Margarito Sebut Presidential Threshold Cermin Fenomena Politik Kapitalis
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengaku tidak setuju penerapan ambang batas pemilihan Calon presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) yang diusulkan sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebab, penerapan PT akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang memutuskan pemilu 2019 dilakukan secara serentak. Menurutnya, PT mencerminkan fenomena politik Kapitalis yang riil secara politik.
"Konsolidasi (demokrasi) bulshit semua. Gak usahlah cari argumen lain. Bilang pematangan demokrasi," ujar Margarito dalam diskusi Polemik SindoTrijayaFM bertema 'RUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi' di Cikini, Jakarta, Sabtu (20/5/2017).
Margarito menegaskan, penerapan Presidential threshold tak ada hubungannya sama sekali dengan konsolidasi demokrasi dan pematangan pemilu. Menurutnya, tujuan penerapan PT hanya supaya partai politik menjadi berkurang.
Efeknya, kata dia, peran partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presidennya hanya akan ditentukan seberapa besar 'kompromi-kompromi' yang dilakukan, namun, tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
"Kita mau konsolidasi kebangsaan atau kelompok. Presidential threshold hanya karena enggak sampe PT maka suara hilang," ucapnya.
Pansus RUU Pemilu di DPR masih diwarnai perdebatan panjang. Sebabnya adalah masing-masing fraksi masih memiliki argumen berbeda tentang penerapan sistem pemilu yang ideal. Salah satu yang menjadi sorotan adalah soal sistem pemilu apakah akan diputuskan secara terbuka atau tertutup.
Selain itu, perdebatan sengit yang menyebabkan RUU belum diketok palu adalah keinginan tiga fraksi yakni PDIP, Golkar dan Nasdem yang ngotot agar diterapkan Presidential Threshold sebesar 20 persen. Sementara mayoritas Fraksi menolak penggunaan Presidential Threshold.
Sebab, penerapan PT akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang memutuskan pemilu 2019 dilakukan secara serentak. Menurutnya, PT mencerminkan fenomena politik Kapitalis yang riil secara politik.
"Konsolidasi (demokrasi) bulshit semua. Gak usahlah cari argumen lain. Bilang pematangan demokrasi," ujar Margarito dalam diskusi Polemik SindoTrijayaFM bertema 'RUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi' di Cikini, Jakarta, Sabtu (20/5/2017).
Margarito menegaskan, penerapan Presidential threshold tak ada hubungannya sama sekali dengan konsolidasi demokrasi dan pematangan pemilu. Menurutnya, tujuan penerapan PT hanya supaya partai politik menjadi berkurang.
Efeknya, kata dia, peran partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presidennya hanya akan ditentukan seberapa besar 'kompromi-kompromi' yang dilakukan, namun, tidak melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
"Kita mau konsolidasi kebangsaan atau kelompok. Presidential threshold hanya karena enggak sampe PT maka suara hilang," ucapnya.
Pansus RUU Pemilu di DPR masih diwarnai perdebatan panjang. Sebabnya adalah masing-masing fraksi masih memiliki argumen berbeda tentang penerapan sistem pemilu yang ideal. Salah satu yang menjadi sorotan adalah soal sistem pemilu apakah akan diputuskan secara terbuka atau tertutup.
Selain itu, perdebatan sengit yang menyebabkan RUU belum diketok palu adalah keinginan tiga fraksi yakni PDIP, Golkar dan Nasdem yang ngotot agar diterapkan Presidential Threshold sebesar 20 persen. Sementara mayoritas Fraksi menolak penggunaan Presidential Threshold.
(ysw)