Eks Komisioner KPU Sayangkan Wacana Presidential Threshold
A
A
A
JAKARTA - Pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) Hadar Nafis Gumay menyayangkan arah pengesahan RUU Pemilu yang condong pada paket A, atau penerapan ambang batas presiden (presidential threshold) di pemilu 2019.
Menurut Hadar, penerapan presidential threshold akan menjadi sebuah kesia-siaan, sebab sejumlah pihak telah bertekad untuk memperkarakanya di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Perkiraan saya nanti akan ada jr (judicial review) dari masyarakat sipil. Cuma saya secara pribadi menyayangkan arahnya kelihatannya presidential threshold yang 20-25 persen, yang seharusnya tidak," ujar Hadar saat ditemui, di Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu mengungkapkan, wacana menerapkan presidential threshold lebih pada usulan yang dibuat-buat oleh sekelompok orang dengan dalih ingin memperkuat sistem presidensil di Indonesia.
Menurut dia, sistem pemilihan presiden yang sudah ada di Indonesia sudah cukup sempurna untuk tidak menerapkan sistem presidensil, alasannya karena pilpres dilangsungkan dua putaran dan seleksi calon sudah dilakukan pada putaran pertama.
"Kalau memang tidak memenuhi syarat putaran pertama, ada putaran kedua. Dan itu (UU) mengatakan diusung oleh partai politik dan gabungan partai politik," tutur Hadar.
(Baca juga: Gerindra Konsisten Presidential Threshold 0%)
Hadar juga mencium, pemaksaan presidential threshold adalah upaya untuk menyaring calon yang dapat bertarung pada pilpres 2019 nanti. Di mana akan ada calon yang melenggang mulus sementara calon lain akan terjanggal dari awal.
"Ya memang, itu memfilter. Padahal sistem dua putaran yang dibangun UU itu mau lebih dua (pasangan) juga boleh, yang penting rakyatnya memilih mayoritas mutlak siapa. Jadi hak konstitusi rakyat jangan dikanal-kanal," tandasnya.
Menurut Hadar, penerapan presidential threshold akan menjadi sebuah kesia-siaan, sebab sejumlah pihak telah bertekad untuk memperkarakanya di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Perkiraan saya nanti akan ada jr (judicial review) dari masyarakat sipil. Cuma saya secara pribadi menyayangkan arahnya kelihatannya presidential threshold yang 20-25 persen, yang seharusnya tidak," ujar Hadar saat ditemui, di Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu mengungkapkan, wacana menerapkan presidential threshold lebih pada usulan yang dibuat-buat oleh sekelompok orang dengan dalih ingin memperkuat sistem presidensil di Indonesia.
Menurut dia, sistem pemilihan presiden yang sudah ada di Indonesia sudah cukup sempurna untuk tidak menerapkan sistem presidensil, alasannya karena pilpres dilangsungkan dua putaran dan seleksi calon sudah dilakukan pada putaran pertama.
"Kalau memang tidak memenuhi syarat putaran pertama, ada putaran kedua. Dan itu (UU) mengatakan diusung oleh partai politik dan gabungan partai politik," tutur Hadar.
(Baca juga: Gerindra Konsisten Presidential Threshold 0%)
Hadar juga mencium, pemaksaan presidential threshold adalah upaya untuk menyaring calon yang dapat bertarung pada pilpres 2019 nanti. Di mana akan ada calon yang melenggang mulus sementara calon lain akan terjanggal dari awal.
"Ya memang, itu memfilter. Padahal sistem dua putaran yang dibangun UU itu mau lebih dua (pasangan) juga boleh, yang penting rakyatnya memilih mayoritas mutlak siapa. Jadi hak konstitusi rakyat jangan dikanal-kanal," tandasnya.
(maf)