Penjelasan KPK Soal Dua Oknum Jenderal TNI dalam Kasus Bakamla
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada dua oknum jenderal TNI yang bertugas di Badan Keamanan Laut (Bakamla) diduga menerima aliran uang suap proyek satelit monitoring senilai Rp220 miliar di Bakamla dari APBNP 2016.
Dugaan tersebut disampaikan seorang sumber internal KPK. Sumber yang menangani beberapa perkara di KPK ini menuturkan, komitmen fee yang diminta dan disepakati para pihak sebesar lima sampai 7,5 persen dari proyek satelit monitoring Rp220 miliar.
Atau, komitmen fee berkisar Rp11 miliar hingga Rp16,5 miliar. Menurutnya ada oknum jenderal TNI yang menjabat sebagai deputi di Bakamla diduga menerima uang.
"Karena mau ungkap uang komisi yang disebut uang komando," ujar sumber kepada KORAN SINDO, Selasa, 27 Desember 2016.
Sumber ini menggariskan, tersangka pemberi suap petinggi PT Merial Esa Indonesia sekaligus Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (PT MTI) Fahmi Darmawansyah boleh saja mengaku tidak kenal dengan pejabat-pejabat di Bakamla. Namun tim penyidik KPK sudah mengantungi bukti percakapan dan lain-lain yang menguatkan dugaan pemberian suap serta dugaan penerimaan termasuk oleh oknum jenderal tersebut.
"Tergantung oditur militer berani atau enggak ungkap seluruhnya, karena di sini citra TNI dipertaruhkan," ucapnya.
Sementara juru bicara KPK Febri Diansyah dikonfirmasi tidak menampik adanya dugaan keterlibatan oknum pejabat atau jenderal TNI di Bakamla diduga terlibat dalam kasus Eko, Fahmi, dkk. Dia membeberkan, semua informasi terkait kasus suap proyek satelit monitoring di Bakamla serta pihak yang terindikasi menerima suap selain Eko sudah disampaikan dan dikoordinasikan KPK dengan POM TNI. Termasuk saat kedatangan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko ke KPK pada Selasa, 20 Desember 2016.
"Kalau memang itu pihak TNI tentu saja akan lebih tepat yang menyampaikan updatenya adalah POM TNI. Kita belum bisa konfirmasi tentunya siapa saja pihak yang ikut menikmati aliran dana terkait kasus suap ini," beber Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 27 Desember 2016 malam.
Dia menerangkan alasan KPK melakukan koordinasi dengan POM TNI karena diketahui Bakamla terdiri dari berbagai unsur, baik dari unsur militer maupun sipil. Alasan selanjutnya, kata dia untuk mengonsolidasikan beberapa kemungkinan-kemungkinan ke depan.
Misalnya, lanjut dia kebutuhan pertukaran informasi, kebutuhan pencarian data atau kebutuhan pemeriksaan saksi. Koordinasi juga dilakukan karena berdasarkan undang-undang, maka KPK belum bisa menangani perkara yang melibatkan oknum jenderal TNI atau unsur militer.
"Kalau dengan unsur dari kejaksaan, mungkin itu masih sama-sama sipil jadi masih satu ranah hukum. Untuk TNI, ada dua ranah peradilan, ada peradilan militer dan peradilan umum. Maka kita segera melakukan koordinasi," terangnya.
Mantan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini membenarkan dari temuan KPK sebagaimana disampaikan pimpinan KPK sebelumnya bahwa komitmen fee adalah tujuh persen dari nilai proyek Rp220 miliar atau fee sekitar Rp15,5 miliar.
Hanya saja, lanjut Febri saat terjadinya penangakapan terhadap Eko bersama dua tersangka pegawai PT MTI sekaligus Manajer Umum PT Gamlindo Nusa Muhammad Adami Okta dan pegawai PT MTI Hardy Stefanus dengan penerima Eko Susilo disampaikan pada Rabu, 14 Desember baru ditemukan uang Rp2 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
"Nah apakah sudah ada realisasi senilai selisih lainnya, itu memang perlu kami pastikan lagi, karena persentase komitmen fee. Kalau memang ada TNI yang terlibat, sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, porsi KPK adalah koordinasi dan pertukaran informasi," katanya.
Menurutnya, penanganan dugaan keterlibatan oknum jenderal TNI sejauh ini sudah ada itikad baik dari POM TNI. Di sisi lain, publik juga menanti POM TNI bekerja sama dengan KPK untuk melakukan penuntasan kasus suap tersebut dan penanganan oknum jenderal TNI.
"Saya kira komitmen itu juga disampaikan oleh Panglima (TNI), dan kami support betul ketika Panglima menyatakan oknum akan diproses, karena memang bukan institusi yang kita sasar," tandasnya.
Seacara terpisah Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo kaget saat dikonfirmasi dugaan adanya dua oknum jenderal TNI di Bakamla yang diduga menerima suap terkait proyek satelit monitoring dengan komitmen fee uang komando sekitar Rp11 miliar. Didua ada penerimaan sekitar Rp4 miliar sampai Rp5 miliar oleh seorang oknum deputi Bakamla berinisial BU yang berpangkat Laksamana Pertama TNI, dan uang suap diduga diteruskan ke atasan Eko Susilo Hadi dan oknum deputi tersebut.
"Lho hal ini malah saya belum tahu, karena hal prinsip yang saya tekankan bekerja profesional, barang yang kita dapat sesuai spek yang sudah disepakati, dan administrasi pengadaan beres, jadi berapa yang terjanjikan saya belum tahu," ucap Arie saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa, 27 Desember 2016. (Baca: KPK Tetapkan Empat Tersangka Suap Pejabat Bakamla)
Namun dia berjanji akan komitmen mendukung upaya yang dilakukan KPK termasuk pencegahan korupsi. "Seperti yang saya sampaikan saya mendukung upaya KPK untuk mencegah korupsi, dan saya juga sudah koordinasi dengan Panglima TNI dalam hal ini PON TNI. Dalam hal ini (dugaan penerimaan uang-red) bisa saya bilang tidak benar. Saya tidak pernah dilapori kok," ucapnya.
Dugaan tersebut disampaikan seorang sumber internal KPK. Sumber yang menangani beberapa perkara di KPK ini menuturkan, komitmen fee yang diminta dan disepakati para pihak sebesar lima sampai 7,5 persen dari proyek satelit monitoring Rp220 miliar.
Atau, komitmen fee berkisar Rp11 miliar hingga Rp16,5 miliar. Menurutnya ada oknum jenderal TNI yang menjabat sebagai deputi di Bakamla diduga menerima uang.
"Karena mau ungkap uang komisi yang disebut uang komando," ujar sumber kepada KORAN SINDO, Selasa, 27 Desember 2016.
Sumber ini menggariskan, tersangka pemberi suap petinggi PT Merial Esa Indonesia sekaligus Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (PT MTI) Fahmi Darmawansyah boleh saja mengaku tidak kenal dengan pejabat-pejabat di Bakamla. Namun tim penyidik KPK sudah mengantungi bukti percakapan dan lain-lain yang menguatkan dugaan pemberian suap serta dugaan penerimaan termasuk oleh oknum jenderal tersebut.
"Tergantung oditur militer berani atau enggak ungkap seluruhnya, karena di sini citra TNI dipertaruhkan," ucapnya.
Sementara juru bicara KPK Febri Diansyah dikonfirmasi tidak menampik adanya dugaan keterlibatan oknum pejabat atau jenderal TNI di Bakamla diduga terlibat dalam kasus Eko, Fahmi, dkk. Dia membeberkan, semua informasi terkait kasus suap proyek satelit monitoring di Bakamla serta pihak yang terindikasi menerima suap selain Eko sudah disampaikan dan dikoordinasikan KPK dengan POM TNI. Termasuk saat kedatangan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko ke KPK pada Selasa, 20 Desember 2016.
"Kalau memang itu pihak TNI tentu saja akan lebih tepat yang menyampaikan updatenya adalah POM TNI. Kita belum bisa konfirmasi tentunya siapa saja pihak yang ikut menikmati aliran dana terkait kasus suap ini," beber Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 27 Desember 2016 malam.
Dia menerangkan alasan KPK melakukan koordinasi dengan POM TNI karena diketahui Bakamla terdiri dari berbagai unsur, baik dari unsur militer maupun sipil. Alasan selanjutnya, kata dia untuk mengonsolidasikan beberapa kemungkinan-kemungkinan ke depan.
Misalnya, lanjut dia kebutuhan pertukaran informasi, kebutuhan pencarian data atau kebutuhan pemeriksaan saksi. Koordinasi juga dilakukan karena berdasarkan undang-undang, maka KPK belum bisa menangani perkara yang melibatkan oknum jenderal TNI atau unsur militer.
"Kalau dengan unsur dari kejaksaan, mungkin itu masih sama-sama sipil jadi masih satu ranah hukum. Untuk TNI, ada dua ranah peradilan, ada peradilan militer dan peradilan umum. Maka kita segera melakukan koordinasi," terangnya.
Mantan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini membenarkan dari temuan KPK sebagaimana disampaikan pimpinan KPK sebelumnya bahwa komitmen fee adalah tujuh persen dari nilai proyek Rp220 miliar atau fee sekitar Rp15,5 miliar.
Hanya saja, lanjut Febri saat terjadinya penangakapan terhadap Eko bersama dua tersangka pegawai PT MTI sekaligus Manajer Umum PT Gamlindo Nusa Muhammad Adami Okta dan pegawai PT MTI Hardy Stefanus dengan penerima Eko Susilo disampaikan pada Rabu, 14 Desember baru ditemukan uang Rp2 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
"Nah apakah sudah ada realisasi senilai selisih lainnya, itu memang perlu kami pastikan lagi, karena persentase komitmen fee. Kalau memang ada TNI yang terlibat, sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, porsi KPK adalah koordinasi dan pertukaran informasi," katanya.
Menurutnya, penanganan dugaan keterlibatan oknum jenderal TNI sejauh ini sudah ada itikad baik dari POM TNI. Di sisi lain, publik juga menanti POM TNI bekerja sama dengan KPK untuk melakukan penuntasan kasus suap tersebut dan penanganan oknum jenderal TNI.
"Saya kira komitmen itu juga disampaikan oleh Panglima (TNI), dan kami support betul ketika Panglima menyatakan oknum akan diproses, karena memang bukan institusi yang kita sasar," tandasnya.
Seacara terpisah Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo kaget saat dikonfirmasi dugaan adanya dua oknum jenderal TNI di Bakamla yang diduga menerima suap terkait proyek satelit monitoring dengan komitmen fee uang komando sekitar Rp11 miliar. Didua ada penerimaan sekitar Rp4 miliar sampai Rp5 miliar oleh seorang oknum deputi Bakamla berinisial BU yang berpangkat Laksamana Pertama TNI, dan uang suap diduga diteruskan ke atasan Eko Susilo Hadi dan oknum deputi tersebut.
"Lho hal ini malah saya belum tahu, karena hal prinsip yang saya tekankan bekerja profesional, barang yang kita dapat sesuai spek yang sudah disepakati, dan administrasi pengadaan beres, jadi berapa yang terjanjikan saya belum tahu," ucap Arie saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa, 27 Desember 2016. (Baca: KPK Tetapkan Empat Tersangka Suap Pejabat Bakamla)
Namun dia berjanji akan komitmen mendukung upaya yang dilakukan KPK termasuk pencegahan korupsi. "Seperti yang saya sampaikan saya mendukung upaya KPK untuk mencegah korupsi, dan saya juga sudah koordinasi dengan Panglima TNI dalam hal ini PON TNI. Dalam hal ini (dugaan penerimaan uang-red) bisa saya bilang tidak benar. Saya tidak pernah dilapori kok," ucapnya.
(kur)