KPK Tuntut 7 Tahun Penjara dan Cabut Hak Politik Putu Sudiartana
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut I Putu Sudiartana selaku anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Semua detail isi tuntutan dan pertimbangannya dituangkan JPU yang terdiri atas Joko Hermawan Supriyanto, Herry BS Ratna Putra, dan Ni Nengah Gina Saraswati dalam surat tuntutan nomor: TUT-15/24/01/2017 atas nama I Putu Sudiartana.
Surat tuntutan tersebut dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/2/2017). Joko Hermawan menyatakan, I Putu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor dalam dua delik yakni penerimaan suap dan penerimaan gratifikasi sesuai dengan dua dakwaan yang sebelumnya disampaikan JPU.
Pertama, Putu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum secara bersama-sama atau turut serta menerima suap Rp500 juta dari permintaan fee Putu senilai Rp1 miliar.
Putu melakukan penerimaan suap bersama dengan Noviyanti selaku staf ahli sekaligus sekretaris pribadi Putu (divonis empat tahun penjara) dan Suhemi (divonis empat tahun) yang merupakan kawan karib dan orang kepercayaan Putu.
Suap tersebut diterima dari mantan pendiri Partai Demokrat Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sekaligus Direktur Utama PT Fakta Nusa Ciptagraha Yogan Askan (divonis dua tahun penjara) dan Suprapto (divonis dua tahun 10 bulan) selaku kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumbar.
Uang suap bersandi amunisi, sekilo, kaleng susu 500, dan barang dimaksudkan agar Putu membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumbar dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp530,76 miliar hingga Rp620,76 miliar.
Pada akhirnya terjadi negosiasi dan permintaan Yogan agar minimal anggaran yang diupayakan minimal Rp100 miliar hingga Rp150 miliar. Uang suap diterima Putu dalam empat kali transfer lewat rekening Noviyanti, Muchlis (suami Noviyanti), Djoni Garyana (teman Putu), dan Ni Luh Putu Sugiani (keponakan Putu).
Tiga transfer terakhir terjadi pada 27 Juni 2016 bersamaan dengan buka puasa bersama antara pimpinan KPK dengan Komisi III di KPK, yang juga dihadiri Putu. Kedua, Putu terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp2,7 miliar dari tiga orang.
Pertama, Salim Alaydrus Rp2,1 miliar. Kedua, Mustakim Rp300 juta. Ketiga, Ippin Mamonto (kader Partai Demokrat) Rp300 juta. Joko membeberkan, dari temuan KPK dan fakta persidangan terungkap bahwa uang SGD40.000 atau setara Rp375 juta yang disita saat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Putu merupakan bagian dari gratifikasi tadi.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa I Putu Sudiartana dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan," tegas JPU Joko saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia membeberkan, JPU juga meminta majelis hakim memutus tiga hal utama. Pertama, merampas untuk negara uang sebesar Rp200 juta uang merupakan bagian dari suap yang sudah disetorkan saksi-saksi ke dalam rekening penampungan sementara uang sitaan KPK.
Kedua, uang suap Rp300 juta yang masuk ke rekening Noviyanti dan sudah digunakan Putu untuk kepentingan pribadi maka harus dibebankan untuk membayar uang pengganti sebesar tersebut sebagaimana yang diatur Pasal 18 Ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor tentang pidana tambahan.
"Menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa I Putu Sudiartana berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok," kata JPU Joko.
JPU Herry BS Ratna Putra menguraikan, pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik ada beberapa pertimbangan. Pertama, sesuai d engan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf d UU Pemberantasan Tipikor juga menyebutkan pidana tambahan lain.
Ketentuan tersebut yang pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Kedua, dalam melakukan tindak pidana Putu berkedudukan sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat mewakili daerah pemilihan Bali, yang memiliki posisi strategis dalam sistem politik di Indonesia.
"Sehingga perbuatan terdakwa menciderai tatanan demokrasi yang sudah dibangun dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik atau partai politik," ucap JPU Herry.
"Sehubungan hal tersebut untuk menghindari negara Indonesia atau wilayah di Indonesia dipimpin oleh orang pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana korupsi, maka terhadap terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik dalam waktu tertentu," imbuhnya.
Atas perbuatannya Putu dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana dalam delik penerimaan suap dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor pada delik penerimaan gratifikasi.
Dalam menyusun surat tuntutan, JPU mempertimbangkan ihwal memberatkan dan meringankan. Yang meringankan, Putu berlaku sopan, bersikap kooperatif selama persidangan, mengaku bersalah dan menyesali perbuatan, dan belum pernah dihukum.
Pertimbangan memberatkan, perbuatan Putu tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tipikor. Kedua, perbuatan Putu telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap DPR RI.
Selepas diberikan kesempatan oleh majelis hakim, I Putu Sudiartana mengaku akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi) secara pribadi dan dari penasihat hukum. "Saya minta waktu dua minggu, saya ajukan pleidoi secara pribadi dan juga pengacara," kata Putu.
Semua detail isi tuntutan dan pertimbangannya dituangkan JPU yang terdiri atas Joko Hermawan Supriyanto, Herry BS Ratna Putra, dan Ni Nengah Gina Saraswati dalam surat tuntutan nomor: TUT-15/24/01/2017 atas nama I Putu Sudiartana.
Surat tuntutan tersebut dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/2/2017). Joko Hermawan menyatakan, I Putu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor dalam dua delik yakni penerimaan suap dan penerimaan gratifikasi sesuai dengan dua dakwaan yang sebelumnya disampaikan JPU.
Pertama, Putu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum secara bersama-sama atau turut serta menerima suap Rp500 juta dari permintaan fee Putu senilai Rp1 miliar.
Putu melakukan penerimaan suap bersama dengan Noviyanti selaku staf ahli sekaligus sekretaris pribadi Putu (divonis empat tahun penjara) dan Suhemi (divonis empat tahun) yang merupakan kawan karib dan orang kepercayaan Putu.
Suap tersebut diterima dari mantan pendiri Partai Demokrat Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sekaligus Direktur Utama PT Fakta Nusa Ciptagraha Yogan Askan (divonis dua tahun penjara) dan Suprapto (divonis dua tahun 10 bulan) selaku kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumbar.
Uang suap bersandi amunisi, sekilo, kaleng susu 500, dan barang dimaksudkan agar Putu membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sarana dan Prasarana Penunjang Tahun Anggaran 2016 untuk Provinsi Sumbar dalam APBN Perubahan 2016, dengan nilai Rp530,76 miliar hingga Rp620,76 miliar.
Pada akhirnya terjadi negosiasi dan permintaan Yogan agar minimal anggaran yang diupayakan minimal Rp100 miliar hingga Rp150 miliar. Uang suap diterima Putu dalam empat kali transfer lewat rekening Noviyanti, Muchlis (suami Noviyanti), Djoni Garyana (teman Putu), dan Ni Luh Putu Sugiani (keponakan Putu).
Tiga transfer terakhir terjadi pada 27 Juni 2016 bersamaan dengan buka puasa bersama antara pimpinan KPK dengan Komisi III di KPK, yang juga dihadiri Putu. Kedua, Putu terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp2,7 miliar dari tiga orang.
Pertama, Salim Alaydrus Rp2,1 miliar. Kedua, Mustakim Rp300 juta. Ketiga, Ippin Mamonto (kader Partai Demokrat) Rp300 juta. Joko membeberkan, dari temuan KPK dan fakta persidangan terungkap bahwa uang SGD40.000 atau setara Rp375 juta yang disita saat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Putu merupakan bagian dari gratifikasi tadi.
"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa I Putu Sudiartana dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan," tegas JPU Joko saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia membeberkan, JPU juga meminta majelis hakim memutus tiga hal utama. Pertama, merampas untuk negara uang sebesar Rp200 juta uang merupakan bagian dari suap yang sudah disetorkan saksi-saksi ke dalam rekening penampungan sementara uang sitaan KPK.
Kedua, uang suap Rp300 juta yang masuk ke rekening Noviyanti dan sudah digunakan Putu untuk kepentingan pribadi maka harus dibebankan untuk membayar uang pengganti sebesar tersebut sebagaimana yang diatur Pasal 18 Ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor tentang pidana tambahan.
"Menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa I Putu Sudiartana berupa pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok," kata JPU Joko.
JPU Herry BS Ratna Putra menguraikan, pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik ada beberapa pertimbangan. Pertama, sesuai d engan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf d UU Pemberantasan Tipikor juga menyebutkan pidana tambahan lain.
Ketentuan tersebut yang pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Kedua, dalam melakukan tindak pidana Putu berkedudukan sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat mewakili daerah pemilihan Bali, yang memiliki posisi strategis dalam sistem politik di Indonesia.
"Sehingga perbuatan terdakwa menciderai tatanan demokrasi yang sudah dibangun dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik atau partai politik," ucap JPU Herry.
"Sehubungan hal tersebut untuk menghindari negara Indonesia atau wilayah di Indonesia dipimpin oleh orang pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana korupsi, maka terhadap terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik dalam waktu tertentu," imbuhnya.
Atas perbuatannya Putu dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana dalam delik penerimaan suap dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tipikor pada delik penerimaan gratifikasi.
Dalam menyusun surat tuntutan, JPU mempertimbangkan ihwal memberatkan dan meringankan. Yang meringankan, Putu berlaku sopan, bersikap kooperatif selama persidangan, mengaku bersalah dan menyesali perbuatan, dan belum pernah dihukum.
Pertimbangan memberatkan, perbuatan Putu tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tipikor. Kedua, perbuatan Putu telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap DPR RI.
Selepas diberikan kesempatan oleh majelis hakim, I Putu Sudiartana mengaku akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi) secara pribadi dan dari penasihat hukum. "Saya minta waktu dua minggu, saya ajukan pleidoi secara pribadi dan juga pengacara," kata Putu.
(maf)