Merepresi Medsos, untuk Apa?

Jum'at, 06 Januari 2017 - 08:33 WIB
Merepresi Medsos, untuk Apa?
Merepresi Medsos, untuk Apa?
A A A
WASPADAI perilaku di media sosial (medsos)! Peringatan ini perlu dicamkan karena pemerintah sudah memberikan warning akan mengambil langkah represif terhadap mereka yang disebut berperilaku menyimpang. Perilaku dimaksud adalah menyebar berita-berita tendensius, fitnah, bohong, menyesatkan, menanamkan kebencian, atau ujaran-ujaran kebencian.

Ancaman tindakan tegas kali ini tampaknya bukan main-main. Tidak kurang Menko Polhukam Wiranto sudah menyampaikan peringatan tersebut dua kali, yakni usai sidang kabinet paripurna yang digelar di Istana Bogor (4/1/2017) dan setelah rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta (29/12/2016). Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki sudah menyampaikan woro-woro serupa (30/12/2016).

Dalam pandangan mereka, medsos kini telah menjadi ajang fitnah, termasuk mendeligitimasi pemerintah. Mereka menyangkal langkah tersebut sebagai bentuk antikritik dan antidemokrasi, tapi sebagai upaya menjadikan medsos di Tanah Air lebih etis, bermartabat, dan tidak merugikan kepentingan nasional.

Dengan demikian, siapa yang melanggar norma seperti mereka maksud, kini tinggal masalah eksekusi saja. Secara hukum sudah diatur Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19/2016. Siapa yang mengeksekusi pun Mabes Polri sudah mempunyai Subdirektorat Cyber Crime yang akan dimekarkan menjadi Direktorat Cyber Crime.

Sekilas, jika melihat latar belakang seperti disampaikan Wiranto dan Teten, kebijakan represif terhadap penyimpangan medsos merupakan hal wajar. Hoax, dalam aneka variannya, memang harus ditertibkan. Masyarakat harus mendapat jaminan kebenaran informasi sehingga mereka tidak disesatkan oleh informasi atau opini bertendensi bohong dan fitnah.

Akan tetapi, apakah benar kebijakan represif tersebut semata ditujukan untuk menertibkan medsos atau tujuan lain? Pertanyaan ini patut kita sampaikan karena muncul nada sumbang dari sejumlah kalangan politisi DPR bahwa langkah tersebut membungkam kritik dan kebebasan berpendapat. Langkah pemerintah tidak lebih dari wujud sikap paranoid akan ancaman kekuasaan.

Pandangan tersebut bisa dipahami jika melihat dinamika politik belakangan ini. Keluarnya ancaman represif tentu merupakan satu paket dari kebijakan politik pemerintah, termasuk di dalamnya tudingan makar yang diiringi sejumlah penangkapan terhadap sejumlah orang terkait dinamika Aksi 411 dan Aksi 212 lalu. Hingga kini ancaman makar seperti itu belum sepenuhnya dipahami publik.

Cap makar juga tidak mempunyai bobot sama sekali jika dibandingkan dengan dinamika politik selama pemerintah KH Abdurrahman Wahid, yang kemudian berujung pada berakhirnya kekuasaan akibat impeacment terhadap tokoh yang akrab disapa Gus Dur itu di tengah jalan. Pun melihat tokoh-tokoh yang ditangkap, yang notabene tidak mempunyai kekuatan yang secara teoretis perlu dikhawatirkan bisa menggerakkan massa untuk makar.

Di sisi lain, keluarnya ancaman represif juga dipahami sebagai reaksi atas arus balik pertarungan opini di medsos yang kian tidak menguntungkan rezim saat ini. Harus diakui, kekuatan Jasmev dan jejaring buzzer yang menjadi trend setter memanfaatkan medsos untuk membangun opini dan dukungan publik tidak lagi bisa diandalkan. Sebaliknya, kesadaran literasi publik akan permainan opini di medsos semakin menguat, yang diiringi dengan kian gencarnya kritik terhadap berbagai kebijakan rezim saat ini.

Menguatnya kritik terhadap pemerintah saat ini pun sejatinya masih dalam takaran demokrasi. Premisnya, jika kebijakan pemerintah semakin tidak menguntungkan publik—seperti kebijakan menaikkan biaya surat kendaraan bermotor, harga BBM, dan tarif listrik seperti saat ini—semakin meningkat pula kritikan di medsos.

Juga semakin tidak jelas kebijakan pemerintah—seperti kasus kontroversi PP Nomor 60/2016 yang berimbas pada kenaikan biaya surat kendaraan bermotor- semakin kencang pula serangan publik di medsos.

Berangkat dari kondisi tersebut, sangat wajar jika kebijakan represif bukan sekadar untuk menertibkan demi menegakkan etika dan martabat medsos, tapi juga mengandung muatan politik kekuasaan.

Pemerintah memilih berlaku represif untuk mereaksi arus balik opini dan menguatkan kritik atas berbagai kebijakan pemerintah, yang mau tidak mau berujung pada delegitimasi pemerintahan. Apalagi, harus diakui, kekuatan medsos sejak awal sudah menjadi fondasi kekuasaan rezim saat ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6073 seconds (0.1#10.140)