Menyaring Calon Kepala Daerah
A
A
A
SAAT pembangunan ekonomi daerah menjadi tulang punggung nasional untuk pemerataan kesejahteraan, perilaku koruptif kepala daerah justru semakin merajalela. Kasus korupsi kepala daerah tak sedikit yang melibatkan keluarga, seperti istri, anak, saudara kandung hingga kerabat dekat.
KORAN SINDO Kamis (6/7) memberitakan, belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan penerimaan suap lain oleh gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari, selain dari dua proyek jalan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Ridwan Mukti yang juga mantan ketua DPR Partai Golkar Bengkulu dan Lily Martiani Maddari, bersama direktur utama PT Rico Putra Selatan (sekaligus bendahara DPD Partai Golkar Bengkulu) Rico Diansari, sudah ditetapkan sebagai tersangka suap Rp1 miliar.
Kasus korupsi kepala daerah yang melibatkan keluarga dan rekan satu partai politik (parpol) memang seolah berkelindan. Meski parpol pada akhirnya akan menolak untuk dikaitkan, secara internal partai akan tetap memberikan bantuan hukum terhadap kader yang terjerat korupsi.
Tak sedikit pula partai yang langsung memecat kadernya setelah ditetapkan sebagai tersangka, terlepas dari segudang prestasi yang telah diberikan oleh kader tersebut termasuk kontribusinya dalam memajukan partai di daerah.
Sepanjang 2016, sebanyak 11 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, baik melalui operasi tangkap tangan (OTT) maupun melalui proses pemeriksaan.
Tahun ini, selama enam bulan terakhir KPK telah menangkap empat kepala daerah, yaitu Bupati Klaten Sri Hartini (kader PDI Perjuangan) dalam kasus promosi jabatan; Bupati Buton Samsu Umar Abdul Saimun (kader Partai Amanat Nasional) dalam kasus suap ke mantan ketua MK Akil Mokhtar; Wali Kota Madiun Bambang Irianto (kader Partai Demokrat) dalam kasus korupsi proyek pengadaan, gratifikasi,i dan tindak pidana pencucian uang; dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (kader Partai Golkar) yang ditangkap KPK akhir Mei lalu.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku sangat prihatin dengan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Langkah KPK untuk memetakan daerah rawan korupsi mendapat apresiasi dari Mendagri, dengan harapan daerah yang mendapat binaan dari KPK dapat menyadarkan pejabat daerah menghindari korupsi.
Sekali lagi, harapan Mendagri ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak tak terkecuali partai politik selaku penentu dan pendukung utama kepala daerah. Parpol seharusnya tidak mengusung kader yang hanya memiliki mahar tinggi dan siap menghidupi partai.
Karena berapa pun biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah tetap akan menjadi catatan yang bersangkutan bila kelak memenangkan pertarungan. Terlebih lagi, sistem otonomi daerah yang berlaku saat ini sesuai UU Nomor 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memudahkan kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan sesuka hatinya.
Dengan latar seperti itu, parpol harus mempersiapkan sebuah pakta integritas atau komitmen antikorupsi yang harus ditandatangani oleh kader yang ditunjuk sebagai calon kepala daerah. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, bukti ikatan yang telah dijalin oleh partai dan kader lebih mudah diekspos ke publik untuk kemudian dijadikan cermin saat tugas diemban.
Dengan begitu, ikatan antara kepala daerah terpilih dan partai pengusung akan terus terjalin dan tetap dalam koridor kepatutan yang jauh dari perilaku koruptif.
Kini pemerintah telah mematangkan rencana kenaikan dana bantuan parpol dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara. Sambutan positif dari parpol terhadap rencana ini jangan hanya dilihat sebatas besarnya dana yang akan dikucurkan tanpa pengelolaan anggaran yang jelas.
Uang negara yang diberikan ke parpol harus dikelola sebaik mungkin untuk membenahi sumber daya manusia di tubuh parpol, terutama mencetak kader-kader berkualitas yang akan disebar di seluruh penjuru tanah air. Pilkada 2018 sudah di depan mata.
Kini hampir semua partai melakukan penyaringan calon kepala daerah, termasuk melakukan evaluasi terhadap kepala daerah petahana. Masyarakat tentu berharap kepada partai untuk memberikan pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas dan terbebas dari jerat korupsi yang merugikan masa depan dan menghambat kemajuan daerah. Semoga!
KORAN SINDO Kamis (6/7) memberitakan, belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan penerimaan suap lain oleh gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari, selain dari dua proyek jalan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Ridwan Mukti yang juga mantan ketua DPR Partai Golkar Bengkulu dan Lily Martiani Maddari, bersama direktur utama PT Rico Putra Selatan (sekaligus bendahara DPD Partai Golkar Bengkulu) Rico Diansari, sudah ditetapkan sebagai tersangka suap Rp1 miliar.
Kasus korupsi kepala daerah yang melibatkan keluarga dan rekan satu partai politik (parpol) memang seolah berkelindan. Meski parpol pada akhirnya akan menolak untuk dikaitkan, secara internal partai akan tetap memberikan bantuan hukum terhadap kader yang terjerat korupsi.
Tak sedikit pula partai yang langsung memecat kadernya setelah ditetapkan sebagai tersangka, terlepas dari segudang prestasi yang telah diberikan oleh kader tersebut termasuk kontribusinya dalam memajukan partai di daerah.
Sepanjang 2016, sebanyak 11 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, baik melalui operasi tangkap tangan (OTT) maupun melalui proses pemeriksaan.
Tahun ini, selama enam bulan terakhir KPK telah menangkap empat kepala daerah, yaitu Bupati Klaten Sri Hartini (kader PDI Perjuangan) dalam kasus promosi jabatan; Bupati Buton Samsu Umar Abdul Saimun (kader Partai Amanat Nasional) dalam kasus suap ke mantan ketua MK Akil Mokhtar; Wali Kota Madiun Bambang Irianto (kader Partai Demokrat) dalam kasus korupsi proyek pengadaan, gratifikasi,i dan tindak pidana pencucian uang; dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (kader Partai Golkar) yang ditangkap KPK akhir Mei lalu.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku sangat prihatin dengan banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Langkah KPK untuk memetakan daerah rawan korupsi mendapat apresiasi dari Mendagri, dengan harapan daerah yang mendapat binaan dari KPK dapat menyadarkan pejabat daerah menghindari korupsi.
Sekali lagi, harapan Mendagri ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak tak terkecuali partai politik selaku penentu dan pendukung utama kepala daerah. Parpol seharusnya tidak mengusung kader yang hanya memiliki mahar tinggi dan siap menghidupi partai.
Karena berapa pun biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah tetap akan menjadi catatan yang bersangkutan bila kelak memenangkan pertarungan. Terlebih lagi, sistem otonomi daerah yang berlaku saat ini sesuai UU Nomor 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memudahkan kepala daerah untuk menjalankan pemerintahan sesuka hatinya.
Dengan latar seperti itu, parpol harus mempersiapkan sebuah pakta integritas atau komitmen antikorupsi yang harus ditandatangani oleh kader yang ditunjuk sebagai calon kepala daerah. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, bukti ikatan yang telah dijalin oleh partai dan kader lebih mudah diekspos ke publik untuk kemudian dijadikan cermin saat tugas diemban.
Dengan begitu, ikatan antara kepala daerah terpilih dan partai pengusung akan terus terjalin dan tetap dalam koridor kepatutan yang jauh dari perilaku koruptif.
Kini pemerintah telah mematangkan rencana kenaikan dana bantuan parpol dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara. Sambutan positif dari parpol terhadap rencana ini jangan hanya dilihat sebatas besarnya dana yang akan dikucurkan tanpa pengelolaan anggaran yang jelas.
Uang negara yang diberikan ke parpol harus dikelola sebaik mungkin untuk membenahi sumber daya manusia di tubuh parpol, terutama mencetak kader-kader berkualitas yang akan disebar di seluruh penjuru tanah air. Pilkada 2018 sudah di depan mata.
Kini hampir semua partai melakukan penyaringan calon kepala daerah, termasuk melakukan evaluasi terhadap kepala daerah petahana. Masyarakat tentu berharap kepada partai untuk memberikan pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas dan terbebas dari jerat korupsi yang merugikan masa depan dan menghambat kemajuan daerah. Semoga!
(poe)