Fadli Zon: Perppu Ormas Cacat Prosedural dan Substansial
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menganggap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) mengalami cacat prosedural dan substansial.
"Perppu mengalami 2 cacat, cacat prosedural dan cacat substansial," kata Fadli dalam diskusi Polemik SindoTrijayaFM bertajuk 'Cemas Perppu Ormas' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (15/7/2017).
Politikus Partai Gerindra ini memandang cacat prosedural karena Perppu tersebut tidak memenuhi syarat seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang.
Ia menjelaskan seperti keadaan yang mendesak, kekosongan hukum lantaran Undang-undang yang ada dianggap belum memadai. Menurutnya, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal.
Dari sisi prosedural juga, lanjut Fadli, seperti yang diatur dalam pasal 22 UUD 45, dijelaskan disitu bahwa pemberian kewenangan kepada presiden untuk mengeluarkan Perppu hanya dapat digunakan pada saat negara berada dalam kegentingan yang memaksa.
"Kalau kita lihat, tidak ada tuh masyarakat yang merasa sekarang ada kegentingan yang memaksa. Kalau perlu dilakukan survei. Dan saya kira hampir semua survei akan memenangkan penolakan terhadap pemberlakuan Perppu ini. Yang memaksa kita sekarang ini adalah sulit mencari lapangan pekerjaan, hidup makin susah," tutur dia.
Sementara dari segi substansial, keluarnya Perppu ini dinilai menjadi preseden buruk karena dikhawatirkan langkah penerapan Perppu ini akan melanggar kebebasan berserikat di masyarakat. "Jadi melanggar Undang-Undang Dasar kita sendiri," tandasnya.
"Perppu mengalami 2 cacat, cacat prosedural dan cacat substansial," kata Fadli dalam diskusi Polemik SindoTrijayaFM bertajuk 'Cemas Perppu Ormas' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (15/7/2017).
Politikus Partai Gerindra ini memandang cacat prosedural karena Perppu tersebut tidak memenuhi syarat seperti yang diisyaratkan oleh undang-undang.
Ia menjelaskan seperti keadaan yang mendesak, kekosongan hukum lantaran Undang-undang yang ada dianggap belum memadai. Menurutnya, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal.
Dari sisi prosedural juga, lanjut Fadli, seperti yang diatur dalam pasal 22 UUD 45, dijelaskan disitu bahwa pemberian kewenangan kepada presiden untuk mengeluarkan Perppu hanya dapat digunakan pada saat negara berada dalam kegentingan yang memaksa.
"Kalau kita lihat, tidak ada tuh masyarakat yang merasa sekarang ada kegentingan yang memaksa. Kalau perlu dilakukan survei. Dan saya kira hampir semua survei akan memenangkan penolakan terhadap pemberlakuan Perppu ini. Yang memaksa kita sekarang ini adalah sulit mencari lapangan pekerjaan, hidup makin susah," tutur dia.
Sementara dari segi substansial, keluarnya Perppu ini dinilai menjadi preseden buruk karena dikhawatirkan langkah penerapan Perppu ini akan melanggar kebebasan berserikat di masyarakat. "Jadi melanggar Undang-Undang Dasar kita sendiri," tandasnya.
(ysw)