Pemisahan Politik dengan Agama Ibarat Memisahkan Gula dengan Manisnya
A
A
A
JAKARTA - Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Ketuhanan ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat sila yang lain. Sila Ketuhanan itu malah dapat diperas menjadi ekasila, yakni Gotong Royong.
Dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, Sila Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandai bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama dalam membangun bangsa dan negara ini. Dalam konteks historis itu, secara filosofis mustahil agama dipisahkan dari negara, dan memisahkan agama dari politik.
"Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali," ujar pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/3/2017).
Dia mengatakan, para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat yang sama. Dia mengakui di Eropa pada zaman Renaisans memang ada polemik pemisahan antara gereja dengan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church and state), namun bukan pemisahan agama dengan negara.
Menurutnya institusi dan kepemimpinan gereja katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara, sangat mungkin dipisahkan, tetapi pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu yang sukar dilakukan. Bahkan, lanjut dia, Prof Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi menulis dalam buku bertajuk Membentuk Negara Islam.
Dia mengungkapkan, dalam bukunya itu Prof Zainal mengatakan barangsiapa bisa memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik. Dia menambahkan, sementara Dr Notohamidjojo dalam bukunya mengatakan, bahwa ajaran Kristen ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen, dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan memengaruhi sikap dan prilaku politik tiap pemeluk Kristen.
"Begitu juga dengan agama Islam," ucapnya. (Baca: Jokowi Diminta Berpikir Jernih, Fadli Sebut Ahok Sumber Masalah)
Pendapat ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra terkait dengan pernyataan Joko Widodo (Jokowi) agar semua pihak memisahkan politik dengan agama untuk memghindari gesekan antarumat.
Dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, Sila Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandai bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama dalam membangun bangsa dan negara ini. Dalam konteks historis itu, secara filosofis mustahil agama dipisahkan dari negara, dan memisahkan agama dari politik.
"Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali," ujar pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/3/2017).
Dia mengatakan, para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat yang sama. Dia mengakui di Eropa pada zaman Renaisans memang ada polemik pemisahan antara gereja dengan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church and state), namun bukan pemisahan agama dengan negara.
Menurutnya institusi dan kepemimpinan gereja katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara, sangat mungkin dipisahkan, tetapi pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu yang sukar dilakukan. Bahkan, lanjut dia, Prof Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi menulis dalam buku bertajuk Membentuk Negara Islam.
Dia mengungkapkan, dalam bukunya itu Prof Zainal mengatakan barangsiapa bisa memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik. Dia menambahkan, sementara Dr Notohamidjojo dalam bukunya mengatakan, bahwa ajaran Kristen ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen, dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan memengaruhi sikap dan prilaku politik tiap pemeluk Kristen.
"Begitu juga dengan agama Islam," ucapnya. (Baca: Jokowi Diminta Berpikir Jernih, Fadli Sebut Ahok Sumber Masalah)
Pendapat ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra terkait dengan pernyataan Joko Widodo (Jokowi) agar semua pihak memisahkan politik dengan agama untuk memghindari gesekan antarumat.
(kur)