MK Hapus Frasa Konsultasi Mengikat Antara KPU-DPR-Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus frasa mengikat pada proses konsultasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah dan DPR. Mahkamah menganggap frasa yang termaktub dalam Pasal 9A UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) itu bisa berdampak pada kemandirian KPU dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilihan.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 9 huruf (a) UU 10/2016 sepanjang frasa ‘yang putusannya bersifat mengikat’ bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman di ruang sidang utama MK, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dalam pertimmbangan hukumnya MK berpendapat bahwa kemandirian KPU tidak menilai dan memahami kemandirian KPU yang tidak hanya dilakukan secara tekstual melainkan pada konteks dengan kaidah berlaku. Kemandirian KPU menurut MK juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan mewujudkan kaidah lembaga dan praktik demokrasi yang baik.
“KPU memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Termasuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna melaksanakan fungsinya,” ucap Hakim Konstitusi Aswanto.
Meski demikian, MK tetap berpandangan, walau bersifat mandiri namun KPU tidak berarti bebas menentukan kebijakan secara sepihak. Untuk itu, MK tetap mewajibkan KPU untuk melaksanakan proses konsultasi peraturannya dengan DPR dan pemerintah.
“Tahapan konsultasi dengan DPR bukan sesuatu yang mengancam kemandirian KPU. Meski peran DPR dan pemerintah berhenti sampai tahapan pembentukan peraturan,” lanjut Aswanto.
MK dalam pertimbangan hukumnya juga memperbolehkan sejumlah pihak yang menganggap aturan penyelenggara bertentangan dengan norma hukum untuk mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Judicial review adalah alat kontrol bagi lembaga yang mempunyai wewenang untuk membentuk dan menyusun peraturan perundang-undangan,” tambah Aswanto.
Sebelumnya tujuh komisioner KPU periode 2012-2017 mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 9A UU 10/2016 tentang Pilkada karena menganggap mencederai kebebasan KPU. Permohonan yang disampaikan pada 22 September 2016 itu diajukan untuk menghapus frasa mengikat yang diatur oleh pembuat UU. Gugatan bernomor 92/PUU-XIV/2016 selanjutnya melalui sejumlah persidangan hingga diputus diterima sebagian oleh MK.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 9 huruf (a) UU 10/2016 sepanjang frasa ‘yang putusannya bersifat mengikat’ bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman di ruang sidang utama MK, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dalam pertimmbangan hukumnya MK berpendapat bahwa kemandirian KPU tidak menilai dan memahami kemandirian KPU yang tidak hanya dilakukan secara tekstual melainkan pada konteks dengan kaidah berlaku. Kemandirian KPU menurut MK juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan mewujudkan kaidah lembaga dan praktik demokrasi yang baik.
“KPU memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Termasuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan guna melaksanakan fungsinya,” ucap Hakim Konstitusi Aswanto.
Meski demikian, MK tetap berpandangan, walau bersifat mandiri namun KPU tidak berarti bebas menentukan kebijakan secara sepihak. Untuk itu, MK tetap mewajibkan KPU untuk melaksanakan proses konsultasi peraturannya dengan DPR dan pemerintah.
“Tahapan konsultasi dengan DPR bukan sesuatu yang mengancam kemandirian KPU. Meski peran DPR dan pemerintah berhenti sampai tahapan pembentukan peraturan,” lanjut Aswanto.
MK dalam pertimbangan hukumnya juga memperbolehkan sejumlah pihak yang menganggap aturan penyelenggara bertentangan dengan norma hukum untuk mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). “Judicial review adalah alat kontrol bagi lembaga yang mempunyai wewenang untuk membentuk dan menyusun peraturan perundang-undangan,” tambah Aswanto.
Sebelumnya tujuh komisioner KPU periode 2012-2017 mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 9A UU 10/2016 tentang Pilkada karena menganggap mencederai kebebasan KPU. Permohonan yang disampaikan pada 22 September 2016 itu diajukan untuk menghapus frasa mengikat yang diatur oleh pembuat UU. Gugatan bernomor 92/PUU-XIV/2016 selanjutnya melalui sejumlah persidangan hingga diputus diterima sebagian oleh MK.
(kri)