2.519 Desa Masih Gelap
A
A
A
PEMERINTAH masih punya tugas besar untuk menerangi desa di seluruh wilayah Indonesia. Tak kurang dari 12.000 desa yang belum menikmati listrik secara maksimal.
Dari angka tersebut, sebanyak 2.519 desa sama sekali belum teraliri listrik. Sebagian besar terletak di ujung timur Indonesia alias Papua.
Atas nama keadilan dan pemerataan pembangunan, kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat terobosan dengan membagikan paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) ke wilayah Papua. Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik mini di desa yang membutuhkan.
Pemerintah telah mengalokasikan dana Rp330,5 miliar untuk pembiayaan LTSHE yang dibagikan kepada 95.729 rumah tangga tahun ini. Tahun depan anggaran LTSHE dinaikkan menjadi Rp976,5 miliar yang menyasar 197.803 rumah tangga.
Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun jatah Papua Barat sejumlah 16.399 LTSHE dan Papua sebanyak 72.482 LTSHE tahun ini. Pemerintah juga berjanji membangun pembangkit listrik yang memanfaatkan potensi energi terbarukan lokal di Papua, di antaranya pembangkit tenaga minihidro dan pembangkit listrik tenaga surya.
Langkah pemerintah untuk mempercepat masuk aliran listrik di perdesaan memang tidak diragukan. Hanya, selama ini terkesan jalan di tempat.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan membuka kesempatan kepada badan usaha selain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menghadirkan pembangkit, menjual listrik langsung kepada masyarakat.
Jadi, badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, dan pihak swasta kini memiliki kesempatan berbisnis listrik yang selama ini telah menjadi monopoli PLN. Dan, tidak tertutup kemungkinan badan usaha, yang siap berpartisipasi dalam program menerangi wilayah perdesaan terpencil yang masih gelap gulita, mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Pemerintah mengakui subsidi listrik kepada masyarakat selama ini justru tidak tepat sasaran. Anggaran subsidi listrik yang digelontorkan begitu besar setiap tahun malah dinikmati masyarakat mampu.
Tengok saja, dalam rentang waktu sejak 2011 hingga 2014 anggaran subsidi listrik tak pernah di bawah Rp90 triliun. Selanjutnya, pada 2015 anggaran subsidi listrik mengecil menjadi senilai Rp56,6 triliun dan tahun lalu turun lagi menjadi Rp48,5 triliun dan sebanyak Rp44,98 triliun tahun ini.
Selain menekan angka subsidi, pemerintah juga mencabut subsidi listrik untuk 18,7 juta pelanggan listrik 900 VA karena sudah dinyatakan mampu membayar tanpa subsidi lagi. Angka tersebut mengacu pada data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang mengungkapkan bahwa hanya 4,1 juta dari 22,8 juta pelanggan listrik 900 VA yang layak menikmati subsidi listrik.
Melalui pencabutan subsidi listrik untuk masyarakat mampu, pemerintah kemudian mengalokasikan untuk mempercepat akselerasi rasio elektrifikasi atau tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Data terbaru menunjukkan rasio elektrifikasi di negeri ini baru mencapai sekitar 88,3% dengan kata lain masih terdapat 11,7% atau sebanyak 29 juta jiwa penduduk yang belum merasakan penerangan listrik.
Sementara pihak PLN mematok rasio elektrifikasi nasional 100% bakal terwujud pada tujuh tahun ke depan. Jadi, seluruh masyarakat Indonesia baru bisa menikmati listrik pada 2024. Sebelumnya perusahaan pelat merah itu menargetkan rasio elektrifikasi nasional terwujud pada 2027.
Memang sangat disayangkan untuk menggenjot rasio elektrifikasi nasional pemerintah belum memanfaatkan secara maksimal sumber energi baru terbarukan (EBT).
Pengembangan EBT terkendala pada biaya investasi yang masih tergolong mahal dibanding energi fosil. Bicara soal energi alternatif, pemerintah harus belajar dari Uni Emirat Arab (UEA) yang kini gencar memanfaatkan energi matahari sebagai sumber listrik.
Pemerintah negara penghasil minyak terbesar ketiga di dunia itu justru menghindari ketergantungan pada minyak. Konsumsi minyak UEA hanya 4% hingga 5%, padahal mampu memproduksi minyak 3 juta barel per hari.
Harga listrik yang dihasilkan dari tenaga matahari hanya 2,99 sen per kilowatt hour (kwh), bandingkan harga di dalam negeri yang mencapai 14 sen per kwh. Kok bisa lebih murah?
Ternyata Pemerintah UEA memberikan insentif pajak 0%. Artinya, Pemerintah Indonesia juga bisa kalau atas nama kesejahteraan masyarakat.
Dari angka tersebut, sebanyak 2.519 desa sama sekali belum teraliri listrik. Sebagian besar terletak di ujung timur Indonesia alias Papua.
Atas nama keadilan dan pemerataan pembangunan, kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat terobosan dengan membagikan paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) ke wilayah Papua. Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik mini di desa yang membutuhkan.
Pemerintah telah mengalokasikan dana Rp330,5 miliar untuk pembiayaan LTSHE yang dibagikan kepada 95.729 rumah tangga tahun ini. Tahun depan anggaran LTSHE dinaikkan menjadi Rp976,5 miliar yang menyasar 197.803 rumah tangga.
Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun jatah Papua Barat sejumlah 16.399 LTSHE dan Papua sebanyak 72.482 LTSHE tahun ini. Pemerintah juga berjanji membangun pembangkit listrik yang memanfaatkan potensi energi terbarukan lokal di Papua, di antaranya pembangkit tenaga minihidro dan pembangkit listrik tenaga surya.
Langkah pemerintah untuk mempercepat masuk aliran listrik di perdesaan memang tidak diragukan. Hanya, selama ini terkesan jalan di tempat.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan membuka kesempatan kepada badan usaha selain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menghadirkan pembangkit, menjual listrik langsung kepada masyarakat.
Jadi, badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, dan pihak swasta kini memiliki kesempatan berbisnis listrik yang selama ini telah menjadi monopoli PLN. Dan, tidak tertutup kemungkinan badan usaha, yang siap berpartisipasi dalam program menerangi wilayah perdesaan terpencil yang masih gelap gulita, mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Pemerintah mengakui subsidi listrik kepada masyarakat selama ini justru tidak tepat sasaran. Anggaran subsidi listrik yang digelontorkan begitu besar setiap tahun malah dinikmati masyarakat mampu.
Tengok saja, dalam rentang waktu sejak 2011 hingga 2014 anggaran subsidi listrik tak pernah di bawah Rp90 triliun. Selanjutnya, pada 2015 anggaran subsidi listrik mengecil menjadi senilai Rp56,6 triliun dan tahun lalu turun lagi menjadi Rp48,5 triliun dan sebanyak Rp44,98 triliun tahun ini.
Selain menekan angka subsidi, pemerintah juga mencabut subsidi listrik untuk 18,7 juta pelanggan listrik 900 VA karena sudah dinyatakan mampu membayar tanpa subsidi lagi. Angka tersebut mengacu pada data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang mengungkapkan bahwa hanya 4,1 juta dari 22,8 juta pelanggan listrik 900 VA yang layak menikmati subsidi listrik.
Melalui pencabutan subsidi listrik untuk masyarakat mampu, pemerintah kemudian mengalokasikan untuk mempercepat akselerasi rasio elektrifikasi atau tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Data terbaru menunjukkan rasio elektrifikasi di negeri ini baru mencapai sekitar 88,3% dengan kata lain masih terdapat 11,7% atau sebanyak 29 juta jiwa penduduk yang belum merasakan penerangan listrik.
Sementara pihak PLN mematok rasio elektrifikasi nasional 100% bakal terwujud pada tujuh tahun ke depan. Jadi, seluruh masyarakat Indonesia baru bisa menikmati listrik pada 2024. Sebelumnya perusahaan pelat merah itu menargetkan rasio elektrifikasi nasional terwujud pada 2027.
Memang sangat disayangkan untuk menggenjot rasio elektrifikasi nasional pemerintah belum memanfaatkan secara maksimal sumber energi baru terbarukan (EBT).
Pengembangan EBT terkendala pada biaya investasi yang masih tergolong mahal dibanding energi fosil. Bicara soal energi alternatif, pemerintah harus belajar dari Uni Emirat Arab (UEA) yang kini gencar memanfaatkan energi matahari sebagai sumber listrik.
Pemerintah negara penghasil minyak terbesar ketiga di dunia itu justru menghindari ketergantungan pada minyak. Konsumsi minyak UEA hanya 4% hingga 5%, padahal mampu memproduksi minyak 3 juta barel per hari.
Harga listrik yang dihasilkan dari tenaga matahari hanya 2,99 sen per kilowatt hour (kwh), bandingkan harga di dalam negeri yang mencapai 14 sen per kwh. Kok bisa lebih murah?
Ternyata Pemerintah UEA memberikan insentif pajak 0%. Artinya, Pemerintah Indonesia juga bisa kalau atas nama kesejahteraan masyarakat.
(poe)