kurang dari tujuh tahun setelah payung hukumnya disetujui untuk direalisasikan ke masyarakat. Rinciannya adalah masa persiapan butuh waktu dua tahun, masa transisi sekitar empat tahun, dan satu tahun dibutuhkan sebagai tahap penerapan.

Karena itu, wajar kalau Agus Martowardojo mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah segera disahkan tahun ini.

Sebelumnya, sejumlah pihak termasuk wakil rakyat yang bermarkas di Senayan meragukan keseriusan pihak BI dalam merealisasikan program redenominasi rupiah. Namun, Agus Martowardojo sebagai nakhoda bank sentral, jelas menolak keras tudingan tersebut.

Bahkan sebaliknya, mantan menteri keuangan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu justru diliputi kerisauan atas angka rupiah yang terlalu besar di mana dinilai sudah tidak efektif lagi.

Program redenominasi rupiah kalau bisa diwujudkan segera akan berdampak bagus terhadap mata uang negeri ini. Karena itu, pihak BI sedang mengintensifkan pembahasaan RUU Redenominasi Rupiah dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM agar bisa masuk dalam Prolegnas tahun ini. Selain itu, pihak bank sentral mengklaim sedang mematangkan program sosialisasi agar masyarakat nanti tidak terkejut saat kebijakan tersebut diimplementasikan.

Sebaliknya, pihak bank sentral justru menilai pihak DPR yang belum fokus menyentuh RUU Redenominasi Rupiah, sebab sudah dua tahun lalu diusulkan masuk dalam Prolegnas hingga saat ini belum ada kejelasan. Kabarnya, pihak DPR kalau ditagih selalu berdalih masih fokus pada pembahasan RUU yang berkaitan dengan penerimaan negara. Meliputi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan RUU Pajak Penghasilan.

Bahkan, ada kesan sejumlah wakil rakyat mengkhawatirkan RUU Redenominasi Rupiah bisa mengundang gejolak di masyarakat karena dinilai sangat sensitif. Kalau itu yang mendasari mengapa DPR tidak fokus membahas RUU tersebut, berarti sebuah kekeliruan besar. Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang di mana harga barang dan jasa yang berlaku tetap mengikuti nilai rupiah yang baru.

Sejauh mana pentingnya diadakan redenominasi dan kapan saat tepat dilaksanakan? Pihak BI sejak dua tahun lalu sudah menyatakan saat yang tepat dimulai program penyederhanaan angka rupiah dengan mengacu pada kondisi makroekonomi yang relatif stabil, meski masih berbalut sejumlah masalah.

Secara umum, sebagaimana dipaparkan Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Decymus, redenominasi penting untuk menciptakan kedaulatan terhadap rupiah. Mengapa? Pasalnya, deretan angka yang terlalu banyak pada rupiah sudah tidak efisien lagi.

Pihak yang terkait dengan pencatatan akuntansi membutuhkan waktu lebih lama dalam memasukkan data. Selain itu, penyebutannya lebih rumit. Dan, sebagian pelaku ekonomi sudah mulai menyederhanakan atau mengurangi angka nol rupiah dalam menampilkan daftar harga dagangannya.

Karena itu, pihak BI membantah keras bahwa program redenominasi rupiah bisa memicu inflasi. Pandangan pihak bank sentral diamini Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto bahwa program redenominasi tak akan memberi dampak terhadap inflasi.

Sayangnya, pihak BPS tak bisa memberi keterangan lebih jauh dengan alasan bahwa kebijakan penyederhanaan nilai mata uang sesuatu yang jarang dilakukan. Meski demikian, patokannya sederhana bahwa program redenominasi tidak mengubah nilai rupiah hanya menyederhanakan penulisan angkanya.

Selanjutnya, pihak BI berpandangan bahwa saat yang tepat mengesahkan RUU Redenominasi Rupiah dengan mengacu pada pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5% di mana level inflasi terjaga sekitar 3%, dan nilai tukar rupiah yang stabil pada Rp13.300 per dolar AS. Jadi, tunggu apalagi?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7437 seconds (0.1#10.140)