Jadi Saksi Ahli di Kasus Makar, Yusril Nilai JPU Terburu-buru
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan terdakwa kasus penyebaran kebencian di media sosial Rizal Kobar dan Jamran. Sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi ahli yang diajukan kedua terdakwa, yakni Yusril Ihza Mahendra.
Yusril mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) dalam menjerat kedua dengan Pasal 28 UU ITE itu terkesan terburu-buru. Sebab, pasal tersebut multitafsir dan bisa menghilangkan asas kepastian hukum.
"Di sisi lain setiap warga negara berhak menyatakan pikiran, lisan, dan tulisan dijamin konstitusi, tapi di lain pihak dibatasi undang-undang, tapi sayangnya undang-undang membatasi secara multitafsir," kata Yusril di PN Jakarta Selatan, Ampera, Senin (16/5/2017).
Menurutnya, dalam menafsirkan pasal tersebut harus dilihat ada unsur kesengajaan atau tidak. Karena kalimatnya menyebutkan barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak.
"Jangan ditafsirkan sembarangan, kalau tanpa hak mengkritik sesuatu dia akan salah. Tapi sebagai warga negara dia punya hak mengkritik," paparnya.
Dia menambahkan, dalam persoalan itu kedua terdakwa bukan merupakan orang pertama mengunggah ujaran kebencian di media sosial. Namun sayangnya, JPU tak memperhatikan hal tersebut.
"Persoalannya dalam UU ITE Pak Zamran adalah orang keseribu yang meng-uploadnya. Padahal ada orang pertama yang membuat, itu tidak pernah dipikirkan tak pernah dipersoalkan," pungkasnya.
Yusril mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) dalam menjerat kedua dengan Pasal 28 UU ITE itu terkesan terburu-buru. Sebab, pasal tersebut multitafsir dan bisa menghilangkan asas kepastian hukum.
"Di sisi lain setiap warga negara berhak menyatakan pikiran, lisan, dan tulisan dijamin konstitusi, tapi di lain pihak dibatasi undang-undang, tapi sayangnya undang-undang membatasi secara multitafsir," kata Yusril di PN Jakarta Selatan, Ampera, Senin (16/5/2017).
Menurutnya, dalam menafsirkan pasal tersebut harus dilihat ada unsur kesengajaan atau tidak. Karena kalimatnya menyebutkan barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak.
"Jangan ditafsirkan sembarangan, kalau tanpa hak mengkritik sesuatu dia akan salah. Tapi sebagai warga negara dia punya hak mengkritik," paparnya.
Dia menambahkan, dalam persoalan itu kedua terdakwa bukan merupakan orang pertama mengunggah ujaran kebencian di media sosial. Namun sayangnya, JPU tak memperhatikan hal tersebut.
"Persoalannya dalam UU ITE Pak Zamran adalah orang keseribu yang meng-uploadnya. Padahal ada orang pertama yang membuat, itu tidak pernah dipikirkan tak pernah dipersoalkan," pungkasnya.
(maf)