Putu Sudiartana Divonis Enam Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan pencabutan hak politik selama lima tahun terhadap anggota DPR I Putu Sudiartana.
Majelis Hakim yang terdiri atas Hariono selaku ketua dengan anggota di antaranya Mas'ud, Baslin Sinaga, dan Djoko Subagyo menilai, Putu selaku anggota Komisi III DPR terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua delik korupsi. (Baca Juga: KPK Tuntut 7 Tahun Penjara dan Cabut Hak Politik Putu Sudiartana )
Pertama, Putu bersama sekretaris pribadinya, Noviyanti dan orang dekatnya Suhemi menerima suap Rp500 juta. Uang itu diterima dengan kode sandi 500 kaleng susu.
Suap diterima dari Direktur Utama PT Fakta Nusa Ciptagraha Yogan Askan dan Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Suap dimaksudkan agar Putu membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumbar dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp530,76 miliar hingga Rp620,76 miliar.
Pada akhirnya terjadi negosiasi dan permintaan Yogan agar minimal anggaran yang diupayakan minimal Rp100 miliar hingga Rp150 miliar. Kedua, Putu terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp2,7 miliar dari tiga orang. Pertama, Salim Alaydrus Rp2,1 miliar. Kedua, Mustakim Rp300 juta. Ketiga, Ippin Mamonto (kader Partai Demokrat) Rp300 juta.
Joko mengungkapkan berdasarkan temuan KPK dan fakta persidangan terungkap uang SGD40.000 atau setara Rp375 juta yang disita saat operasi tangkap tangan (OTT) Putu merupakan bagian dari gratifikasi tadi.
"Mengadili menjatuhkan, pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurangan," kata Ketua Majelis Hakim Hariono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/3/2017) malam.
Dalam pidana pertama, Putu terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.
Untuk pidana gratifikasi, Putu dinilai terbukti melanggar Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor. Selain pidana badan, Hariono memastikan majelis juga sepakat dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Putu yang sebelumnya diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah terdakwa jalani pidana pokok," ucap Hariono.
Anggota Majelis Hakim Djoko Subagyo menegaskan, ada beberapa pertimbangan memberatkan dan meringankan bagi Putu saat pengambilan putusan pidana untuknya.
Pertimbangan memberatkan, kata hakim, Putu tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat melakukan pemberantasan korupsi dan perbuatannya menciderai penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Hal-hal meringankan, terdakwa mengakui perbuatan dan kesalahannya. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga," ujar hakim Djoko.
Dia melanjutkan, pertimbangan majelis mencabut hak politik untuk dipilih bagi Putu, yakni perbuatan Putu telah menciderai tatanan demokrasi dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga politik.
Kedua, kata dia, untuk menghindari terpilihnya wakil rakyat yang tidak berintegritas maka kepada terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. "Majelis sependapat dengan penuntut umum dalam menjatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik untuk dipilih bagi terdakwa," ucapnya.
Sejak pagi hari, Putu Sudiartana ditemani istri dan anaknya. Selama menjalani sidang Rabu malam lebih satu jam, istri Putu duduk di bangku pengunjung sidang. Saat amar putusan dibacakan, Putu tertunduk, sedangkan istrinya terisak.
Ketua Majelis Hakim Hariono lantas memberikan kesempatan bagi JPU pada KPK dan Putu serta penasihat hukumnya untuk menerima putusan, banding atau berpikir selama tujuh hari. JPU mengaku pikir-pikir. Sedangkan Putu menerima. "Baik yang mulia, saya menerima," ujar Putu.
Selepas sidang, Putu sempat tidak mau berkomentar terkait putusan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Terlihat air matanya hampir saja tumpah.
Para wartawan lalu menanyakan alasan Putu menerima putusan hakim. "Apapun keputusannya sama terima. Saya mendukung penegakan hukum apapun diputuskan. Saya mendukung penegakan hukum. Saya menerima. Saya mantan anggota Komisi III mendukung penegakan hukum. Apapun keputusannya. Saya tidak kecewa. Saya mendukung penegakan hukum. Kalau salah, salah," kata Putu.
Majelis Hakim yang terdiri atas Hariono selaku ketua dengan anggota di antaranya Mas'ud, Baslin Sinaga, dan Djoko Subagyo menilai, Putu selaku anggota Komisi III DPR terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua delik korupsi. (Baca Juga: KPK Tuntut 7 Tahun Penjara dan Cabut Hak Politik Putu Sudiartana )
Pertama, Putu bersama sekretaris pribadinya, Noviyanti dan orang dekatnya Suhemi menerima suap Rp500 juta. Uang itu diterima dengan kode sandi 500 kaleng susu.
Suap diterima dari Direktur Utama PT Fakta Nusa Ciptagraha Yogan Askan dan Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Suap dimaksudkan agar Putu membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumbar dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp530,76 miliar hingga Rp620,76 miliar.
Pada akhirnya terjadi negosiasi dan permintaan Yogan agar minimal anggaran yang diupayakan minimal Rp100 miliar hingga Rp150 miliar. Kedua, Putu terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp2,7 miliar dari tiga orang. Pertama, Salim Alaydrus Rp2,1 miliar. Kedua, Mustakim Rp300 juta. Ketiga, Ippin Mamonto (kader Partai Demokrat) Rp300 juta.
Joko mengungkapkan berdasarkan temuan KPK dan fakta persidangan terungkap uang SGD40.000 atau setara Rp375 juta yang disita saat operasi tangkap tangan (OTT) Putu merupakan bagian dari gratifikasi tadi.
"Mengadili menjatuhkan, pidana penjara selama enam tahun dan pidana denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurangan," kata Ketua Majelis Hakim Hariono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/3/2017) malam.
Dalam pidana pertama, Putu terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.
Untuk pidana gratifikasi, Putu dinilai terbukti melanggar Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor. Selain pidana badan, Hariono memastikan majelis juga sepakat dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Putu yang sebelumnya diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah terdakwa jalani pidana pokok," ucap Hariono.
Anggota Majelis Hakim Djoko Subagyo menegaskan, ada beberapa pertimbangan memberatkan dan meringankan bagi Putu saat pengambilan putusan pidana untuknya.
Pertimbangan memberatkan, kata hakim, Putu tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat melakukan pemberantasan korupsi dan perbuatannya menciderai penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Hal-hal meringankan, terdakwa mengakui perbuatan dan kesalahannya. Terdakwa belum pernah dihukum. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga," ujar hakim Djoko.
Dia melanjutkan, pertimbangan majelis mencabut hak politik untuk dipilih bagi Putu, yakni perbuatan Putu telah menciderai tatanan demokrasi dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga politik.
Kedua, kata dia, untuk menghindari terpilihnya wakil rakyat yang tidak berintegritas maka kepada terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. "Majelis sependapat dengan penuntut umum dalam menjatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik untuk dipilih bagi terdakwa," ucapnya.
Sejak pagi hari, Putu Sudiartana ditemani istri dan anaknya. Selama menjalani sidang Rabu malam lebih satu jam, istri Putu duduk di bangku pengunjung sidang. Saat amar putusan dibacakan, Putu tertunduk, sedangkan istrinya terisak.
Ketua Majelis Hakim Hariono lantas memberikan kesempatan bagi JPU pada KPK dan Putu serta penasihat hukumnya untuk menerima putusan, banding atau berpikir selama tujuh hari. JPU mengaku pikir-pikir. Sedangkan Putu menerima. "Baik yang mulia, saya menerima," ujar Putu.
Selepas sidang, Putu sempat tidak mau berkomentar terkait putusan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Terlihat air matanya hampir saja tumpah.
Para wartawan lalu menanyakan alasan Putu menerima putusan hakim. "Apapun keputusannya sama terima. Saya mendukung penegakan hukum apapun diputuskan. Saya mendukung penegakan hukum. Saya menerima. Saya mantan anggota Komisi III mendukung penegakan hukum. Apapun keputusannya. Saya tidak kecewa. Saya mendukung penegakan hukum. Kalau salah, salah," kata Putu.
(dam)