Mudik dan Panggilan Silam

Rabu, 28 Juni 2017 - 09:37 WIB
Mudik dan Panggilan...
Mudik dan Panggilan Silam
A A A
Asep Purnama Bahtiar
Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

AGENDA tahunan mudik di negeri kita sudah lama menjadi fenomena sosial-keagamaan yang unik dan menarik. Unik karena hanya di Indonesia jutaan manusia bergerak dalam tempo yang sama–beberapa hari menjelang Idul Fitri atau Lebaran–dengan menggunakan ragam moda transportasi (darat, laut, dan udara) dari kota-kota besar tertentu untuk menuju tempat tujuan masing-masing di berbagai pulau dan pelosok daerah. Menarik karena mudik bukan sekadar fenomena arus balik urbanisasi secara periodik setahun sekali, tetapi juga berkelindan dengan dorongan spiritual dan panggilan silam dari sebuah kisaran titik asal orang itu bermula dan beranjak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik berasal dari kata udik (desa, dusun, dan kampung; bagian sungai paling atas atau hulu). Mudik berarti (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman) atau pulang ke kampung halaman. Dengan demikian pemudik (orang yang melakukan mudik) berarti dia kembali atau pulang sementara ke tanah kelahirannya atau daerah asalnya untuk kemudian setelah beberapa lama tinggal dan puas melepas rindu di kampung halamannya orang itu pergi lagi ke perantauan, tempat ia bekerja dan berkeluarga.

Panggilan Silam
Akar primordial dan hulu asal-usul manusia pada dasarnya senantiasa melekat pada diri setiap orang, sepanjang hayat dan seumur hidup. Rasa dan pertautan alami itulah yang secara imajiner selalu menghubungkan tempo doeloe dengan zaman sekarang dan masa depan pada diri sang perantau di mana pun dia berada. Akar primordial itu ibarat titian halus atau benang merah yang menyinambungkan keduluan dengan kekinian dan keakanan orang-orang di perantauan. Karena tanpa kesadaran itu, manusia akan kehilangan sangkan paraning dumadi, asal-usul, dan tujuan hidup manusia yang menjadi pancang eksistensialnya untuk menjadi dan mengada, baik di kampung halaman maupun di ranah perantauan.

Panggilan silam itu sayup-sayup sering terdengar di tengah-tengah kesibukan dan kelenaan hidup manusia di tanah rantau. Dalam rutinitas yang dilakoninya, undangan lampau itu terkadang menjadi interupsi yang senantiasa menggelitik naluri untuk bisa memenuhinya atau menjelma sebagai katarsis yang bisa mengalirkan kebuntuan alur hidup dan kepenatan jalan pikiran. Hasrat itulah mendorong orang untuk mudik dan secara sosiologis melahirkan tradisi mudik dengan pelbagai interaksi dan konsekuensi sosial-ekonomi-budayanya.

Tarikan primordial tersebut seolah menjadi struktur dasar untuk membangun pola relasi manusia dengan tempat asalnya yang tidak bisa pudar meski dipisahkan jarak ratusan kilometer bahkan ribuan kilometer sekalipun. Di samping itu, konstruksi sosial juga terbentuk antara lain dalam kebersamaan pulang kampung dan solidaritas baru yang berpengaruh pada meningkatnya denyut nadi ekonomi sampai ke pelosok-pelosok desa. Meski disadari ekses sosial-budaya, pun tak terhindarkan sebagai bagian dari konsekuensi logis mudik yang bermatra ekonomi-konsumtif.

Manusiawi bila sang perantau merasa bangga dengan keberhasilan karier dan sukses hidupnya sehingga orang-orang di kampung halamannya merasa salut dan hormat. Namun, ada kalanya kebanggaan tersebut di sisi lain bisa berubah ekspresi menjadi bentuk pamer kekayaan yang membuat orang-orang sekampung kepincut ikut merantau atau merencanakan urbanisasi. Ekses sosial-ekonomi yang tak terhindarkan dan seolah menjadi rumus baku bahwa arus mudik akan menimbulkan efek urbanisasi dan menjadi siklus tahunan.

Jangan lupa, mudik juga menjadi agen perluasan dan persebaran gaya hidup kota dengan berbagai aksesorinya. Meski disadari andil gaya hidup ini, juga dilakukan oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sudah merambah ke berbagai pelosok desa. Jika media TIK baru sebatas peragaan dan tayangan visual di layar kaca, internet, handphone, dan peranti-peranti gawai lainnya, maka mudik menghadirkan secara riil sosok-sosok dari tanah rantau yang berhasil dengan kemapanan materi, status sosial baru, dan perubahan gaya hidupnya. Fenomena ini tentu saja juga tidak bisa disamaratakan.

Legitimasi Spiritual
Tanpa bermaksud menafikan kompleksitas mudik dan konsekuensi sosial-ekonominya, ditilik lebih dalam ternyata mudik juga bersesuaian dan bahkan beroleh semacam legitimasi spiritual. Selain mudik, sebagaimana telah disinggung tadi, juga berdimensi horizontal dalam kehidupan sosial-ekonomi manusia. Dalam konteks ini, khususnya manusia, tidak bisa lepas dari dimensi vertikal dengan Sang Pencipta yang laku awalnya sebetulnya sudah dimulai dari pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri.

Seperti yang pernah dikemukakan almarhum Nurcholish Madjid (1998), dari segi ajaran agama, mudik merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yakni menjadikan Idul Fitri sebagai sarana atau medium bermaaf-maafan setelah menjalani tobat dan meminta maaf atau ampunan kepada Allah SWT. Sebagai sarana meminta maaf, Idul Fitri juga merupakan ajang menjalin silaturahim, menjalin kasih sayang yang dimulai dengan meminta maaf kepada orang tua dan sanak saudara. Hal ini pun kemudian menjadi hal sangat mendasar dalam melaksanakan dan merayakan Idul Fitri. Artinya bagi para perantau, merayakan Idul Fitri tanpa mudik, sepertinya non-sense, nyaris tak bermakna.

Seiring dengan perkembangan populasi manusia dari tahun ke tahun jumlah pemudik pun selalu meningkat. Meskipun sarana transportasi dalam berbagai moda serta fasilitasnya sudah banyak tersedia, tapi mudik bukanlah perjalanan mudah. Butuh kesabaran dan daya tahan ekstra untuk mudik, baik bagi yang menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi publik (darat, laut, atau udara). Selain kemacetan yang terjadi di berbagai jalur mudik dan kepadatan penumpang di terminal, pelabuhan, dan bandara, juga harga tiket yang melambung bisa sampai dua kali lipat atau lebih.

Kesulitan dan susah payahnya perjalanan yang harus ditempuh dalam mudik itu ada korelasinya signifikan dengan laku ibadah di bulan Ramadan. Misalnya orang yang berpuasa di bulan Ramadan itu sebetulnya ibarat orang sedang mudik untuk mencari Tuhan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, seolah-olah akan berjumpa dengan-Nya. Hal itu bukan sesuatu mudah dan ringan karena berpuasa khususnya bukan sekadar tidak makan dan tidak minum, tetapi juga mesti mengendalikan hawa nafsu dan membersihkan diri sehingga bisa diterima Allah untuk mendekati dan mengunjungi-Nya. Seumpama laku, perjalanan yang lama dan mendaki dari ibadah puasa itu juga bisa ditamsilkan seperti orang yang mudik untuk berlebaran dan ber-Idul Fitri di tempat asalnya.

Perjalanan yang lama, kesabaran yang diuji, serta berbagai hambatan dan kesulitan lainnya waktu mudik itu, membutuhkan kiat dan seni tersendiri mengatasinya demi sampai kampung halaman dan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat handai tolan. Begitulah, mudik telah lama menjadi habitus umat Islam di Indonesia yang dilakukan setiap akan Lebaran atau Idul Fitri untuk mencari pulang demi memenuhi panggilan silam.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0915 seconds (0.1#10.140)