Etika Pejabat Publik
A
A
A
ADA yang tidak pas dalam penyambutan kedatangan Raja Salman di Lanud Halim Perdanakusuma pada Rabu (1/3/2017) lalu. Keberadaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ikut mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menerima kunjungan resmi pemimpin Arab Saudi tersebut akhirnya mengundang pro-kontra.
Keikutsertaan pejabat yang kini berstatus terdakwa dalam kasus penodaan agama ini dinilai tidak etis dan bisa menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan ketatanegaraan negara ini. Bahkan, fenomena ini juga bisa memunculkan citra negatif bagi pemerintahan Presiden Jokowi.
Kedatangan Ahok dalam acara penyambutan Raja Salman ini sepintas memang terlihat biasa saja. Karena sebagai gubernur DKI Jakarta, memang sudah sepantasnya Ahok ikut menyambut tamu kenegaraan tersebut.
Namun, jangan lupa bahwa Ahok saat ini berstatus terdakwa dalam kasus yang sangat serius, yakni penodaan agama. Apalagi, kita tahu bersama bahwa tamu yang disambut adalah pemimpin Kerajaan Arab Saudi, negara yang berasaskan Islam. Tentu hal ini sangat ironis.
Mungkin kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya pada Ahok karena memang jabatannya sebagai gubernur masih melekat, dan dia berusaha menjalankan tugasnya secara baik. Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana pemerintah membiarkan seorang pejabat publik yang sudah berstatus terdakwa masih bisa melenggang bebas. Pemerintah hingga saat ini belum menonaktifkannya.
Kejanggalan lain adalah sikap aparat hukum yang belum juga melakukan penahanan terhadap Ahok. Pemerintah dan aparat hukum seperti tak bergeming meski banyak sorotan tajam dari masyarakat.
Berbagai keistimewaan yang diterima oleh Ahok ini tentu mengundang kecurigaan publik. Betapa tidak. Pemerintah seakan memberikan “fasilitas khusus” bagi Ahok agar terus menjabat gubernur DKI.
Jika ini dibiarkan, publik tak bisa disalahkan kalau kemudian ada kecurigaan pemerintah tidak netral dalam Pilkada DKI. Apalagi, Ahok diusung oleh mayoritas partai pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura.
Publik juga tidak bisa disalahkan bila akhirnya mempertanyakan keadilan pemerintah dan aparat hukum dalam memperlakukan para kepala daerah yang tersangkut kasus pidana. Kita bisa membandingkan dengan banyak kasus, di mana pemerintah dan aparat hukum ternyata sangat tegas terhadap para kepala daerah lain.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, misalnya, dinonaktifkan setelah ditahan dan kasusnya mulai disidangkan. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho juga dinonaktifkan begitu ditahan dan kasusnya mulai disidangkan ke pengadilan. Masih banyak para kepala daerah yang juga bernasib sama seperti Ratu Atut dan Gatot mulai Gubernur Riau Rusli Zainal hingga Wali Kota Semarang Soemarmo HS.
Sikap “pilih kasih” pemerintah ini sungguh patut disesalkan. Kebijakan mendua pemerintah tersebut bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi serius bagi citra kepemimpinan Presiden Jokowi.
Pertama, kebijakan tebang pilih pemerintah ini akan memberikan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Dalam negara yang berdasarkan hukum, semua sama kedudukannya di mata hukum.
Karena itu, pemerintah dan aparat hukum tak boleh menganakemaskan pejabat atau kelompok tertentu. Kalau itu dilakukan maka akan berakibat fatal pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah maupun aparat hukum.
Kedua, fenomena ini akan ikut mempermalukan Presiden Jokowi yang selalu mengampanyekan pentingnya penegakan hukum. Masyarakat akan menilai bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak konsisten dalam menegakkan hukum.
Ini sangat berbahaya. Jangan sampai masyarakat akhirnya mencari keadilannya sendiri karena pemerintah dan aparat hukumnya dinilai tidak objektif dalam menegakkan aturan perundangan.
Ketiga, status terdakwa Ahok yang masih dibiarkan menjabat gubernur akan berimplikasi serius pada kebijakan yang dikeluarkannya. Masyarakat dikhawatirkan akan mempermasalahkan keabsahan kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur yang menyandang status terdakwa.
Karena itu, pemerintah dan aparat hukum sudah seharusnya merefleksi diri dalam penanganan kasus Ahok secara baik sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai kepentingan politik kelompok tertentu menghancurkan kredibilitas penegakan hukum di Indonesia.
Kebijakan yang berstandar ganda memiliki risiko tinggi dan ongkos politik yang sangat mahal bagi keberlangsungan demokrasi bangsa ini ke depan.
Keikutsertaan pejabat yang kini berstatus terdakwa dalam kasus penodaan agama ini dinilai tidak etis dan bisa menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan ketatanegaraan negara ini. Bahkan, fenomena ini juga bisa memunculkan citra negatif bagi pemerintahan Presiden Jokowi.
Kedatangan Ahok dalam acara penyambutan Raja Salman ini sepintas memang terlihat biasa saja. Karena sebagai gubernur DKI Jakarta, memang sudah sepantasnya Ahok ikut menyambut tamu kenegaraan tersebut.
Namun, jangan lupa bahwa Ahok saat ini berstatus terdakwa dalam kasus yang sangat serius, yakni penodaan agama. Apalagi, kita tahu bersama bahwa tamu yang disambut adalah pemimpin Kerajaan Arab Saudi, negara yang berasaskan Islam. Tentu hal ini sangat ironis.
Mungkin kita tak bisa menyalahkan sepenuhnya pada Ahok karena memang jabatannya sebagai gubernur masih melekat, dan dia berusaha menjalankan tugasnya secara baik. Yang patut dipertanyakan adalah bagaimana pemerintah membiarkan seorang pejabat publik yang sudah berstatus terdakwa masih bisa melenggang bebas. Pemerintah hingga saat ini belum menonaktifkannya.
Kejanggalan lain adalah sikap aparat hukum yang belum juga melakukan penahanan terhadap Ahok. Pemerintah dan aparat hukum seperti tak bergeming meski banyak sorotan tajam dari masyarakat.
Berbagai keistimewaan yang diterima oleh Ahok ini tentu mengundang kecurigaan publik. Betapa tidak. Pemerintah seakan memberikan “fasilitas khusus” bagi Ahok agar terus menjabat gubernur DKI.
Jika ini dibiarkan, publik tak bisa disalahkan kalau kemudian ada kecurigaan pemerintah tidak netral dalam Pilkada DKI. Apalagi, Ahok diusung oleh mayoritas partai pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura.
Publik juga tidak bisa disalahkan bila akhirnya mempertanyakan keadilan pemerintah dan aparat hukum dalam memperlakukan para kepala daerah yang tersangkut kasus pidana. Kita bisa membandingkan dengan banyak kasus, di mana pemerintah dan aparat hukum ternyata sangat tegas terhadap para kepala daerah lain.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, misalnya, dinonaktifkan setelah ditahan dan kasusnya mulai disidangkan. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho juga dinonaktifkan begitu ditahan dan kasusnya mulai disidangkan ke pengadilan. Masih banyak para kepala daerah yang juga bernasib sama seperti Ratu Atut dan Gatot mulai Gubernur Riau Rusli Zainal hingga Wali Kota Semarang Soemarmo HS.
Sikap “pilih kasih” pemerintah ini sungguh patut disesalkan. Kebijakan mendua pemerintah tersebut bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi serius bagi citra kepemimpinan Presiden Jokowi.
Pertama, kebijakan tebang pilih pemerintah ini akan memberikan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Dalam negara yang berdasarkan hukum, semua sama kedudukannya di mata hukum.
Karena itu, pemerintah dan aparat hukum tak boleh menganakemaskan pejabat atau kelompok tertentu. Kalau itu dilakukan maka akan berakibat fatal pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah maupun aparat hukum.
Kedua, fenomena ini akan ikut mempermalukan Presiden Jokowi yang selalu mengampanyekan pentingnya penegakan hukum. Masyarakat akan menilai bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak konsisten dalam menegakkan hukum.
Ini sangat berbahaya. Jangan sampai masyarakat akhirnya mencari keadilannya sendiri karena pemerintah dan aparat hukumnya dinilai tidak objektif dalam menegakkan aturan perundangan.
Ketiga, status terdakwa Ahok yang masih dibiarkan menjabat gubernur akan berimplikasi serius pada kebijakan yang dikeluarkannya. Masyarakat dikhawatirkan akan mempermasalahkan keabsahan kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur yang menyandang status terdakwa.
Karena itu, pemerintah dan aparat hukum sudah seharusnya merefleksi diri dalam penanganan kasus Ahok secara baik sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai kepentingan politik kelompok tertentu menghancurkan kredibilitas penegakan hukum di Indonesia.
Kebijakan yang berstandar ganda memiliki risiko tinggi dan ongkos politik yang sangat mahal bagi keberlangsungan demokrasi bangsa ini ke depan.
(poe)