Pansus RUU Pemilu Diminta Tak Paksakan Kehendak
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto meminta pembuat undang-undang (UU) untuk tidak memaksakan kehendak saat mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu 18 Mei nanti.
Pasal-pasal yang inkonstitusional dan berpotensi gugur saat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) menurut dia sebaiknya tidak lagi dipaksakan. “Jangan memaksakan kehendak. Kalau tetap diketok tapi bertentangan dengan UUD kan jadi mubazir,” ujar Sunanto saat dihubungi SINDO, Selasa (16/5/2017).
Dia menilai, yang perlu dipegang oleh pansus dan pemerintah dalam mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemilu mengedepankan kepentingan semua, kepentingan demokrasi dan belajar dari sejarah perjalanan kepemiluan di Indonesia. Sunanto mengingatkan bahwa aturan kepemiluan yang sudah berjalan baik tidak perlu dirombak apalagi jika dasarnya hanya untuk kepentingan partai tertentu.
“Jangan semena-mena, tapi putuskan berdasarkan perspektif sejarah, perspektif budaya Indonesia. Itu harapannya di situ,” tutur Sunanto.
Sunanto melihat sejumlah usulan di dalam pasal RUU memang potensial digugat dan berseberangan dengan putusan MK. Dia mencontohkan, usulan penerapan ambang batas presiden (presidential threshold), usulan tentang sistem terbuka terbatas hingga usulan mengubah status penyelenggara dari permanen menjadi sementara (adhoc).
“Inilah saya kira memang basis pembangunannya harus akademik, nilai-nilai demokrasi yang substansial bukan prosedural,” lanjut Sunanto.
Sunanto pun mengingatkan bahwa kengototan pembuat UU memaksakan masuknya pasal-pasal yang potensial digugat akan berpengaruh pada jalannya tahapan pemilu, yang dampak akhirnya akan memengaruhi kualitas dari pemilu itu sendiri.
“Karena ketika itu digugat akan memperkeruh tahapan, muncul ketidakpastian UU, yang berdampak pada turunan pelaksanaan di tingkat bawah. Dan ketika dikabulkan oleh MK semua yang sudah tahapan yang sudah dijalankan akan jungkir balik, dan tentu akan memberatkan penyelenggara, ujungnya berdampak pada hasil yang akan didapat,” pungkasnya.
Pasal-pasal yang inkonstitusional dan berpotensi gugur saat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) menurut dia sebaiknya tidak lagi dipaksakan. “Jangan memaksakan kehendak. Kalau tetap diketok tapi bertentangan dengan UUD kan jadi mubazir,” ujar Sunanto saat dihubungi SINDO, Selasa (16/5/2017).
Dia menilai, yang perlu dipegang oleh pansus dan pemerintah dalam mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemilu mengedepankan kepentingan semua, kepentingan demokrasi dan belajar dari sejarah perjalanan kepemiluan di Indonesia. Sunanto mengingatkan bahwa aturan kepemiluan yang sudah berjalan baik tidak perlu dirombak apalagi jika dasarnya hanya untuk kepentingan partai tertentu.
“Jangan semena-mena, tapi putuskan berdasarkan perspektif sejarah, perspektif budaya Indonesia. Itu harapannya di situ,” tutur Sunanto.
Sunanto melihat sejumlah usulan di dalam pasal RUU memang potensial digugat dan berseberangan dengan putusan MK. Dia mencontohkan, usulan penerapan ambang batas presiden (presidential threshold), usulan tentang sistem terbuka terbatas hingga usulan mengubah status penyelenggara dari permanen menjadi sementara (adhoc).
“Inilah saya kira memang basis pembangunannya harus akademik, nilai-nilai demokrasi yang substansial bukan prosedural,” lanjut Sunanto.
Sunanto pun mengingatkan bahwa kengototan pembuat UU memaksakan masuknya pasal-pasal yang potensial digugat akan berpengaruh pada jalannya tahapan pemilu, yang dampak akhirnya akan memengaruhi kualitas dari pemilu itu sendiri.
“Karena ketika itu digugat akan memperkeruh tahapan, muncul ketidakpastian UU, yang berdampak pada turunan pelaksanaan di tingkat bawah. Dan ketika dikabulkan oleh MK semua yang sudah tahapan yang sudah dijalankan akan jungkir balik, dan tentu akan memberatkan penyelenggara, ujungnya berdampak pada hasil yang akan didapat,” pungkasnya.
(kri)