Bos PT Diratama Jaya Mandiri Jadi Tersangka Korupsi Helikopter

Jum'at, 16 Juni 2017 - 22:09 WIB
Bos PT Diratama Jaya...
Bos PT Diratama Jaya Mandiri Jadi Tersangka Korupsi Helikopter
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan satu helikopter ‎AgustaWestland 101 (AW 101) ‎senilai Rp738 miliar di TNI Angkatan Udara (AU) tahun anggaran 2016.‎

Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, KPK telah meningkatkan status penanganan kasus dugaan korupsi helikopter tersebut dari penyelidikan ke tahap penyidikan.

Menurut dia, penyelidikan sampai kemudian ditingkatkan ke penyidikan merupakan hasil kerja sama KPK dengan TNI khususnya Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.

Pasalnya kasus yang ditangani TNI sudah lebih dahulu dinaikan ke penyidikan seperti disampaikan Panglima TNI Gatot Nurmantyo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Jumat 26 Mei 2017.

Menurut dia, penanganan di KPK dari sisi pihak sipil atau swasta. Bersamaan dengan ditingkatkan kasus itu ke tahap penyidikan, KPK menetapkan satu tersangka, yakni Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh.

"Tersangka IKS diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dalam pengadaan helikopter angkut AW 101 TNI AU tahun 2016-2017," tutur Basaria saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (16/6/2017) malam. (Baca juga: Korupsi Helikopter AW101, KPK dan TNI Geledah Empat Lokasi )

Saat konferensi pers Basaria didampingi Wakil Ketua KPK Thony Saut Situmorang, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan Komandan Puspom TNI Mayjen TNI Dodik Wijanarko.

Basaria membeberkan, terhadap Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor‎) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dia mengungkapkan, dalam dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101 ini negara diduga merugi Rp224 miliar.

"Diduga sebelum proses lelang dilakukan, tersangka IKS sudah melakukan perikanan kontrak pada Oktober 2015 dengan AW sebagai produsen helikopter angkut. AW ini joint venture antara Westland Helicopters di Inggris dan Agusta di Italia. Saat itu nilai kontrak USD39,3 juta atau dirupiahkan sekitar Rp514 miliar. Ini kontrak IKS melalui PT DJM dengan AW," paparnya.

Mantan staf ahli Kapolri Bidang Sosial Politik ini mengungkapkan, tapi setelah lelang dimenangkan PT DJM kemudian IKS lewat PT DJM menandatangani kontrak dengan TNI AU. Nilai kontrak berubah drastis menjadi Rp738 miliar. Selisih antara kontrak PT DJM dengan AW dan kontrak PT DJM dan TNI AU tersebutlah yang menjadi kerugian negara.

"Kerja sama kita dengan TNI khususnya POM TNI ini kita harapkan semua rekan-rekan dan masyarakat mengawal seluruh proses yang dilakukan KPK dan POM TNI. Mudah-mudahan kerjasama yang kita lakukan ini tidak berhenti di sini, akan dilakukan kerjasama-kerjasama berikutnya sehingga seluruh pemberantasan korupsi khususnya di tubuh TNI akan bisa bekerja lebih efektif," tuturnya.

Basaria menjelaskan, penyelidikan kasus ini dilakukan sejak Maret 2017. Penyelidikan dilakukan atas laporan masyarakat yang diterima KPK pada Januari 2017. Sejak saat itu, lanjut dia, KPK terus berkoordinasi dengan TNI.

Dia memaparkan, konstruksi umum kasus ini di antaranya, pada April 2016 TNI AU mengadakan pengadaan satu unit helikopter angkut AW 101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus. Metode ini berarti, proses lelang harus diikuti dua perusahaan peserta lelang.

Untuk memuluskan langkah sebagai pemenang lelang, kata dia, tersangka selaku pemilik PT DJM kemudian mengendalikan satu perusahaan lain yakni PT Karya Cipta Gemilang (KCG). Dua perusahaan tersebut kemudian mengikuti lelang.

"Lelang diduga sudah diatur oleh IKS sendiri. IKS sudah menentukan dan mengetahui pemenang lelangnya adalah PT DJM," tegasnya.

Kalau diikuti perkembangan sebelumnya, lanjut dia, bahwa pada Desember 2015 pembelian dan pengadaan helikopter AW 101 itu sudah dilarang. Bahkan ada rapat terbatas (ratas) Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Panglima TNI. Dari ratas tersebut Presiden melarang pembelian helikopter tersebut.

"Untuk korporasinya PT DJM ini belum ditetapkan tersangka, baru orangnya. Tapi potensi kami melakukan penerapan korporasinya dipidana nanti akan kami lakukan," tuturnya.

Basaria memaparkan, pengembangan kasus ini, baik di KPK maupun di Puspom TNI masih terus dilakukan. "Pengembangan masih dilakukan. Baik dari KPK maupun TNI. Sampai mana? Bisa sampai Pengguna Anggaran. Ini merupakan kewenangan di POMN TNI. Untuk kami KPK, kami akan terus mengejar siapa lagi pihak swastanya," ucapnya.

Saut Situmorang menambahkan, korupsi di Indonesia termasuk di ranah militer menjadi perhatian dunia internasional. Saat pimpinan KPK periode 2015-2019 mulai menjabat, pimpinan sudah berkomitmen untuk masuk ke korupsi di sektor militer.

Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101 ini merupakan kasus kedua yang dikerjasamakan dengan TNI. Pasalnya sebelumnya ada kasus suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) 2016.

"‎‎Kerja sama kita cukup bagus dengan TNI. Sudah ada 10 saksi yang diperiksa dalam kasus helikopter AW 101 ini," papar Saut.

Dia menuturkan, pada penanganan kasus ini tim KPK sudah membantu penyidik Puspom TNI saat melakukan penggeledahan di empat tempat di Bogor pada Mei lalu.

Dari penggeledahan tersebut ada banyak dokumen yang disita termasuk pembukuan-pembukuan atau catatan keuangan. "Untuk penyitaan uang dalam bentuk cash ada, tapi saya belum tahu jumlahnya," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0637 seconds (0.1#10.140)