Raja Salman, Dunia Islam dan Masa Depan Indonesia

Kamis, 02 Maret 2017 - 08:03 WIB
Raja Salman, Dunia Islam...
Raja Salman, Dunia Islam dan Masa Depan Indonesia
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

KUNJUNGAN Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud pada 1-9 Maret 20017, merupakan kunjungan kedua Raja Arab Saudi ke Indonesia, setelah kunjungan Raja Faisal bin Abdul Aziz pada 47 tahun silam (10/6/1970).

Kunjungan kali merupakan kunjungan spektakuler sepanjang sejarah, karena membawa serta 10 menteri, 25 pangeran dan 1.500 delegasi, dengan tujuh pesawat dan 540 ton logistik dan perbekalan lainnya. Yang lebih menghebohkan adalah rencana investasi kerajaan Arab Saudi sebesar USD25 miliar atau sekitar Rp325 triliun untuk pembangunan ekonomi Indonesia.

Tentu saja Khadim al-Haramain al-Syarifain (pelayan dua Masjid Suci) kali ini memiliki makna yang sangat strategis tidak hanya bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, tapi juga bagi dunia Islam.

Beberapa media massa Timur Tengah seperti as-Syarq al-Awsat, al-Jazeera, dan al-Arabiya menyebut kunjungan Sang Raja kali ini sebagai kunjungan persaudaraan paling bersejarah (ziyarah ukhuwiyyah tarikhiyyah).

Namun demikian, kunjungan Sang Raja juga tidak sepi dari kontroversi. Ada pihak yang mencibir dan nyinyir, terlebih destinasi liburan Sang Raja adalah Bali, bukan Lombok yang sedang giat mempromosikan wisata syariah. Banyak pula yang menyambutnya dengan positif karena bagi Indonesia, Arab Saudi merupakan mitra strategis.

Mereka yang mencibir dengan memandang “sebelah mata” Sang Raja dan Kerajaan Arab Saudi pada umumnya disebabkan oleh sentimen anti-Arab, anti-Wahabi. Selain itu adalah persepsi negatif terhadap negara-negara Arab yang gemar berperang satu sama lain, masih melestarikan tradisi perbudakan, isu kekerasan seksual TKW di Arab Saudi, dan sebagainya.

Isu-isu negatif yang berkembang di media sosial juga cenderung menganggap sang Raja yang hafiz Alquran itu sebagai pemimpin yang bersikap royal dan suka berfoya-foya. Apa makna strategis kunjungan ukhuwah ini bagi Indonesia dan dunia Islam?

Perdamaian Dunia Islam
Islam lahir di Jazirah Arabiyah, berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kiblat umat Islam seluruh dunia, Kakbah yang berada di Masjidilharam juga terdapat di Arab Saudi. Di Tanah Suci Mekkah, Nabi Muhammad SAW lahir, dibesarkan, dan mendapatkan wahyu untuk mendakwahkan agama Islam.

Kitab Suci Alquran juga berbahasa Arab. Dari tanah Arab pula ajaran tauhid (monoteisme) sebagai sendi utama ajaran Islam, ditegakkan. Ajaran tauhid––yang berarti mengesakan dan menyatukan—inilah yang menjadi spirit teologis dan sosiologis untuk menyatukan orientasi umat Islam seluruh dunia dalam beribadah dan menyatukan visi dan misi Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin.

Oleh karena itu, kunjungan Raja Salman menjadi sangat penting dimaknai dalam konteks Islam baik dunia Islam maupun Islam Indonesia. Selama ini dikesankan bahwa Islam yang berkembang di negara-negara Arab cenderung menampilkan wajah “sangar”, penuh kekerasan, terorisme, dan perang.

Padahal, sejatinya Islam itu agama damai dan menyerukan perdamaian. Islam juga bukan agama teror, dan secara tegas melarang umatnya menjadi teroris atas nama apa pun.

Kalaupun ada teroris yang mengaku muslim, boleh jadi disebabkan oleh pemahaman yang keliru, sempit, intoleran, dan radikal terhadap ajaran dasar Islam, khususnya tentang konsep jihad dan qital (perang). Terorisme itu juga dapat disebabkan oleh perlakukan tidak adil yang dilakukan oleh Barat yang cenderung mengidap islamfobia terhadap umat dan negara-negara Islam.

Terorisme juga bisa dilakukan oleh penganut agama selain Islam, dan bahkan oleh negara (terorism state) terhadap negara lain seperti teror Israel terhadap rakyat Palestina.

Sebagai negara paling berpengaruh dan disegani, Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman memainkan peran penting dalam mengaktualisasikan agenda perdamaian kawasan Timur Tengah dan dunia Islam.

Raja Salman idealnya dapat berkontribusi lebih konkret dan nyata dalam mewujudkan perdamaian di kalangan muslim yang terlibat perang saudara di Yaman, Suriah, dan Irak, maupun perang berkepanjangan yang dialami rakyat Palestina melawan penjajahan Zionis Israel.

Berbagai inisiasi dan agenda perdamaian multilateral antara dunia Islam dan Barat idealnya tidak hanya dibicarakan sebatas wacana dalam forum-forum dunia seperti Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam(OKI), PBB, tapi juga dapat diwujudkan secara konkret melalui komitmen, perjanjian, dan aksi damai yang dilandasi spirit persaudaraan dan persatuan dunia Islam.

Dalam konteks ini, melalui dialog para tokoh dan pemimpin Islam Indonesia dengan Raja Salman, pemerintah Indonesia dapat menyerukan dan menitipkan inspirasi dan pesan moral Islam Indonesia yang rukun, toleran, dan damai kepada pemerintah Arab Saudi, yang dalam beberapa tahun terakhir terlibat dalam perang melawan “teroris” Hauthi di Yaman.

Budaya kekerasan dan konflik yang belakangan melanda dunia Islam, antara lain, disebabkan oleh dominannya pendekatan politik yang penuh intrik dan konflik konfrontatif.

Karena itu, pendekatan kultural, struktural, dan diplomasi damai di Indonesia dalam mewujudkan Islam yang ramah dan rahmah penting juga ditiru dan dikembangkan oleh dunia Islam, meskipun Indonesia sendiri selalu mendapat “ujian aksi terorisme”.

Dunia Islam sangat mengharapkan pengaruh Raja Salman berperan nyata dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial politik di kawasan Timur Tengah dan berbagai belahan dunia Islam lainnya.

Masa depan Islam Indonesia
Dalam konteks Islam Indonesia, kehadiran Raja Salman diharapkan memberikan “angin segar” dan harapan positif bagi peningkatan kualitas kerja sama strategis untuk umat Islam dan bangsa Indonesia ke depan.

Salah satu agenda paling mendesak adalah “mengetuk kemurahan hati” sang Raja untuk tidak hanya menormalisasi kuota jamaah haji Indonesia yang berjumlah 221.000 orang tahun ini, tapi juga meningkatkannya secara bertahap hingga 20 tahun ke depan. Karena daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji Indonesia sudah mencapai lebih dari 20 tahun.

Sebagai negara yang paling banyak memberangkatkan jamaah haji dan umrah, pemerintah Indonesia mestinya mempunyai posisi tawar yang kuat untuk “meluluhkan hati” sang Raja, sehingga calon jamaah haji Indonesia tidak diliputi rasa waswas dan galau untuk bisa berangkat ke Tanah Suci, lebih-lebih mereka yang sudah berusia lebih dari 60 tahun.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Presiden dan Menteri Agama, harus mampu meyakinkan Raja Salman bahwa sebagai mitra strategis warga Indonesia perlu diberikan keringanan dan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga perlu menerapkan “diplomasi ASEAN” dengan meminta kuota jamaah haji yang tidak dapat dipenuhi oleh negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Thailand, Myanmar, Laos, Malaysia, Timor Leste, untuk diberikan kepada jamaah haji Indonesia, agar pemberangkatan jamaah Indonesia dapat lebih dipercepat dan dipangkas, hingga masa tunggunya maksimal lima tahun.

Sulit dibantah bahwa jamaah haji dan umrah Indonesia termasuk penyumbang “devisa” Arab Saudi yang cukup besar. Bayangkan saja, jika seorang jamaah membelanjakan USD500 x 220.000 jamaah haji + 250.000 jamaah umrah, maka setiap tahun tidak kurang dari USD235.000.000 menyumbang roda perekonomian Saudi.

Belum lagi, Saudi Airline selama ini juga termasuk maskapai yang mendapat “jatah” dari pemerintah RI untuk memberangkatkan jamaah haji Indonesia. Posisi tawar ini mestinya dapat memperkuat diplomasi dan negosiasi pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan penyelenggaraan haji dan umrah, terutama panjangnya antrean calon jamaah haji.

Agenda pendidikan dan kebudayaan Islam juga perlu mendapat perhatian serius dalam hubungan bilateral kedua negara. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia harus mampu memengaruhi Raja Salman untuk menambah dan meningkatkan jumlah beasiswa untuk pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi ke jenjang S-1, S-2, dan S-3 di beberapa universitas bergengsi seperti Universitas King Malik Saud, Universitas King Malik Abdul Aziz, Universitas Malik Faisal, Universitas Umm al-Qura.

Penambahan jumlah beasiswa ini menjadi sangat penting karena pendidikan dan kajian Islam di beberapa universitas tersebut relatif modern dan terbuka, terlebih untuk program studi kebahasaaraban, linguistik, sains dan teknologi.

Kekhawatiran yang selama ini diembuskan bahwa mayoritas alumni pendidikan tinggi di Arab Saudi cenderung berhaluan Wahabi dan menampilkan Islam radikal tidak sepenuhnya benar.

Jika para pelajar Indonesia telah memiliki pemahaman keislaman yang mantap dan inklusif, niscaya tidak akan dengan mudah pulang dengan “mengimpor” ajaran Wahabi yang oleh sebagian kalangan dinilai mudah mengafirkan (takfiri) pihak lain.

Pendidikan Islam Indonesia, baik negeri maupun swasta, memiliki kemitraan strategis dengan pemerintah Arab Saudi, bagi segi pendanaan, pengembangan SDM maupun penelitian. Sejauh ini, pemerintah Arab Saudi belum banyak mengembangkan donasi filantropi dan wakaf di bidang pendidikan Islam di Indonesia.

Selain LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di Indonesia, tampaknya pemerintah Arab Saudi perlu juga membangun dan mengembangkan pusat kajian Islam internasional yang bervisi rahmatan li al-‘alamin di Indonesia.

Jika Pangeran Walid bin Talal bin Abdul Aziz pada 2005 pernah memberikan donasi USD40 juta dolar untuk pengembangan studi Islam di Universitas Harvard dan Georgetown, maka sangat diharapkan sang Raja bermurah hati mengembangkan donasi dari wakaf kerajaan dan para dermawan lainnya dalam rangka mewujudkan pusat kajian, riset dan publikasi bersama, berikut advokasi dan sinergi para ulama dan ilmuwan Indonesia dan Arab Saudi dalam memberi solusi terhadap berbagai isu-isu dan persoalan global.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga diharapkan mampu meyakinkan pemerintah Arab Saudi bahwa organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU yang menjadi garda terdepan dalam mengawal dan merawat persatuan dan kesatuan RI, merupakan aset bangsa yang juga perlu dilibatkan oleh pemerintah dalam mengembangkan Islam moderat, toleran, dan damai melalui berbagai forum kerja sama dan dialog di dunia Islam.

Dengan demikian, masa depan dunia Islam dan Indonesia akan semakin prospektif, penuh perdamaian, komunikasi dialogis, dan kemajuan dalam berbagai bidang, terutama keagamaan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, penegakan HAM, dan sebagainya.

Tentunya jika kedua pemimpin negara bersahabat ini, Presiden Joko Widodo dan Raja Salman dapat mewujudkan kerja sama dan sinergi mutualistis yang dilandasi visi dan spirit kemanusiaan yang mulia untuk mewujudkan Islam sebagai agama rahmat dan damai bagi semua.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1201 seconds (0.1#10.140)