Soal Korupsi Mesin Pesawat, Anggota DPR: Canggih, Seperti Tukang Sulap
A
A
A
JAKARTA - Kasus dugaan suap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dinilai dapat menjadi langkah awal bagi penegak hukum membongkar penyelewengan di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto yakin banyak dugaan penyelewengan di BUMN namun tidak terungkap karena tidak terdeteksi oleh penegak hukum.
"Direksi-direksi BUMN sudah canggih-canggih, seperti tukang sulap bisa melakukan sesuatu secara cepat dan nyaris tidak terlihat. Diawasi saja bisa lewat, apalagi enggak diawasi, bisa lebih gawat," kata Darmadi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (20/1/2017). (Baca juga: KPK Tetapkan Dua Tersangka Kasus Pengadaan Mesin Pesawat Garuda)
Dia mengatakan, hal itu menjadi alasan DPR menolak Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 mengenai Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan perseroan terbatas.
Darmadi menegaskan alasan DPR menolak PP itu karena tidak ingin BUMN yang notabene menggunakan uang rakyat tidak diawasi. "Ya contohnya seperti kasus ini," ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Menurut dia, para direksi maskapai Garuda Indonesia terlihat seperti orang yang jauh dari korupsi jika setiap menghadiri rapat di Komisi VI DPR. "Kalau ke DPR pura-pura tampilannya sederhana. Tapi gaya hidupnya ternyata super tinggi," ucapnya. (Baca juga: Garuda Indonesia: Kasus Emirsyah Satar Tak Terkait Korporasi)
Dia yakin kasus yang melibatkan Emirsyah Satar seperti puncak gunung es. "Permainan di Garuda masih relatif kecil dibanding permainan-permainan di BUMN besar," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus suap dalam pembelian mesin pesawat dari perusahaan Inggris, Roll Royce.
Saat menjadi Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah diduga menerima uang suap melalui Soetikno Soedarjo, pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sebesar 1,2 juta Euro dan 180 ribu dollar Amerika Serikat atau setara Rp20 miliar.
Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto yakin banyak dugaan penyelewengan di BUMN namun tidak terungkap karena tidak terdeteksi oleh penegak hukum.
"Direksi-direksi BUMN sudah canggih-canggih, seperti tukang sulap bisa melakukan sesuatu secara cepat dan nyaris tidak terlihat. Diawasi saja bisa lewat, apalagi enggak diawasi, bisa lebih gawat," kata Darmadi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (20/1/2017). (Baca juga: KPK Tetapkan Dua Tersangka Kasus Pengadaan Mesin Pesawat Garuda)
Dia mengatakan, hal itu menjadi alasan DPR menolak Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 mengenai Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan perseroan terbatas.
Darmadi menegaskan alasan DPR menolak PP itu karena tidak ingin BUMN yang notabene menggunakan uang rakyat tidak diawasi. "Ya contohnya seperti kasus ini," ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Menurut dia, para direksi maskapai Garuda Indonesia terlihat seperti orang yang jauh dari korupsi jika setiap menghadiri rapat di Komisi VI DPR. "Kalau ke DPR pura-pura tampilannya sederhana. Tapi gaya hidupnya ternyata super tinggi," ucapnya. (Baca juga: Garuda Indonesia: Kasus Emirsyah Satar Tak Terkait Korporasi)
Dia yakin kasus yang melibatkan Emirsyah Satar seperti puncak gunung es. "Permainan di Garuda masih relatif kecil dibanding permainan-permainan di BUMN besar," katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus suap dalam pembelian mesin pesawat dari perusahaan Inggris, Roll Royce.
Saat menjadi Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah diduga menerima uang suap melalui Soetikno Soedarjo, pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sebesar 1,2 juta Euro dan 180 ribu dollar Amerika Serikat atau setara Rp20 miliar.
(dam)