Menengok Kiprah Politik HT untuk Membangun Ekonomi Lewat Buku
A
A
A
JAKARTA - Nama Hary Tanoesoedibjo (HT) semakin benderang di peta politik Tanah Air. Partai Persatuan Indonesia (Perindo), tempat dia berpolitik selama ini mendapatkan perhatian khalayak luas.
Tidak mengherankan, karena HT menawarkan konsep sangat jelas untuk memakmurkan Indonesia. Tidak berhenti di tataran konsep, gagasannya langsung diterapkan lewat berbagai program Partai Perindo.
Kiprah politik HT ini mengundang ketertarikan Sururi Alfaruq menuliskannya. Dua buku lahir berjudul "Rakyat Bawah Naik Kelas" dan "Mengapa Saya Terjun ke Politik".
Bagi Sururi, sangat menarik untuk menguliti pemikiran seorang HT. Utamanya membangun perekonomian negara dengan kebijakan politik. Dalam rangka menbedah pemikiran ekonomi HT, beberapa pakar membahas isi buku yang dituliskannya di Ruang Auditorium Gedung Sindo, Jakarta, Selasa 13 Desember 2016.
Beberapa pembicara hadir untuk membedah buku tersebut, antara lain Anggito Abimanyu (pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada), Firmanzah (Rektor Paramadina) dan Enny Sri Hartati (Direktur dan peneliti INDEF).
"Beliau ingin mengedepankan aspek politik nontransaksional itu luar biasa, kemudian kerakyatan yang produktif, dari konsumtif ke produktif. Kemudian membangun kembali sektor pertanian sebagai basis industri, penguatan basis kewirausahaan," ujar Anggito.
Anggito memberikan apresiasi, karena ketimpangan kesejahteraan dan pembangunan yang berulangkali disuarakan HT dalam tiap forum dirasanya sangat tepat. Apalagi di tengah langkahnya kepemimpinan yang amanah, profesional dan mandiri. Kehadiran HT, pada akhirnya "sah-sah saja" dianggap Anggito, sebagi warning total reform yang dibutuhkan demokrasi Indonesia.
"Kita membutuhkan total reform dalam total political demokrasi kita," katanya.
Sementara itu, Enny menekankan keluasan visi yang selama ini dimiliki HT dalam berpartai tepat bagi situasi perekonomian Indonesia. Apalagi, jika direalisasikan di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada politik Indonesia.
"Kalau ini beliau tetap sesuai dengan visi yang selama ini disampaikan, apalagi visi yang ada di dalam buku ini nanti betul-betul bisa direalisasikan. Maka ini yang akan membawa perubahan, yang tentu sangat lebih luas lagi," ujar Enny.
Enny menilai gagasan ekonomi yang ditawarkan HT ingin mewujudkan kemandirian bangsa lewat usaha produktif yang merata di semua kalangan. Termasuk juga melindungi pasar dalam negeri lewat berbagai keharusan proteksi yang diterapkan secara politis.
Dia membandingkan dengan Amerika Serikat yang memproteksi 4 ribuan produknya dari serbuan produk luar negeri. Sementara di Indonesia, hanya sekitar 200-an produk yang diperhatikan.
"Artinya diperlukan peran dari kehadiran Pemerintah dalam melakukan proteksi. Taraf proteksinya tentu tidak mungkin barang yang dair luar negeri tidak boleh masuk, tetapi kita bisa menggunakan katakanlah standarisasi," tambahnya.
Pasar bebas, menurutnya, menjadi peluang perluasan produk dalam negeri ke luar, tapi di satu sisi jika di dalam negeri tidak mempersiapkan maka justru menjadi objek, bukan subjek.
Tidak mengherankan, karena HT menawarkan konsep sangat jelas untuk memakmurkan Indonesia. Tidak berhenti di tataran konsep, gagasannya langsung diterapkan lewat berbagai program Partai Perindo.
Kiprah politik HT ini mengundang ketertarikan Sururi Alfaruq menuliskannya. Dua buku lahir berjudul "Rakyat Bawah Naik Kelas" dan "Mengapa Saya Terjun ke Politik".
Bagi Sururi, sangat menarik untuk menguliti pemikiran seorang HT. Utamanya membangun perekonomian negara dengan kebijakan politik. Dalam rangka menbedah pemikiran ekonomi HT, beberapa pakar membahas isi buku yang dituliskannya di Ruang Auditorium Gedung Sindo, Jakarta, Selasa 13 Desember 2016.
Beberapa pembicara hadir untuk membedah buku tersebut, antara lain Anggito Abimanyu (pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada), Firmanzah (Rektor Paramadina) dan Enny Sri Hartati (Direktur dan peneliti INDEF).
"Beliau ingin mengedepankan aspek politik nontransaksional itu luar biasa, kemudian kerakyatan yang produktif, dari konsumtif ke produktif. Kemudian membangun kembali sektor pertanian sebagai basis industri, penguatan basis kewirausahaan," ujar Anggito.
Anggito memberikan apresiasi, karena ketimpangan kesejahteraan dan pembangunan yang berulangkali disuarakan HT dalam tiap forum dirasanya sangat tepat. Apalagi di tengah langkahnya kepemimpinan yang amanah, profesional dan mandiri. Kehadiran HT, pada akhirnya "sah-sah saja" dianggap Anggito, sebagi warning total reform yang dibutuhkan demokrasi Indonesia.
"Kita membutuhkan total reform dalam total political demokrasi kita," katanya.
Sementara itu, Enny menekankan keluasan visi yang selama ini dimiliki HT dalam berpartai tepat bagi situasi perekonomian Indonesia. Apalagi, jika direalisasikan di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada politik Indonesia.
"Kalau ini beliau tetap sesuai dengan visi yang selama ini disampaikan, apalagi visi yang ada di dalam buku ini nanti betul-betul bisa direalisasikan. Maka ini yang akan membawa perubahan, yang tentu sangat lebih luas lagi," ujar Enny.
Enny menilai gagasan ekonomi yang ditawarkan HT ingin mewujudkan kemandirian bangsa lewat usaha produktif yang merata di semua kalangan. Termasuk juga melindungi pasar dalam negeri lewat berbagai keharusan proteksi yang diterapkan secara politis.
Dia membandingkan dengan Amerika Serikat yang memproteksi 4 ribuan produknya dari serbuan produk luar negeri. Sementara di Indonesia, hanya sekitar 200-an produk yang diperhatikan.
"Artinya diperlukan peran dari kehadiran Pemerintah dalam melakukan proteksi. Taraf proteksinya tentu tidak mungkin barang yang dair luar negeri tidak boleh masuk, tetapi kita bisa menggunakan katakanlah standarisasi," tambahnya.
Pasar bebas, menurutnya, menjadi peluang perluasan produk dalam negeri ke luar, tapi di satu sisi jika di dalam negeri tidak mempersiapkan maka justru menjadi objek, bukan subjek.
(mhd)