Pembatasan Migrasi ke AS
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
HARI Sabtu lalu Presiden Amerika Serikat (AS) telah menandatangani executive order (EO) yang membatasi kedatangan penduduk dari tujuh negara, yaitu Iran, Irak, Suriah, Yaman, Somalia, Sudan, dan Libya. EO ini kemudian mengundang reaksi dari masyarakat AS yang menganggap bahwa EO ini adalah tindakan yang diskriminatif karena tujuh negara tersebut adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Mayoritas penduduk AS menolak EO ini karena menganggap nilai-nilai kebebasan dan liberalisme yang selama ini dominan dibajak oleh pemerintahan Donald Trump.
Bagi kita di Indonesia yang paling baik adalah tidak terseret arus perdebatan antarkelompok di AS dan mengambil posisi yang tepat sesuai dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Jangan lupa bahwa Donald Trump adalah tokoh kontroversial yang belum berhasil merekatkan kelompok-kelompok pemilih yang bersitegang dalam Pemilu 2016.
Artinya berita yang berkembang di media massa cenderung terkotak-kotak sesuai dengan posisi pemilih dalam pemilu yang lalu itu. Cara terbaik bagi kita adalah dengan mengenali duduk masalah di AS secara lebih lengkap.
Obama Mewarisi, Trump Menguatkan
Dalam akun media sosialnya, Presiden Trump membela diri bahwa kebijakannya bukan larangan terhadap kaum muslim untuk masuk ke AS. Ia menuduh bahwa media menyembunyikan fakta yang sebetulnya sudah mereka ketahui.
Ia mengatakan bahwa “kebijakannya sama dengan apa yang dilakukan Presiden Obama pada 2011” ketika Obama menghentikan sementara selama 6 bulan diberikannya visa kepada pengungsi dari Irak. Tujuh negara yang disebut dalam EO adalah negara-negara yang sama yang telah diidentifikasi oleh pemerintahan Obama sebagai sumber terorisme.
Informasi tersebut mengingatkan kepada kita bahwa kebijakan AS mengenai migrasi, pendatang maupun pengungsi sangat lekat dengan kebijakan luar negeri AS yang terkait dengan pemberantasan terorisme.
Presiden Obama juga bukan memulai sesuatu yang total baru. AS menganggap sangat serius serangan 11 September 2001 sebagai ancaman bagi nilai-nilai yang diyakini AS.
Kita masih ingat betapa dramatisnya Presiden George W Bush menggambarkan serangan tersebut sebagai awal dari “perang melawan terorisme”. Dalam bahasa dia: ini perang kita (AS) melawan mereka (teroris). Dan pada masa itu pun sudah menguat stereotyping teroris sebagai kelompok warga Arab yang muslim.
Presiden Obama melembutkan tampilan “perang” tersebut demi mencegah meluasnya tudingan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat beragama Islam di AS. Itu sebabnya ia kemudian mengizinkan dibangunnya masjid di tanah bekas runtuhnya gedung tinggi yang diserang teroris pada 2001 di Manhattan.
Di sisi lain, kita juga tahu pada masa itu perekonomian AS terpukul akibat banyaknya komitmen melawan terorisme yang digagas Presiden Bush di Timur Tengah. Untuk membedakan diri, Obama di awal-awal pemerintahannya mengupayakan penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan.
Namun kenyataannya Obama juga tidak bisa kehilangan muka tentang penanganan terorisme. Masalahnya negara-negara lain pun punya kepentingan menangani terorisme sehingga medan perang melawan terorisme justru membesar dan bukannya mengecil. Dengan dibunuhnya Osama bin Laden dari Al-Qaeda, makin banyak pula kelompok sel teroris yang secara militan menyerang pusat-pusat kerumunan massa di berbagai negara, termasuk di AS.
Atas dasar kejadian tersebut kita sebenarnya sedang menyaksikan pergulatan politik AS atas penanganan terorisme yang masih jauh dari efektif. Lagi dan lagi AS jatuh pada pilihan cara-cara militeristis dan diskriminatif.
Dari segi migrasi, pada 2011 Departemen Dalam Negeri masa Obama yang awalnya percaya diri akan kompetensi staf di dalam negeri untuk menangani terorisme kemudian sempat selama 6 bulan merevisi kebijakan menerima pengungsi dari Irak setelah ditemukan 2 teroris Al-Qaeda dari Irak pada 2009 yang tinggal di Bowling Green, Kentucky.
Setelah kejadian itu AS selama 6 bulan memperketat dan menghambat proses permohonan pengungsi dari Irak tanpa pandang bulu (blanket policy). Bahkan sejumlah orang yang seharusnya berjasa membantu AS di Irak seperti para agen intelijen lokal, penerjemah dan staf administrasi lainnya pun kesulitan masuk ke AS.
Artinya suatu negara yang gagal menyisir pengunjung dan pengungsi yang baik dan buruk di bandara dan pelabuhan, maka memilih untuk melakukan tindakan pencegahan sejak proses aplikasi visa.
Obama pun pernah mengalami hal serupa pada 2015 menyusul program Visa Waiver Improvement dan Terrorist Travel Prevention Act (TTPA) yang sebenarnya membebaskan visa bagi warga dari 38 negara selama 90 hari untuk berlibur atau urusan bisnis. Brunei dan Singapura termasuk yang mendapatkan keistimewaan bebas visa ini.
Namun karena pengetatan di Irak, peraturan bebas visa tadi kemudian gugur ketika warga dari 38 negara itu pernah mengunjungi 7 negara yang disebut di atas. Jadi misalnya ada warga Singapura yang pernah bekerja di Iran, maka ia tidak lagi berhak bebas visa; segala latar belakang dia harus diperiksa ketat.
Yang membedakan Trump dari Obama adalah dua hal. Pertama, karena cara penyampaian kebijakan secara cepat, pribadi disampaikan langsung oleh Presiden sehingga ketika staf di lapangan gagap menjalankan perintahnya, muncullah beragam persepsi dan spekulasi yang “memukul” citra Trump.
Kedua, pembatasan yang disebutkan Trump kali ini pun bersifat tanpa pandang bulu; semua orang dan warga negara dari 7 negara tersebut dilarang sama sekali masuk ke AS. Tidak ada penyisiran orang per orang atau kasus per kasus. Tidak ada pula penjelasan sampai kapan kebijakan ini akan diterapkan. Trump memperkuat warisan Obama.
Mengembalikan Perlindungan bagi Pengungsi
Sejauh saya amati dalam media massa dan media sosial, kekisruhan yang terjadi terkait dengan gelombang dukungan atau larangan terhadap muslim untuk datang ke AS sangat kental dengan konflik politik di dalam negeri mereka sendiri.
Meski demikian akibat lain yang penting dari kebijakan tersebut adalah nasib para pengungsi dari Timur Tengah yang saat ini masih diabaikan. Mereka terus mengalami kekerasan dan pembunuhan akibat konflik berkepanjangan yang belum kunjung usai.
Larangan bagi para korban kekerasan untuk mengajukan status pengungsi ke AS akan menambah lebih lama penderitaan mereka karena hingga kini belum ada penyelesaian yang permanen. Larangan ini dikhawatirkan juga akan diikuti oleh negara-negara lain sehingga semakin lama nasib warga yang tengah dilanda konflik semakin berat.
Persepsi bahwa para pengungsi adalah trojan horse bagi para teroris adalah pandangan yang berbahaya karena akan menyulitkan proses pengajuan status pengungsi untuk mendapatkan perlindungan.
Masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat di luar AS seperti apa pelaksanaan di lapangan. Apakah yang dilarang adalah mereka yang lahir di sana, apakah yang tinggal di sana atau hanya para pengungsi?
Banyak tenaga kerja atau mahasiswa yang berasal dari Iran atau Irak mengalami hambatan ketika akan masuk ke AS. Ada pula yang mengatakan bahwa EO itu hanya berlaku bagi para pengungsi, sementara mereka yang bekerja atau bersekolah tidak akan menjadi sasaran dari EO itu. Tampaknya belum ada standar operasional bagi petugas lapangan dalam menjalankan EO tersebut.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia punya dua pilihan respons. Pertama, karena AS pasti diprotes banyak pihak atas kebijakan penanganan terorismenya, Indonesia dapat menawarkan kerja sama nonmiliter untuk perbaikan penanganan terorisme.
Kerangka kerja samanya sudah ada di kesepakatan bilateral. Hal ini mengingat bahwa catatan Indonesia cukup positif dalam hal penanganan terorisme.
Kedua, karena politik luar negeri Indonesia mengisyaratkan gerak aktif dalam menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial, kita harus siap mengingatkan negara-negara lain bila keputusan politik di dalam negerinya punya imbas negatif bagi kondisi global.
Caranya boleh terbuka, boleh juga tertutup. Namun intinya karena Trump bergerak cepat demi memenuhi janji kampanyenya, ia juga harus diingatkan untuk berpikir panjang akan guncangan sosial yang muncul menyusul pilihan kata dan kebijakan yang diambilnya.
Indonesia punya tanggung jawab untuk menyuarakan perlunya menangani problem terorisme dengan cara-cara humanis dan bukannya dengan diskriminasi dan menciptakan teror balasan.
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
HARI Sabtu lalu Presiden Amerika Serikat (AS) telah menandatangani executive order (EO) yang membatasi kedatangan penduduk dari tujuh negara, yaitu Iran, Irak, Suriah, Yaman, Somalia, Sudan, dan Libya. EO ini kemudian mengundang reaksi dari masyarakat AS yang menganggap bahwa EO ini adalah tindakan yang diskriminatif karena tujuh negara tersebut adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Mayoritas penduduk AS menolak EO ini karena menganggap nilai-nilai kebebasan dan liberalisme yang selama ini dominan dibajak oleh pemerintahan Donald Trump.
Bagi kita di Indonesia yang paling baik adalah tidak terseret arus perdebatan antarkelompok di AS dan mengambil posisi yang tepat sesuai dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Jangan lupa bahwa Donald Trump adalah tokoh kontroversial yang belum berhasil merekatkan kelompok-kelompok pemilih yang bersitegang dalam Pemilu 2016.
Artinya berita yang berkembang di media massa cenderung terkotak-kotak sesuai dengan posisi pemilih dalam pemilu yang lalu itu. Cara terbaik bagi kita adalah dengan mengenali duduk masalah di AS secara lebih lengkap.
Obama Mewarisi, Trump Menguatkan
Dalam akun media sosialnya, Presiden Trump membela diri bahwa kebijakannya bukan larangan terhadap kaum muslim untuk masuk ke AS. Ia menuduh bahwa media menyembunyikan fakta yang sebetulnya sudah mereka ketahui.
Ia mengatakan bahwa “kebijakannya sama dengan apa yang dilakukan Presiden Obama pada 2011” ketika Obama menghentikan sementara selama 6 bulan diberikannya visa kepada pengungsi dari Irak. Tujuh negara yang disebut dalam EO adalah negara-negara yang sama yang telah diidentifikasi oleh pemerintahan Obama sebagai sumber terorisme.
Informasi tersebut mengingatkan kepada kita bahwa kebijakan AS mengenai migrasi, pendatang maupun pengungsi sangat lekat dengan kebijakan luar negeri AS yang terkait dengan pemberantasan terorisme.
Presiden Obama juga bukan memulai sesuatu yang total baru. AS menganggap sangat serius serangan 11 September 2001 sebagai ancaman bagi nilai-nilai yang diyakini AS.
Kita masih ingat betapa dramatisnya Presiden George W Bush menggambarkan serangan tersebut sebagai awal dari “perang melawan terorisme”. Dalam bahasa dia: ini perang kita (AS) melawan mereka (teroris). Dan pada masa itu pun sudah menguat stereotyping teroris sebagai kelompok warga Arab yang muslim.
Presiden Obama melembutkan tampilan “perang” tersebut demi mencegah meluasnya tudingan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat beragama Islam di AS. Itu sebabnya ia kemudian mengizinkan dibangunnya masjid di tanah bekas runtuhnya gedung tinggi yang diserang teroris pada 2001 di Manhattan.
Di sisi lain, kita juga tahu pada masa itu perekonomian AS terpukul akibat banyaknya komitmen melawan terorisme yang digagas Presiden Bush di Timur Tengah. Untuk membedakan diri, Obama di awal-awal pemerintahannya mengupayakan penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan.
Namun kenyataannya Obama juga tidak bisa kehilangan muka tentang penanganan terorisme. Masalahnya negara-negara lain pun punya kepentingan menangani terorisme sehingga medan perang melawan terorisme justru membesar dan bukannya mengecil. Dengan dibunuhnya Osama bin Laden dari Al-Qaeda, makin banyak pula kelompok sel teroris yang secara militan menyerang pusat-pusat kerumunan massa di berbagai negara, termasuk di AS.
Atas dasar kejadian tersebut kita sebenarnya sedang menyaksikan pergulatan politik AS atas penanganan terorisme yang masih jauh dari efektif. Lagi dan lagi AS jatuh pada pilihan cara-cara militeristis dan diskriminatif.
Dari segi migrasi, pada 2011 Departemen Dalam Negeri masa Obama yang awalnya percaya diri akan kompetensi staf di dalam negeri untuk menangani terorisme kemudian sempat selama 6 bulan merevisi kebijakan menerima pengungsi dari Irak setelah ditemukan 2 teroris Al-Qaeda dari Irak pada 2009 yang tinggal di Bowling Green, Kentucky.
Setelah kejadian itu AS selama 6 bulan memperketat dan menghambat proses permohonan pengungsi dari Irak tanpa pandang bulu (blanket policy). Bahkan sejumlah orang yang seharusnya berjasa membantu AS di Irak seperti para agen intelijen lokal, penerjemah dan staf administrasi lainnya pun kesulitan masuk ke AS.
Artinya suatu negara yang gagal menyisir pengunjung dan pengungsi yang baik dan buruk di bandara dan pelabuhan, maka memilih untuk melakukan tindakan pencegahan sejak proses aplikasi visa.
Obama pun pernah mengalami hal serupa pada 2015 menyusul program Visa Waiver Improvement dan Terrorist Travel Prevention Act (TTPA) yang sebenarnya membebaskan visa bagi warga dari 38 negara selama 90 hari untuk berlibur atau urusan bisnis. Brunei dan Singapura termasuk yang mendapatkan keistimewaan bebas visa ini.
Namun karena pengetatan di Irak, peraturan bebas visa tadi kemudian gugur ketika warga dari 38 negara itu pernah mengunjungi 7 negara yang disebut di atas. Jadi misalnya ada warga Singapura yang pernah bekerja di Iran, maka ia tidak lagi berhak bebas visa; segala latar belakang dia harus diperiksa ketat.
Yang membedakan Trump dari Obama adalah dua hal. Pertama, karena cara penyampaian kebijakan secara cepat, pribadi disampaikan langsung oleh Presiden sehingga ketika staf di lapangan gagap menjalankan perintahnya, muncullah beragam persepsi dan spekulasi yang “memukul” citra Trump.
Kedua, pembatasan yang disebutkan Trump kali ini pun bersifat tanpa pandang bulu; semua orang dan warga negara dari 7 negara tersebut dilarang sama sekali masuk ke AS. Tidak ada penyisiran orang per orang atau kasus per kasus. Tidak ada pula penjelasan sampai kapan kebijakan ini akan diterapkan. Trump memperkuat warisan Obama.
Mengembalikan Perlindungan bagi Pengungsi
Sejauh saya amati dalam media massa dan media sosial, kekisruhan yang terjadi terkait dengan gelombang dukungan atau larangan terhadap muslim untuk datang ke AS sangat kental dengan konflik politik di dalam negeri mereka sendiri.
Meski demikian akibat lain yang penting dari kebijakan tersebut adalah nasib para pengungsi dari Timur Tengah yang saat ini masih diabaikan. Mereka terus mengalami kekerasan dan pembunuhan akibat konflik berkepanjangan yang belum kunjung usai.
Larangan bagi para korban kekerasan untuk mengajukan status pengungsi ke AS akan menambah lebih lama penderitaan mereka karena hingga kini belum ada penyelesaian yang permanen. Larangan ini dikhawatirkan juga akan diikuti oleh negara-negara lain sehingga semakin lama nasib warga yang tengah dilanda konflik semakin berat.
Persepsi bahwa para pengungsi adalah trojan horse bagi para teroris adalah pandangan yang berbahaya karena akan menyulitkan proses pengajuan status pengungsi untuk mendapatkan perlindungan.
Masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat di luar AS seperti apa pelaksanaan di lapangan. Apakah yang dilarang adalah mereka yang lahir di sana, apakah yang tinggal di sana atau hanya para pengungsi?
Banyak tenaga kerja atau mahasiswa yang berasal dari Iran atau Irak mengalami hambatan ketika akan masuk ke AS. Ada pula yang mengatakan bahwa EO itu hanya berlaku bagi para pengungsi, sementara mereka yang bekerja atau bersekolah tidak akan menjadi sasaran dari EO itu. Tampaknya belum ada standar operasional bagi petugas lapangan dalam menjalankan EO tersebut.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia punya dua pilihan respons. Pertama, karena AS pasti diprotes banyak pihak atas kebijakan penanganan terorismenya, Indonesia dapat menawarkan kerja sama nonmiliter untuk perbaikan penanganan terorisme.
Kerangka kerja samanya sudah ada di kesepakatan bilateral. Hal ini mengingat bahwa catatan Indonesia cukup positif dalam hal penanganan terorisme.
Kedua, karena politik luar negeri Indonesia mengisyaratkan gerak aktif dalam menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial, kita harus siap mengingatkan negara-negara lain bila keputusan politik di dalam negerinya punya imbas negatif bagi kondisi global.
Caranya boleh terbuka, boleh juga tertutup. Namun intinya karena Trump bergerak cepat demi memenuhi janji kampanyenya, ia juga harus diingatkan untuk berpikir panjang akan guncangan sosial yang muncul menyusul pilihan kata dan kebijakan yang diambilnya.
Indonesia punya tanggung jawab untuk menyuarakan perlunya menangani problem terorisme dengan cara-cara humanis dan bukannya dengan diskriminasi dan menciptakan teror balasan.
(poe)