Politisi dan Korupsi
A
A
A
SIDANG perdana kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 9 Maret 2017 lalu menjadi pusat perhatian sekaligus keprihatinan.
Dalam sidang yang mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto dan mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Irman disebutkan sejumlah politisi ternama mantan anggota DPR serta anggota DPR yang masih aktif.
Mereka yang namanya disebut dalam kasus tersebut bukan orang sembarangan yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan tokoh-tokoh utama di partai.
Pada hari yang sama di Medan, Sumatra Utara, Pengadilan Negeri Medan memvonis Gatot Pujo Nugroho, mantan gubernur Sumatra Utara, selama empat tahun penjara.
Gatot divonis karena terbukti melakukan suap terhadap pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 senilai Rp61,8 miliar. Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Didik Setyo Handono, Gatot juga didenda sebesar Rp250 juta dan subside enam bulan kurungan.
Menkopolhukkam Wiranto saat bersamaan mengatakan, kasus e-KTP seperti bom meledak yang semua orang mengetahui kasus tersebut. Meski melibatkan banyak nama-nama besar dalam kasus itu, pemerintah akan terus mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntasan kasusnya.
Wiranto mengatakan, selain kasus e-KTP, akan muncul kasus lain yang akan menjadi bom seperti kasus Hambalang dan Century. Semua penanganan kasus itu saat ini tinggal menunggu langkah KPK.
Berkaca dari kasus-kasus di atas, semua terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang pengadilan sama-sama terlibat kasus yang sama, yaitu suap terhadap anggota Dewan yang terhormat. Korupsi seolah menjadi budaya baru bagi politisi.
Anggota DPR/DPRD dipilih oleh rakyat, diberikan kepercayaan dan mandat yang besar oleh rakyat, tentu bukan untuk duduk di ruang pengadilan yang berujung ke rumah tahanan. Mereka dipilih tentu untuk memperjuangkan hak-hak rakyat sehingga rakyat bisa menikmati kesejahteraan dan keadilan dalam berbagai hal.
Beberapa anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi dan masuk bui beberapa waktu lalu tampak belum mampu memberikan efek jera kepada mereka yang mengaku wakil rakyat. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, KPK telah menangkap lebih dari 500 politisi yang terjerat korupsi. Angka yang fantastis untuk sebuah negara demokrasi yang baru 17 tahun menjalankan reformasi.
Mengapa korupsi kini seolah menjadi bagian hidup dan mitra politisi? Banyak politisi yang sadar diri untuk menjauh dari korupsi. Tetapi, tak sedikit pula politisi yang diam-diam mencari “rezeki” dari korupsi.
Disadari atau tanpa disadari, bahaya korupsi sudah dipahami oleh semua politisi. Tetapi, kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup yang tinggi membuat korupsi seolah hal biasa yang harus dilakoni. Akhirnya korupsi menjadi tuntutan dalam pekerjaan bagi politisi yang berniat untuk memperkaya diri.
Semua yang didakwa melakukan korupsi ramai-ramai membantah telah melakukan korupsi. Namun, ada segelintir politisi yang mengakui korupsi dan mengembalikan uang yang dikorupsi ke KPK.
Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka berdiri di depan untuk menjadi contoh politisi yang bersih dan berani menolak suap dalam bentuk apa pun. Tentu hal itu seperti slogan iklan yang ditayangkan untuk memberikan rasa kepercayaan masyarakat sebelum mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Namun, setelah mereka terpilih, seharusnya slogan itu harus benar-benar dijalankan dalam dunia nyata, dan bukan sekadar slogan pepesan kosong.
Wajah-wajah politisi yang namanya pernah disebut melakukan tindak pidana korupsi tentu akan selalu diingat oleh masyarakat. Namun, menjelang pemilihan umum dua tahun mendatang, mereka akan kembali meyakinkan masyarakat dan berjanji melakukan yang terbaik sebagai wakil rakyat.
Meski takdir akan menentukan para koruptor kembali terpilih menjadi wakil rakyat, suatu saat giat korupsi yang dilakukannya perlahan akan terbongkar. Mungkin tidak saat ini, tetapi pada saatnya nanti. Seperti pepatah yang mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga.
Dalam sidang yang mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto dan mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Irman disebutkan sejumlah politisi ternama mantan anggota DPR serta anggota DPR yang masih aktif.
Mereka yang namanya disebut dalam kasus tersebut bukan orang sembarangan yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan tokoh-tokoh utama di partai.
Pada hari yang sama di Medan, Sumatra Utara, Pengadilan Negeri Medan memvonis Gatot Pujo Nugroho, mantan gubernur Sumatra Utara, selama empat tahun penjara.
Gatot divonis karena terbukti melakukan suap terhadap pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 senilai Rp61,8 miliar. Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Didik Setyo Handono, Gatot juga didenda sebesar Rp250 juta dan subside enam bulan kurungan.
Menkopolhukkam Wiranto saat bersamaan mengatakan, kasus e-KTP seperti bom meledak yang semua orang mengetahui kasus tersebut. Meski melibatkan banyak nama-nama besar dalam kasus itu, pemerintah akan terus mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntasan kasusnya.
Wiranto mengatakan, selain kasus e-KTP, akan muncul kasus lain yang akan menjadi bom seperti kasus Hambalang dan Century. Semua penanganan kasus itu saat ini tinggal menunggu langkah KPK.
Berkaca dari kasus-kasus di atas, semua terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang pengadilan sama-sama terlibat kasus yang sama, yaitu suap terhadap anggota Dewan yang terhormat. Korupsi seolah menjadi budaya baru bagi politisi.
Anggota DPR/DPRD dipilih oleh rakyat, diberikan kepercayaan dan mandat yang besar oleh rakyat, tentu bukan untuk duduk di ruang pengadilan yang berujung ke rumah tahanan. Mereka dipilih tentu untuk memperjuangkan hak-hak rakyat sehingga rakyat bisa menikmati kesejahteraan dan keadilan dalam berbagai hal.
Beberapa anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi dan masuk bui beberapa waktu lalu tampak belum mampu memberikan efek jera kepada mereka yang mengaku wakil rakyat. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, KPK telah menangkap lebih dari 500 politisi yang terjerat korupsi. Angka yang fantastis untuk sebuah negara demokrasi yang baru 17 tahun menjalankan reformasi.
Mengapa korupsi kini seolah menjadi bagian hidup dan mitra politisi? Banyak politisi yang sadar diri untuk menjauh dari korupsi. Tetapi, tak sedikit pula politisi yang diam-diam mencari “rezeki” dari korupsi.
Disadari atau tanpa disadari, bahaya korupsi sudah dipahami oleh semua politisi. Tetapi, kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup yang tinggi membuat korupsi seolah hal biasa yang harus dilakoni. Akhirnya korupsi menjadi tuntutan dalam pekerjaan bagi politisi yang berniat untuk memperkaya diri.
Semua yang didakwa melakukan korupsi ramai-ramai membantah telah melakukan korupsi. Namun, ada segelintir politisi yang mengakui korupsi dan mengembalikan uang yang dikorupsi ke KPK.
Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka berdiri di depan untuk menjadi contoh politisi yang bersih dan berani menolak suap dalam bentuk apa pun. Tentu hal itu seperti slogan iklan yang ditayangkan untuk memberikan rasa kepercayaan masyarakat sebelum mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Namun, setelah mereka terpilih, seharusnya slogan itu harus benar-benar dijalankan dalam dunia nyata, dan bukan sekadar slogan pepesan kosong.
Wajah-wajah politisi yang namanya pernah disebut melakukan tindak pidana korupsi tentu akan selalu diingat oleh masyarakat. Namun, menjelang pemilihan umum dua tahun mendatang, mereka akan kembali meyakinkan masyarakat dan berjanji melakukan yang terbaik sebagai wakil rakyat.
Meski takdir akan menentukan para koruptor kembali terpilih menjadi wakil rakyat, suatu saat giat korupsi yang dilakukannya perlahan akan terbongkar. Mungkin tidak saat ini, tetapi pada saatnya nanti. Seperti pepatah yang mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga.
(poe)