Sesat Digital
A
A
A
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap aktivitas media sosial (medsos) dalam penyediaan informasi berisi hoax, ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), naminah (adu domba), dan penyebaran permusuhan. Fatwa ini tertuang dalam Nomor 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui medsos.
Fatwa haram ini menanggapi maraknya medsos yang semestinya digunakan untuk ajang silaturahmi, namun justru menimbulkan kegaduhan bahkan permusuhan. Sekretaris Jenderal MUI Asrorun Niah Sholeh mengatakan hal yang merusak menimbulkan bahaya dan ini harus ditolak. (KORAN SINDO, 6/7/2017).
Memang aktivitas medsos di Tanah Air seperti tidak terkendali. Sifat medsos yang cepat, terbuka (transparan), dan masif memunculkan kegaduhan dan perselisihan. Sifat-sifat tersebut yang semestinya mempermudah hidup manusia atau hidup manusia yang semakin efektif (prinsip teknologi baru) seolah tertutup dengan kegaduhan dan perselisihan.
Ini memunculkan bahwa medsos seolah hadir tidak memunculkan manfaat, tapi malah musibah sosial. Sebenarnya jika masyarakat kita bisa memahami secara komprehensif manfaat teknologi informasi baru ini, kegaduhan atau perselisihan tidak akan muncul. Selanjutnya, tentu, fatwa haram MUI pun tidak akan diterbitkan.
Menilik ke belakang, kegaduhan dan perselisihan medsos mulai tampak ketika pemilihan presiden 2014. Saat itu, masyarakat medsos terbelah secara nyata di antara dua kubu yang bersaing untuk menuju presiden 2014–2019. Kegaduhan saat itu sangat kentara bahkan permusuhan dunia nyata pun pernah terjadi.
Seusai perhelatan politik tersebut, kondisi medsos di Tanah Air agak mereda, namun kembali muncul jelang dan saat Pilkada Serentak 2017. Akhir 2016 hingga sekarang pun kondisinya semakin hampir sama dengan 2014 di mana masyarakat medsos terbelah menjadi dua. Kondisi terakhir tambah parah karena memunculkan kegaduhan dan perselisihan berbau SARA.
Apakah fatwa haram MUI sudah cukup? Dalam pandangan filosofi hukum, semestinya pengaturan etika atau norma dalam hal ini sudah sangat cukup atau bahkan pada level yang tertinggi. Semestinya, pengaturan pada medsos sudah cukup dengan hukum-hukum formal yang menjerat badan pelaku tindakan-tindakan fitnah atau ujaran kebencian.
Artinya, masyarakat medsos pun bisa dijerat pidana KUHP jika melakukan hal-hal seperti di atas. Dan, tampaknya, penegakan hukum formal akan lebih manjur karena selama ini etika dan norma (hukum tertinggi) sepertinya tidak dihiraukan karena memang tidak mempunyai sanksi konkret. Bayangkan jika ada seseorang yang menyebarkan berita hoax atau fitnah di medsos dikatakan melakukan tindakan haram dan dianggap berdosa.
Karena hukumannya yang tidak langsung dan konkret maka banyak yang justru menyepelekan. Padahal, sebenarnya, sanksi sosial dan agama pada tindakan berdosa lebih berat. Toh, sebagian masyarakat masih cuek.
Sementara tingkatan paling bawah untuk mengatur agar bisa santun dalam medsos adalah imbauan. Dan, sudah banyak imbauan yang dilakukan pemerintah maupun yang lainnya. Jika lantas ini dikatakan haram, menunjukkan bahwa aktivitas medsos di Tanah Air sudah sangat parah.
Tentu harapan setelah keluarnya fatwa ini harus diikuti dengan penegakan hukum dari pemerintah agar memunculkan efek jera. Tanpa menyepelekan fatwa (yang sebenarnya dalam memiliki filosofi hukum tertinggi dan subjektif), jeratan aturan formal seperti yang didesak oleh MUI harus benar-benar ditegakkan.
Fenomena ini menunjukkan betapa banyak masyarakat yang menjadi sesat digital karena gagal memanfaatkan teknologi informasi baru dengan baik. Era digital yang semestinya membawa manfaat positif buat kehidupan berbangsa justru membawa energi yang negatif buat bangsa ini setelah fatwa haram dan diikuti penegakan hukum dari pemerintah ini diharapkan masyarakat Indonesia tidak menjadi kelompok yang sesat digital.
Dengan memahami karakter teknologi yang baru, semestinya masyarakat kita bisa sangat bijak dalam menggunakan medsos. Dan, akhirnya, medsos justru membawa manfaat bagi bangsa ini bukan justru musibah.
Fatwa haram ini menanggapi maraknya medsos yang semestinya digunakan untuk ajang silaturahmi, namun justru menimbulkan kegaduhan bahkan permusuhan. Sekretaris Jenderal MUI Asrorun Niah Sholeh mengatakan hal yang merusak menimbulkan bahaya dan ini harus ditolak. (KORAN SINDO, 6/7/2017).
Memang aktivitas medsos di Tanah Air seperti tidak terkendali. Sifat medsos yang cepat, terbuka (transparan), dan masif memunculkan kegaduhan dan perselisihan. Sifat-sifat tersebut yang semestinya mempermudah hidup manusia atau hidup manusia yang semakin efektif (prinsip teknologi baru) seolah tertutup dengan kegaduhan dan perselisihan.
Ini memunculkan bahwa medsos seolah hadir tidak memunculkan manfaat, tapi malah musibah sosial. Sebenarnya jika masyarakat kita bisa memahami secara komprehensif manfaat teknologi informasi baru ini, kegaduhan atau perselisihan tidak akan muncul. Selanjutnya, tentu, fatwa haram MUI pun tidak akan diterbitkan.
Menilik ke belakang, kegaduhan dan perselisihan medsos mulai tampak ketika pemilihan presiden 2014. Saat itu, masyarakat medsos terbelah secara nyata di antara dua kubu yang bersaing untuk menuju presiden 2014–2019. Kegaduhan saat itu sangat kentara bahkan permusuhan dunia nyata pun pernah terjadi.
Seusai perhelatan politik tersebut, kondisi medsos di Tanah Air agak mereda, namun kembali muncul jelang dan saat Pilkada Serentak 2017. Akhir 2016 hingga sekarang pun kondisinya semakin hampir sama dengan 2014 di mana masyarakat medsos terbelah menjadi dua. Kondisi terakhir tambah parah karena memunculkan kegaduhan dan perselisihan berbau SARA.
Apakah fatwa haram MUI sudah cukup? Dalam pandangan filosofi hukum, semestinya pengaturan etika atau norma dalam hal ini sudah sangat cukup atau bahkan pada level yang tertinggi. Semestinya, pengaturan pada medsos sudah cukup dengan hukum-hukum formal yang menjerat badan pelaku tindakan-tindakan fitnah atau ujaran kebencian.
Artinya, masyarakat medsos pun bisa dijerat pidana KUHP jika melakukan hal-hal seperti di atas. Dan, tampaknya, penegakan hukum formal akan lebih manjur karena selama ini etika dan norma (hukum tertinggi) sepertinya tidak dihiraukan karena memang tidak mempunyai sanksi konkret. Bayangkan jika ada seseorang yang menyebarkan berita hoax atau fitnah di medsos dikatakan melakukan tindakan haram dan dianggap berdosa.
Karena hukumannya yang tidak langsung dan konkret maka banyak yang justru menyepelekan. Padahal, sebenarnya, sanksi sosial dan agama pada tindakan berdosa lebih berat. Toh, sebagian masyarakat masih cuek.
Sementara tingkatan paling bawah untuk mengatur agar bisa santun dalam medsos adalah imbauan. Dan, sudah banyak imbauan yang dilakukan pemerintah maupun yang lainnya. Jika lantas ini dikatakan haram, menunjukkan bahwa aktivitas medsos di Tanah Air sudah sangat parah.
Tentu harapan setelah keluarnya fatwa ini harus diikuti dengan penegakan hukum dari pemerintah agar memunculkan efek jera. Tanpa menyepelekan fatwa (yang sebenarnya dalam memiliki filosofi hukum tertinggi dan subjektif), jeratan aturan formal seperti yang didesak oleh MUI harus benar-benar ditegakkan.
Fenomena ini menunjukkan betapa banyak masyarakat yang menjadi sesat digital karena gagal memanfaatkan teknologi informasi baru dengan baik. Era digital yang semestinya membawa manfaat positif buat kehidupan berbangsa justru membawa energi yang negatif buat bangsa ini setelah fatwa haram dan diikuti penegakan hukum dari pemerintah ini diharapkan masyarakat Indonesia tidak menjadi kelompok yang sesat digital.
Dengan memahami karakter teknologi yang baru, semestinya masyarakat kita bisa sangat bijak dalam menggunakan medsos. Dan, akhirnya, medsos justru membawa manfaat bagi bangsa ini bukan justru musibah.
(poe)