UMKM Merasa Dibidik
A
A
A
KEBERATAN kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) atas kebijakan pelaporan saldo rekening minimal Rp200 juta ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak ditepis Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Pemerintah menyatakan batas minimal pelaporan saldo rekening tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang.
Apalagi kebijakan pemerintah itu bukan bertujuan untuk menarik pajak lagi, sebab saldo rekening yang berasal dari pendapatan tetap pasti sudah dipotong pajak penghasilan (PPh). Jadi, sebagaimana ditegaskan mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu bahwa informasi data rekening perbankan penting untuk mendapatkan data seputar potensi perpajakan dari sisi aset keuangan wajib pajak.
Meski Menkeu Sri Mulyani sudah menjelaskan maksud dan tujuan kebijakan pelaporan saldo rekening minimal Rp200 juta itu, para pelaku UMKM belum bisa memahami. Lewat Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), pernyataan keberatan akan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terdapat 2,3 juta rekening dengan saldo minimal Rp200 juta yang harus dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dari jutaan pemilik rekening tersebut, sebagian dimiliki para pelaku UMKM. Dengan demikian, pihak Akumindo menilai bahwa kebijakan tersebut menjadikan UMKM seakan bidik sasaran pajak.
Karena itu, kebijakan pelaporan saldo rekening itu bakal menyusahkan bahkan menyudutkan pelaku UMKM. Salah satu yang dikhawatirkan pihak Akumindo adalah munculnya praktik pungutan liar di lapangan.
Idealnya, berdasarkan versi Akumindo bahwa batas minimal saldo yang dilaporkan disesuaikan klasifikasi batas usaha menengah pada angka Rp3 miliar sesuai aturan perundangan, atau sesuai peraturan internasional sebesar Rp3,3 miliar. Jadi, kebijakan baru pemerintah tersebut dinilai menjadi kontraproduktif dengan kebijakan pemberdayaan UMKM di sisi lain yang berlandaskan pada semangat Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Sebelumnya, Kemenkeu telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 70 Tahun 2017 yang menyangkut aturan teknis Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. PMK tersebut mengatur seputar kewajiban perbankan melaporkan saldo rekening minimal Rp200 juta kepada Ditjen Pajak.
Kebijakan tersebut untuk mengakomodasi kepentingan perpajakan nasional. Dengan demikian, Ditjen Pajak lewat kebijakan baru itu seperti mendapat kunci khusus untuk mengintip rekening nasabah perbankan, tanpa harus mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas nama kepentingan perpajakan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan negeri ini.
Selain saldo rekening perbankan, peraturan baru itu juga menyasar sektor asuransi, pasar modal, hingga perkoperasian. Untuk sektor pasar modal dan perdagangan berjangka komoditi tidak dikenakan batasan saldo minimal. Aturan yang masih mendapat sorotan tajam dari sejumlah kalangan itu dijadwalkan berlaku efektif paling lambat pada 30 April 2018 mendatang.
Adapun ketentuan pertukaran informasi keuangan antarnegara, batas saldo entitas yang wajib dilaporkan minimal USD250.000 atau setara dengan Rp3,3 miliar dengan kurs Rp13.300 per dolar Amerika Serikat (AS), sesuai dengan aturan internasional yang sudah disepakati seratusan negara.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat atas kebijakan tersebut bisa disalahgunakan, pemerintah melalui Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi memberi jaminan bahwa sepanjang wajib pajak bisa menunjukkan dana tersebut sudah dikenakan pajak dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak maka tak perlu khawatir.
Apalagi dari 2,3 juta rekening dengan saldo minimal Rp200 juta tersebut nantinya hanya dilakukan validasi data saja. Adapun wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty atau pengampunan pajak maka pemeriksaan rekening hanya berlaku pada data 2016 ke atas.
Sementara itu, pihak Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) telah mengamini kebijakan pemerintah tersebut sebagai langkah positif untuk menunjukkan keterbukaan informasi perbankan di mata dunia internasional yang sejalan dengan Automatic Exchange of Information (AEoI) di mana Indonesia tergabung di dalamnya.
Suara senada datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang bisa memahami kehadiran kebijakan baru tersebut. Namun, baik pihak Apindo maupun Kadin Indonesia mengingatkan pemerintah agar data keuangan yang bisa diakses Ditjen Pajak tetap terjaga kerahasiaannya untuk menghindari tidak dimanfaatkan pihak yang tidak berkepentingan guna meraih keuntungan pribadi.
Apalagi kebijakan pemerintah itu bukan bertujuan untuk menarik pajak lagi, sebab saldo rekening yang berasal dari pendapatan tetap pasti sudah dipotong pajak penghasilan (PPh). Jadi, sebagaimana ditegaskan mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu bahwa informasi data rekening perbankan penting untuk mendapatkan data seputar potensi perpajakan dari sisi aset keuangan wajib pajak.
Meski Menkeu Sri Mulyani sudah menjelaskan maksud dan tujuan kebijakan pelaporan saldo rekening minimal Rp200 juta itu, para pelaku UMKM belum bisa memahami. Lewat Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), pernyataan keberatan akan disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terdapat 2,3 juta rekening dengan saldo minimal Rp200 juta yang harus dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dari jutaan pemilik rekening tersebut, sebagian dimiliki para pelaku UMKM. Dengan demikian, pihak Akumindo menilai bahwa kebijakan tersebut menjadikan UMKM seakan bidik sasaran pajak.
Karena itu, kebijakan pelaporan saldo rekening itu bakal menyusahkan bahkan menyudutkan pelaku UMKM. Salah satu yang dikhawatirkan pihak Akumindo adalah munculnya praktik pungutan liar di lapangan.
Idealnya, berdasarkan versi Akumindo bahwa batas minimal saldo yang dilaporkan disesuaikan klasifikasi batas usaha menengah pada angka Rp3 miliar sesuai aturan perundangan, atau sesuai peraturan internasional sebesar Rp3,3 miliar. Jadi, kebijakan baru pemerintah tersebut dinilai menjadi kontraproduktif dengan kebijakan pemberdayaan UMKM di sisi lain yang berlandaskan pada semangat Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Sebelumnya, Kemenkeu telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 70 Tahun 2017 yang menyangkut aturan teknis Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. PMK tersebut mengatur seputar kewajiban perbankan melaporkan saldo rekening minimal Rp200 juta kepada Ditjen Pajak.
Kebijakan tersebut untuk mengakomodasi kepentingan perpajakan nasional. Dengan demikian, Ditjen Pajak lewat kebijakan baru itu seperti mendapat kunci khusus untuk mengintip rekening nasabah perbankan, tanpa harus mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas nama kepentingan perpajakan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan negeri ini.
Selain saldo rekening perbankan, peraturan baru itu juga menyasar sektor asuransi, pasar modal, hingga perkoperasian. Untuk sektor pasar modal dan perdagangan berjangka komoditi tidak dikenakan batasan saldo minimal. Aturan yang masih mendapat sorotan tajam dari sejumlah kalangan itu dijadwalkan berlaku efektif paling lambat pada 30 April 2018 mendatang.
Adapun ketentuan pertukaran informasi keuangan antarnegara, batas saldo entitas yang wajib dilaporkan minimal USD250.000 atau setara dengan Rp3,3 miliar dengan kurs Rp13.300 per dolar Amerika Serikat (AS), sesuai dengan aturan internasional yang sudah disepakati seratusan negara.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat atas kebijakan tersebut bisa disalahgunakan, pemerintah melalui Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi memberi jaminan bahwa sepanjang wajib pajak bisa menunjukkan dana tersebut sudah dikenakan pajak dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak maka tak perlu khawatir.
Apalagi dari 2,3 juta rekening dengan saldo minimal Rp200 juta tersebut nantinya hanya dilakukan validasi data saja. Adapun wajib pajak yang sudah mengikuti tax amnesty atau pengampunan pajak maka pemeriksaan rekening hanya berlaku pada data 2016 ke atas.
Sementara itu, pihak Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) telah mengamini kebijakan pemerintah tersebut sebagai langkah positif untuk menunjukkan keterbukaan informasi perbankan di mata dunia internasional yang sejalan dengan Automatic Exchange of Information (AEoI) di mana Indonesia tergabung di dalamnya.
Suara senada datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang bisa memahami kehadiran kebijakan baru tersebut. Namun, baik pihak Apindo maupun Kadin Indonesia mengingatkan pemerintah agar data keuangan yang bisa diakses Ditjen Pajak tetap terjaga kerahasiaannya untuk menghindari tidak dimanfaatkan pihak yang tidak berkepentingan guna meraih keuntungan pribadi.
(poe)