Banjir dan Demokrasi
A
A
A
JAKARTA dan sekitarnya kembali dilanda banjir. Itu fakta yang tak bisa dimungkiri meski pemerintah mengaku sudah melakukan daya upaya untuk mengatasi problem klasik Ibu Kota ini.
Beberapa wilayah langganan banjir kembali terkena dampak karena luapan beberapa sungai di Jakarta dan buruknya sistem drainase. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat sekitar 68 wilayah di Jakarta yang terkena banjir. Beberapa wilayah di Bekasi juga terkena banjir.
Tak hanya wilayah perumahan atau kampung yang terkena banjir, transportasi massal seperti Commuter Line dan Transjakarta seperti terganggu. Lebih parah lagi, beberapa ruas tol di Jakarta juga terkena banjir yang menghambat mobilitas masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Persoalan banjir di Jakarta dan sekitarnya adalah persoalan klasik. Teriakan keluhan dari masyarakat, kelompok masyarakat, ataupun kritikan dari para expert perkotaan tampaknya belum mampu membuat Jakarta bebas dari banjir atau setidaknya berkurang drastis.
Namun, teriakan untuk banjir kali ini lebih lantang karena diiringi kompetisi untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Dua pasangan calon yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno kembali berkompetisi di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.
Suara kedua paslon maupun para pendukungnya tentu akan berlawanan arah dalam mengomentari banjir di Jakarta. Bahkan, lini masa di media sosial begitu riuh hingga sempat masuk trending topic ke-3 di Twitter Indonesia. Informasi di media sosial membela dan menyerang soal banjir sangat deras, sederas banjir yang menimpa beberapa wilayah di Jakarta.
Tentu Basuki-Djarot sebagai petahana akan berargumen bahwa penanganan banjir di Jakarta sudah mereka lakukan, sedangkan pasangan Anis-Sandiaga akan melemparkan kritik tentang penanganan banjir yang belum maksimal. Saling adu argumen tentu hal yang biasa ketika jelang pilkada, apalagi ini banjir menjadi persoalan utama di Jakarta selain kemacetan.
Namun, ada yang menarik juga ketika ada ungkapan bahwa persoalan alam pun ditarik-tarik ke wilayah politik. Tak dimungkiri bahwa banjir di beberapa titik tersebut dikatakan curah hujan yang cukup tinggi beberapa hari terakhir dibandingkan sepekan atau dua pekan yang lalu.
Apakah salah menarik alam ke ranah politik? Tampaknya bukan persoalan salah-benar atau etis-tidak etis, namun iklim politik di Indonesia pun selalu seperti itu.
Hal-hal lain di luar politik pun seperti sosial-budaya, ekonomi, bahkan keyakinan pun akan ditarik. Tujuannya adalah kekuasaan, baik mempertahankan atau merebut.
Jika menarik persoalan alam atau lainnya ke dalam politik hal yang wajar di Tanah Air, kita berharap ada kontrol yang benar. Kontrol awal adalah dari diri kita sendiri. Contohnya menyebarkan informasi berdasarkan kebenaran dan bukan sekadar tidak suka dengan lawan kompetisi kita.
Mencoba untuk lebih berpikir komprehensif serta melakukan verifikasi informasi membuat adu argumen akan semakin menarik. Cara-cara inilah yang membuat masyarakat bisa menangkal informasi hoax yang belakangan ini marak.
Politik Indonesia yang berdasarkan demokrasi, kita harapkan dibangun dengan cara yang sehat. Demokrasi di Tanah Air diharapkan bukan sekadar mempertahankan atau merebut kekuasaan, karena hakikat atau bahkan sejarah demokrasi di Tanah Air (bahkan di negara mana pun) bertujuan menyejahterakan rakyat atau masyarakat.
Nah, ketika demokrasi kita saat ini justru hanya diisi mempertahankan dan merebut kekuasaan betapa sungguh naifnya. Ini tentu melenceng dari hakikat atau tujuan demokrasi, yaitu menyejahterakan rakyat.
Sekali lagi, menarik persoalan lain di luar politik untuk meningkatkan kualitas adu argumen bukanlah hal tabu di politik. Namun, kontrol dari diri kita sendiri yang akan meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.
Nah, sebagai calon pemimpin, kedua paslon (juga calon pemimpin lainnya) tentu harus bisa memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana dalam beradu argumen yang berkualitas demi demokrasi yang berkualitas (bukan hanya kuantitas). Karena kita butuh pemimpin yang bisa memberikan contoh yang baik, terutama dalam berdemokrasi.
Beberapa wilayah langganan banjir kembali terkena dampak karena luapan beberapa sungai di Jakarta dan buruknya sistem drainase. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat sekitar 68 wilayah di Jakarta yang terkena banjir. Beberapa wilayah di Bekasi juga terkena banjir.
Tak hanya wilayah perumahan atau kampung yang terkena banjir, transportasi massal seperti Commuter Line dan Transjakarta seperti terganggu. Lebih parah lagi, beberapa ruas tol di Jakarta juga terkena banjir yang menghambat mobilitas masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Persoalan banjir di Jakarta dan sekitarnya adalah persoalan klasik. Teriakan keluhan dari masyarakat, kelompok masyarakat, ataupun kritikan dari para expert perkotaan tampaknya belum mampu membuat Jakarta bebas dari banjir atau setidaknya berkurang drastis.
Namun, teriakan untuk banjir kali ini lebih lantang karena diiringi kompetisi untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Dua pasangan calon yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anis Baswedan-Sandiaga Uno kembali berkompetisi di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.
Suara kedua paslon maupun para pendukungnya tentu akan berlawanan arah dalam mengomentari banjir di Jakarta. Bahkan, lini masa di media sosial begitu riuh hingga sempat masuk trending topic ke-3 di Twitter Indonesia. Informasi di media sosial membela dan menyerang soal banjir sangat deras, sederas banjir yang menimpa beberapa wilayah di Jakarta.
Tentu Basuki-Djarot sebagai petahana akan berargumen bahwa penanganan banjir di Jakarta sudah mereka lakukan, sedangkan pasangan Anis-Sandiaga akan melemparkan kritik tentang penanganan banjir yang belum maksimal. Saling adu argumen tentu hal yang biasa ketika jelang pilkada, apalagi ini banjir menjadi persoalan utama di Jakarta selain kemacetan.
Namun, ada yang menarik juga ketika ada ungkapan bahwa persoalan alam pun ditarik-tarik ke wilayah politik. Tak dimungkiri bahwa banjir di beberapa titik tersebut dikatakan curah hujan yang cukup tinggi beberapa hari terakhir dibandingkan sepekan atau dua pekan yang lalu.
Apakah salah menarik alam ke ranah politik? Tampaknya bukan persoalan salah-benar atau etis-tidak etis, namun iklim politik di Indonesia pun selalu seperti itu.
Hal-hal lain di luar politik pun seperti sosial-budaya, ekonomi, bahkan keyakinan pun akan ditarik. Tujuannya adalah kekuasaan, baik mempertahankan atau merebut.
Jika menarik persoalan alam atau lainnya ke dalam politik hal yang wajar di Tanah Air, kita berharap ada kontrol yang benar. Kontrol awal adalah dari diri kita sendiri. Contohnya menyebarkan informasi berdasarkan kebenaran dan bukan sekadar tidak suka dengan lawan kompetisi kita.
Mencoba untuk lebih berpikir komprehensif serta melakukan verifikasi informasi membuat adu argumen akan semakin menarik. Cara-cara inilah yang membuat masyarakat bisa menangkal informasi hoax yang belakangan ini marak.
Politik Indonesia yang berdasarkan demokrasi, kita harapkan dibangun dengan cara yang sehat. Demokrasi di Tanah Air diharapkan bukan sekadar mempertahankan atau merebut kekuasaan, karena hakikat atau bahkan sejarah demokrasi di Tanah Air (bahkan di negara mana pun) bertujuan menyejahterakan rakyat atau masyarakat.
Nah, ketika demokrasi kita saat ini justru hanya diisi mempertahankan dan merebut kekuasaan betapa sungguh naifnya. Ini tentu melenceng dari hakikat atau tujuan demokrasi, yaitu menyejahterakan rakyat.
Sekali lagi, menarik persoalan lain di luar politik untuk meningkatkan kualitas adu argumen bukanlah hal tabu di politik. Namun, kontrol dari diri kita sendiri yang akan meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.
Nah, sebagai calon pemimpin, kedua paslon (juga calon pemimpin lainnya) tentu harus bisa memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana dalam beradu argumen yang berkualitas demi demokrasi yang berkualitas (bukan hanya kuantitas). Karena kita butuh pemimpin yang bisa memberikan contoh yang baik, terutama dalam berdemokrasi.
(poe)