Usut Kasus BLBI, KPK Siap Terapkan Pidana Korporasi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan menerapkan pidana korporasi dalam kasus dugaan korupsi terkait penerbitan dan pemberian Surat Keterangan Lunas kepada obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim.
Sjamsul adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. (Baca Juga: Kasus BLBI, KPK Imbau Sjamsul Nursalim Pulang ke Indonesia )
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan ada beberapa hal yang saat ini menjadi perhatian serius bagi KPK khususnya penyidik terkait dengan kasus dugaan korupsi tersangka Syafruddin Arsjad Temenggung selaku kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004.
Syafruddin adalah tersangka penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan dan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SPKPS) atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada 2004. Keseriusan KPK tersebut karena dalam kasus ini negara diduga dirugikan sekitar Rp3,7 triliun.
Pertama, KPK sudah memiliki informasi sejumlah aset milik Sjamsul Nursalim, baik di Indonesia maupun Singapura. Saat ini tim sedang melakukan penelusuran aset secara intensif. Tujuannya untuk memastikan apakah aset-aset tersebut merupakan bagian dari kurang bayar sejumlah Rp3,7 triliun yang menjadi kerugian negara.
"Asset recovery (pengembalian aset) dalam kasus ini adalah concern KPK. Jadi KPK akan mengejar kerugian negara dan pihak-pihak yang diduga nikmati kerugian negara. Salah satu caranya dengan menerapkan pidana korporasi," tegas Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Dia mengatakan, pengusutan aset di luar negeri akan dilakukan melalui kerja sama internasional. Febri mengatakan, KPK memiliki jaringan internasional termasuk dengan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura.
"Karena itu kita akan telusuri apakah aset pribadi atau kemudian aset tersebut menjadi aset perusahaan. Karena yang diuntungkan adalah obligor itu (Sjamsul Nursalim) sendiri. Jadi kita sangat serius menggunakan pidana korporasi," paparnya.
Febri menjelaskan, dalam UU Pemberantasan Tipikor terdapat Pasal 20 yang mengatur pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum. Ditambah lagi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13/2016 yang mengatur tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Jadi penyidik sangat serius menerapkan pidana korporasi dalam kasus SKL BLBI ini. Kami sedang pertimbangkan dan analisis secara komprehensif untuk penerannya," paparnya.
Dia menambahkan, Kamis kemarin penyidik menjadwalkan pemeriksaan dua saksi untuk tersangka Syafruddin. Keduanya adalah notaris, Djoni dan Lianawat Tjendra. Hanya, keduanya tidak hadir. Untuk itu penyidik menjadwalkan ulang pemeriksan. "Pemeriksaan akan dijadwalkan ulang Senin (22 Mei 2017) di Lampung," ucapnya.
Sebelumnya, Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Sjamsul Nursalim tidak bersedia berkomentar banyak tentang penetetapan Syafruddin sebagai tersangka serta rencana KPK melakukan penerapan UU TPPU dan pidana korporasi terhadap perusahaan Sjamsul termasuk PT Gajah Tunggal Tbk.
Menurut dia, masalah BLBI sudah selesai sejak lama. "Bagi kami yang penting bahwa kewajiban BLBI sudah selesai. Hal itu selesai di tahun 1999, ketika MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) ditandatangani. Tentang hal lain, nanti kita lihat perkembangannya. Saya tidak mau berandai-andai," ujar Maqdir saat dihubungi Koran SINDO, Selasa 25 April 2017 malam.
Sjamsul adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. (Baca Juga: Kasus BLBI, KPK Imbau Sjamsul Nursalim Pulang ke Indonesia )
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan ada beberapa hal yang saat ini menjadi perhatian serius bagi KPK khususnya penyidik terkait dengan kasus dugaan korupsi tersangka Syafruddin Arsjad Temenggung selaku kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004.
Syafruddin adalah tersangka penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan dan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SPKPS) atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada 2004. Keseriusan KPK tersebut karena dalam kasus ini negara diduga dirugikan sekitar Rp3,7 triliun.
Pertama, KPK sudah memiliki informasi sejumlah aset milik Sjamsul Nursalim, baik di Indonesia maupun Singapura. Saat ini tim sedang melakukan penelusuran aset secara intensif. Tujuannya untuk memastikan apakah aset-aset tersebut merupakan bagian dari kurang bayar sejumlah Rp3,7 triliun yang menjadi kerugian negara.
"Asset recovery (pengembalian aset) dalam kasus ini adalah concern KPK. Jadi KPK akan mengejar kerugian negara dan pihak-pihak yang diduga nikmati kerugian negara. Salah satu caranya dengan menerapkan pidana korporasi," tegas Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Dia mengatakan, pengusutan aset di luar negeri akan dilakukan melalui kerja sama internasional. Febri mengatakan, KPK memiliki jaringan internasional termasuk dengan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura.
"Karena itu kita akan telusuri apakah aset pribadi atau kemudian aset tersebut menjadi aset perusahaan. Karena yang diuntungkan adalah obligor itu (Sjamsul Nursalim) sendiri. Jadi kita sangat serius menggunakan pidana korporasi," paparnya.
Febri menjelaskan, dalam UU Pemberantasan Tipikor terdapat Pasal 20 yang mengatur pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum. Ditambah lagi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13/2016 yang mengatur tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Jadi penyidik sangat serius menerapkan pidana korporasi dalam kasus SKL BLBI ini. Kami sedang pertimbangkan dan analisis secara komprehensif untuk penerannya," paparnya.
Dia menambahkan, Kamis kemarin penyidik menjadwalkan pemeriksaan dua saksi untuk tersangka Syafruddin. Keduanya adalah notaris, Djoni dan Lianawat Tjendra. Hanya, keduanya tidak hadir. Untuk itu penyidik menjadwalkan ulang pemeriksan. "Pemeriksaan akan dijadwalkan ulang Senin (22 Mei 2017) di Lampung," ucapnya.
Sebelumnya, Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Sjamsul Nursalim tidak bersedia berkomentar banyak tentang penetetapan Syafruddin sebagai tersangka serta rencana KPK melakukan penerapan UU TPPU dan pidana korporasi terhadap perusahaan Sjamsul termasuk PT Gajah Tunggal Tbk.
Menurut dia, masalah BLBI sudah selesai sejak lama. "Bagi kami yang penting bahwa kewajiban BLBI sudah selesai. Hal itu selesai di tahun 1999, ketika MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) ditandatangani. Tentang hal lain, nanti kita lihat perkembangannya. Saya tidak mau berandai-andai," ujar Maqdir saat dihubungi Koran SINDO, Selasa 25 April 2017 malam.
(dam)