Terbitkan Perppu Ormas, Pemerintah Rawan Lakukan Abuse of Power
A
A
A
JAKARTA - Tim Advokasi Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kapitra Ampera mengkritisi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 pengganti UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Salah satu poin yang dikritisi adalah peniadaan proses hukum dalam membubarkan suatu Ormas sebagaimana diatur dalam UU Ormas.
Kapitra mengatakan, UU Ormas mengamanatkan adanya proses, tahapan, dan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan ormas, dan mengharuskan adanya putusan pengadilan untuk menilai pelanggaran ormas sebagai tahapan membubarkan ormas.
Sementara itu, lanjut Kapitra, pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan pasal mengenai sanksi yaitu Pasal 63 sampai dengan Pasal 80 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dihapus.
Peniadaan proses hukum pada proses pembubaran ormas ini, dinilai Kapitra, sangat sewenang-wenang. Pengadilan merupakan institusi yang bertujuan menilai dan memutuskan penegakan konstitusi dan undang-undang.
"Hal ini merupakan pembangkangan terhadap asas kepastian hukum, yang merupakan bentuk arogansi pemerintah yang lebih otoriter dari pada zaman Orde Baru," ujar Kapitra melalui keterangan tertulis, Minggu (16/7/2017).
Poin lainnya, lanjut Kapitra, terkait Pasal yang membatasi hak-hak masyarakat. Pasal 82A Perppu Ormas memberikan sanksi pidana terhadap setiap orang baik pengurus ataupun anggota ormas yang melakukan perbuatan yang dilarang. Poin tersebut, kata Kapitra, akan mengebiri hak masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan ikut serta dalam ormas.
Menurut Kapitra, pemidanaan anggota ormas terlarang tidak bisa dilakukan. Pasalnya, pertanggungjawaban dalam suatu lembaga atau organisasi pada prinsipnya adalah Responsibility Commander, dimana penguruslah yang bertanggung jawab atas kegiatan organisasinya. Apabila berkaitan dengan pelanggaran pidana, maka dapat dikenakan dengan KUHP.
"Tafsir tunggal yang dilakukan oleh pemerintah akan mengarah pada abuse of power, sehingga nantinya organisasi masyarakat tidak dapat lagi bebas untuk mengemukakan pendapat, mengkritisi pemerintah atau penegakan hukum aparat. Karena penafsiran benar dan salah, boleh dan tidak boleh ada di tangan penguasa bukan di tangan hukum," kata Kapitra.
Kapitra mengatakan, UU Ormas mengamanatkan adanya proses, tahapan, dan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan ormas, dan mengharuskan adanya putusan pengadilan untuk menilai pelanggaran ormas sebagai tahapan membubarkan ormas.
Sementara itu, lanjut Kapitra, pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan pasal mengenai sanksi yaitu Pasal 63 sampai dengan Pasal 80 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dihapus.
Peniadaan proses hukum pada proses pembubaran ormas ini, dinilai Kapitra, sangat sewenang-wenang. Pengadilan merupakan institusi yang bertujuan menilai dan memutuskan penegakan konstitusi dan undang-undang.
"Hal ini merupakan pembangkangan terhadap asas kepastian hukum, yang merupakan bentuk arogansi pemerintah yang lebih otoriter dari pada zaman Orde Baru," ujar Kapitra melalui keterangan tertulis, Minggu (16/7/2017).
Poin lainnya, lanjut Kapitra, terkait Pasal yang membatasi hak-hak masyarakat. Pasal 82A Perppu Ormas memberikan sanksi pidana terhadap setiap orang baik pengurus ataupun anggota ormas yang melakukan perbuatan yang dilarang. Poin tersebut, kata Kapitra, akan mengebiri hak masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan ikut serta dalam ormas.
Menurut Kapitra, pemidanaan anggota ormas terlarang tidak bisa dilakukan. Pasalnya, pertanggungjawaban dalam suatu lembaga atau organisasi pada prinsipnya adalah Responsibility Commander, dimana penguruslah yang bertanggung jawab atas kegiatan organisasinya. Apabila berkaitan dengan pelanggaran pidana, maka dapat dikenakan dengan KUHP.
"Tafsir tunggal yang dilakukan oleh pemerintah akan mengarah pada abuse of power, sehingga nantinya organisasi masyarakat tidak dapat lagi bebas untuk mengemukakan pendapat, mengkritisi pemerintah atau penegakan hukum aparat. Karena penafsiran benar dan salah, boleh dan tidak boleh ada di tangan penguasa bukan di tangan hukum," kata Kapitra.
(kri)