KPU, Bawaslu, dan Pemilu 2019
A
A
A
KOMISI II DPR baru saja memilih tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lima anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2017-2022 melalui uji kepatutan dan kelayakan pada Rabu (5/4). Banyak harapan disematkan di pundak mereka terutama untuk bisa menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 secara lebih baik lagi.
Tentu harapan dari masyarakat Indonesia ini bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Apalagi, tantangan yang dihadapi pada pemilu mendatang begitu kompleks dan rumit.
Pertama, Pemilu 2019 sangat berbeda dengan penyelenggaraan pesta demokrasi pada era-era sebelumnya. Tantangan pemilu nanti sangat berat, terutama pada pelaksanaannya yang dilakukan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif (pemilu presiden/pilpres). Belum lagi ada juga pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang waktunya juga hampir bersamaan.
Pemilu legislatif yang digabung dengan pilpres ini baru pertama kali dilakukan pada 2019. Dua agenda pemilu yang dilaksanakan secara bersamaan ini tentu memiliki permasalahan yang lebih rumit dibanding sebelumnya.
Kita memang pernah sukses melaksanakan pilpres secara langsung, pemilu legislatif secara langsung, hingga pilkada serentak. Namun, ketiganya dilakukan secara terpisah dan rentang waktu yang berbeda. Belum ada pengalaman gabungan dua pemilu inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
Kedua, waktu yang tersedia untuk mempersiapkan tiga pemilu secara serentak ini tinggal sekitar dua tahun lebih. Dan, dua tahun bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan agenda besar tersebut. Apalagi, hingga saat ini keberadaan RUU Pemilu belum jelas kapan akan selesai. Pansus RUU Pemilu memang menargetkan pembahasannya akan selesai akhir April ini.
Namun, dilihat dari perdebatannya di tingkat partai politik yang begitu pelik, banyak kalangan yang pesimistis RUU Pemilu akan bisa disahkan akhir bulan ini. Hal inilah yang menjadi tantangan serius bagi DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Pemilu menjadi undang-undang.
Jika pengesahan RUU Pemilu tersebut sampai molor, ongkos politik yang ditanggung bangsa ini akan sangat mahal. Mundurnya pengesahan UU Pemilu sangat berpotensi mengganggu tahapan-tahapan pemilu yang akan dimulai pada Juni mendatang.
Itu pada gilirannya akan mengganggu pelaksanaan Pemilu 2019. Kalau itu terjadi, kualitas pemilu akan menjadi taruhannya.
Masa tugas komisioner KPU periode 2012-2017 akan selesai pada 12 April mendatang. Hal ini menjadi tantangan yang serius bagi komisioner KPU yang baru.
KPU sebagai penyelenggara pemilu membutuhkan waktu untuk mempelajari dan memahami UU Pemilu tersebut. KPU juga harus membuat aturan pelaksanaan (Peraturan) KPU untuk mengimplementasikan UU Pemilu tersebut.
Ingat bahwa dalam komisioner KPU yang baru ini hanya ada dua anggota yang lama. Lima sisanya rata-rata berasal dari KPU daerah sehingga mereka membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan tugasnya di KPU pusat.
Selain itu, UU Pemilu tersebut juga harus disosialisasikan kepada masyarakat dan peserta pemilu. Dan, ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Karena itu, tidak ada solusi lain selain menggugah kesadaran dan keseriusan segenap para stakeholder yang terlibat, terutama Pansus RUU Pemilu DPR untuk segera menuntaskan itu, maksimal akhir April. Ini sangat urgen. Tahapan pemilu tak mungkin bisa diganggu karena sejumlah jadwal pemilu seperti masa kampanye akan ditetapkan UU yang harus dilaksanakan tepat waktu.
Gambaran di atas menjadi tantangan berat para komisioner KPU terpilih dan juga Bawaslu untuk bisa menjalankan amanah besar ini secara baik. Namun, dengan tekad dan niat baik serta sinergi yang kuat seluruh kalangan, bukan hal yang mustahil penyelenggaraan pesta demokrasi ini bisa benar-benar berjalan sesuai dambaan kita semua. Yaitu, pemilu yang jujur dan adil (jurdil) dan demokratis.
Intinya, sukses dan tidak penyelenggaraan Pemilu 2019 sangat bergantung pada kerja keras, sinergitas, serta integritas para penyelenggaranya. Di sinilah para pejabat baru KPU dan Bawaslu terpilih tersebut dituntut netral, independen, dan menolak segala bentuk intervensi yang bisa merusak citra Indonesia sebagai negara demokratis di forum internasional.
Tentu harapan dari masyarakat Indonesia ini bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Apalagi, tantangan yang dihadapi pada pemilu mendatang begitu kompleks dan rumit.
Pertama, Pemilu 2019 sangat berbeda dengan penyelenggaraan pesta demokrasi pada era-era sebelumnya. Tantangan pemilu nanti sangat berat, terutama pada pelaksanaannya yang dilakukan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif (pemilu presiden/pilpres). Belum lagi ada juga pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang waktunya juga hampir bersamaan.
Pemilu legislatif yang digabung dengan pilpres ini baru pertama kali dilakukan pada 2019. Dua agenda pemilu yang dilaksanakan secara bersamaan ini tentu memiliki permasalahan yang lebih rumit dibanding sebelumnya.
Kita memang pernah sukses melaksanakan pilpres secara langsung, pemilu legislatif secara langsung, hingga pilkada serentak. Namun, ketiganya dilakukan secara terpisah dan rentang waktu yang berbeda. Belum ada pengalaman gabungan dua pemilu inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
Kedua, waktu yang tersedia untuk mempersiapkan tiga pemilu secara serentak ini tinggal sekitar dua tahun lebih. Dan, dua tahun bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan agenda besar tersebut. Apalagi, hingga saat ini keberadaan RUU Pemilu belum jelas kapan akan selesai. Pansus RUU Pemilu memang menargetkan pembahasannya akan selesai akhir April ini.
Namun, dilihat dari perdebatannya di tingkat partai politik yang begitu pelik, banyak kalangan yang pesimistis RUU Pemilu akan bisa disahkan akhir bulan ini. Hal inilah yang menjadi tantangan serius bagi DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Pemilu menjadi undang-undang.
Jika pengesahan RUU Pemilu tersebut sampai molor, ongkos politik yang ditanggung bangsa ini akan sangat mahal. Mundurnya pengesahan UU Pemilu sangat berpotensi mengganggu tahapan-tahapan pemilu yang akan dimulai pada Juni mendatang.
Itu pada gilirannya akan mengganggu pelaksanaan Pemilu 2019. Kalau itu terjadi, kualitas pemilu akan menjadi taruhannya.
Masa tugas komisioner KPU periode 2012-2017 akan selesai pada 12 April mendatang. Hal ini menjadi tantangan yang serius bagi komisioner KPU yang baru.
KPU sebagai penyelenggara pemilu membutuhkan waktu untuk mempelajari dan memahami UU Pemilu tersebut. KPU juga harus membuat aturan pelaksanaan (Peraturan) KPU untuk mengimplementasikan UU Pemilu tersebut.
Ingat bahwa dalam komisioner KPU yang baru ini hanya ada dua anggota yang lama. Lima sisanya rata-rata berasal dari KPU daerah sehingga mereka membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan tugasnya di KPU pusat.
Selain itu, UU Pemilu tersebut juga harus disosialisasikan kepada masyarakat dan peserta pemilu. Dan, ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Karena itu, tidak ada solusi lain selain menggugah kesadaran dan keseriusan segenap para stakeholder yang terlibat, terutama Pansus RUU Pemilu DPR untuk segera menuntaskan itu, maksimal akhir April. Ini sangat urgen. Tahapan pemilu tak mungkin bisa diganggu karena sejumlah jadwal pemilu seperti masa kampanye akan ditetapkan UU yang harus dilaksanakan tepat waktu.
Gambaran di atas menjadi tantangan berat para komisioner KPU terpilih dan juga Bawaslu untuk bisa menjalankan amanah besar ini secara baik. Namun, dengan tekad dan niat baik serta sinergi yang kuat seluruh kalangan, bukan hal yang mustahil penyelenggaraan pesta demokrasi ini bisa benar-benar berjalan sesuai dambaan kita semua. Yaitu, pemilu yang jujur dan adil (jurdil) dan demokratis.
Intinya, sukses dan tidak penyelenggaraan Pemilu 2019 sangat bergantung pada kerja keras, sinergitas, serta integritas para penyelenggaranya. Di sinilah para pejabat baru KPU dan Bawaslu terpilih tersebut dituntut netral, independen, dan menolak segala bentuk intervensi yang bisa merusak citra Indonesia sebagai negara demokratis di forum internasional.
(poe)