Budaya Mundur Pejabat

Sabtu, 31 Desember 2016 - 08:52 WIB
Budaya Mundur Pejabat
Budaya Mundur Pejabat
A A A
KEPUTUSAN mundurnya Direktur Utama Citilink Indonesia Albert Burhan dan Direktur Produksi Hadinoto Sudigno terkait kejadian seorang pilot Citilink QG 800 yang diduga mabuk saat bertugas patut diapresiasi.

Sikap ini menunjukkan adanya rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap amanah yang mereka emban. Langkah pejabat mundur karena gagal dalam memimpin bisa menjadi preseden yang baik. Apalagi pejabat yang jelas-jelas terkena masalah seperti terjerat kasus korupsi sudah sepatutnya mundur.

Hal ini sangat penting untuk memupuk rasa tanggung jawab dan keseriusan dalam bekerja. Tidak ada tempat bagi lagi pejabat atau pemimpin yang tidak memiliki integritas dan tidak kapabel.

Kita perlu mencontoh budaya malu para pejabat di negaranegara lain seperti Jepang dan Korea Selatan. Pada awal Januari 2016 lalu, misalnya, Menteri Ekonomi Jepang Akira Amari memutuskan mundur karena tuduhan menerima suap dari sebuah perusahaan konstruksi.

Pengunduran diri Akira ini mengejutkan karena setelah diselidiki ternyata stafnya yang ”bermain”. Meski begitu Akira tetap mundur, padahal Perdana Menteri Shinzo Abe berupaya mempertahankannya.

Sikap Akira Amari itu bisa menjadi contoh bagaimana seorang pejabat sangat menjunjung tinggi norma dan etika. Ketika merasa gagal atau terlibat masalah, dia merasa malu kemudian meminta maaf dan mundur. Bagi warga Jepang atau Korea Selatan, mundur merupakan bagian untuk mempertahankan kehormatannya.

Mundur bukan aib atau lari dari tanggung jawab seperti banyak diungkapkan para pejabat kita sebagai alibinya dalam mempertahankan jabatannya. Mundur karena gagal malah justru sebagai bentuk sikap kesatria dan rasa tanggung jawabnya.

Bahkan, contoh lain di India, ada seorang pejabat mundur gara-gara berswafoto bersama terduga korban pemerkosaan massal dan kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat India mengecam sang pejabat yang tersenyum saat berfoto karena dinilai tidak peka dan melanggar kerahasiaan diri korban.

Masalah etika sangat penting dipegang oleh seorang pejabat. Pejabat yang tidak beretika tentu tidak layak memimpin karena tak bisa dijadikan contoh dan teladan bagi rakyatnya. Langkah mundur sebagaimana yang dilakukan dua pejabat Citilink di atas memang bukan pertama kali di Indonesia.

Sebelumnya ada sejumlah pejabat yang melakukan langkah serupa mengundurkan diri karena merasa gagal. Dua di antaranya adalah Direktur Jenderal Pajak Pajak Sigit Pramudito dan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Djoko Sasono.

Mundurnya dua pejabat tersebut mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat Indonesia. Maklum pengunduran diri pejabat masih merupakan kejadian langka di Tanah Air.

Budaya malu dan mundur memang belum menjadi tradisi di Indonesia. Bahkan kasus yang banyak terjadi adalah pejabat yang sudah jelas-jelas menjadi tersangka korupsi pun bergeming tak mau mundur.

Mereka melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka terpaksa atau dipaksa mundur setelah menyandang gelar terdakwa. Para pejabat itu lupa bahwa jabatan yang diembannya adalah amanah dari rakyat.

Karena itu sungguh tidak pantas ketika mengkhianati kepercayaan tersebut, mereka tetap menduduki jabatannya. Banyak pejabat yang bermasalah berkuping tebal meski banyak masyarakat mengkritik kinerjanya.

Mereka seperti tuli dengan berbagai kritikan agar mundur dari jabatannya. Bahkan ada pejabat yang gagal dalam mengemban tugasnya berani mencalonkan diri lagi tanpa rasa malu.

Salah satu penyebab mereka tidak mau mundur adalah karena sering kali jabatan merupakan hasil dagang sapi. Mereka memandang jabatan adalah cara untuk memperkaya diri dan sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Banyak pejabat menggunakan juru saji mumpung untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat dahulu mendapatkan jabatan tersebut.

Sudah bisa ditebak, pejabat tersebut akhirnya menjadi tidak amanah dan tidak lagi memikirkan rakyatnya. Karena itu, budaya malu dan mundur sudah sepatutnya terus dikembangkan di Indonesia untuk menciptakan para pemimpin yang baik dan amanah, yakni pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat, bukan pemimpin egois yang hanya memikirkan diri, keluarga, dan kelompoknya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8038 seconds (0.1#10.140)