Independensi KPK Tuntaskan Kasus Korupsi E-KTP Diuji
A
A
A
JAKARTA - Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) diuji.
Pasalnya, kasus korupsi itu diduga melibatkan banyak pihak, sebagaimana diakui Ketua KPK Agus Rahardjo saat berada di Kompleks Kepresidenan, Jakarta, Jumat 3 Maret 2017.
(Baca Juga: Kasus E-KTP Seret Banyak Nama, Ketua KPK: Semoga Tak Ada Guncangan Politik )
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, korupsi yang melibatkan oknum-oknum dari kekuasaan, terutama yang sering terjadi eksekutif bersama legislatif merupakan korupsi yang bersifat sistemik.
"Bagaimana tidak, yang satu mengajukan proposal kegiatan, yang satunya memeriksa dan menyetujui anggaran," ujar Fickar kepada SINDOnews, Sabtu (4/3/2017).
Menurut dia, pola hubungan interdependensi kerap melahirkan para pelaku korupsi. "Kasus e-KTP merupakan cerminan nyata dari korupsi jenis ini, yang setiap tahun anggaran pasti berulang," tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, tidak mengherankan jika banyak melibatkan orang yang memang "berbakat" untuk korupsi. "Persoalannya adalah sejauh mana independensi KPK bisa ditegakkan (untuk) berani menetapkan para (nama-nama besar) itu sebagai tersangka, seperti kita ketahui orang-orang yang pernah dipanggil KPK terdiri atas gubernur aktif, menteri dan para anggota, bahkan ketua DPR, yang di antaranya 14 orang telah mengembalikan uangnya Rp250 milliar," ungkapnya.
Dia berpendapat, korupsi e-KTP adalah megakorupsi karena anggarannya sebesar Rp6 triliun.
Dengan dana sebesar itu dikatakannya sangat mungkin banyak pihak menikmatinya. "S‎ekali lagi mari kita dukung KPK memberantas bandit-bandit korupsi," ucapnya.
Pasalnya, kasus korupsi itu diduga melibatkan banyak pihak, sebagaimana diakui Ketua KPK Agus Rahardjo saat berada di Kompleks Kepresidenan, Jakarta, Jumat 3 Maret 2017.
(Baca Juga: Kasus E-KTP Seret Banyak Nama, Ketua KPK: Semoga Tak Ada Guncangan Politik )
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, korupsi yang melibatkan oknum-oknum dari kekuasaan, terutama yang sering terjadi eksekutif bersama legislatif merupakan korupsi yang bersifat sistemik.
"Bagaimana tidak, yang satu mengajukan proposal kegiatan, yang satunya memeriksa dan menyetujui anggaran," ujar Fickar kepada SINDOnews, Sabtu (4/3/2017).
Menurut dia, pola hubungan interdependensi kerap melahirkan para pelaku korupsi. "Kasus e-KTP merupakan cerminan nyata dari korupsi jenis ini, yang setiap tahun anggaran pasti berulang," tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, tidak mengherankan jika banyak melibatkan orang yang memang "berbakat" untuk korupsi. "Persoalannya adalah sejauh mana independensi KPK bisa ditegakkan (untuk) berani menetapkan para (nama-nama besar) itu sebagai tersangka, seperti kita ketahui orang-orang yang pernah dipanggil KPK terdiri atas gubernur aktif, menteri dan para anggota, bahkan ketua DPR, yang di antaranya 14 orang telah mengembalikan uangnya Rp250 milliar," ungkapnya.
Dia berpendapat, korupsi e-KTP adalah megakorupsi karena anggarannya sebesar Rp6 triliun.
Dengan dana sebesar itu dikatakannya sangat mungkin banyak pihak menikmatinya. "S‎ekali lagi mari kita dukung KPK memberantas bandit-bandit korupsi," ucapnya.
(dam)