Presiden yang Mendengar
A
A
A
AKSI damai massa ratusan ribu (bahkan sebagian menyebut jutaan orang) dari seluruh penjuru Indonesia di depan Istana Merdeka untuk mendesak penegakan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Jumat lalu (4/11) berlangsung aman, tertib, dan damai sejak pagi hingga sore hari.
Aksi damai yang mendapat apresiasi positif dari masyarakat itu pun tiba-tiba berubah ricuh setelah aparat kepolisian menghujani gas air mata di tengah kerumunan massa ketika perwakilan mereka sedang melakukan negosiasi dengan perwakilan pemerintah, yaitu Wapres Jusuf Kalla yang didampingi Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian serta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Perwakilan massa ingin bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan tuntutannya, tetapi keinginan itu tidak terpenuhi karena Presiden sedang berada di luar Istana.
Terjadilah drama dan ketegangan yang mencekam hingga akhirnya massa memutuskan mundur dari posisi di depan Istana untuk meminimalisasi jumlah korban. Tercatat ada sejumlah massa yang luka-luka akibat tembakan gas air mata, bahkan disebut seorang korban meninggal dunia. Tentu kejadian ini patut kita sesalkan. Aksi damai tersebut semestinya disikapi dengan arif dan bijak oleh pemerintah dalam hal ini aparat keamanan. Apalagi pengunjuk rasa begitu menjaga dan menaati tata tertib seperti diatur dalam undang-undang dan peraturan lain. Pendekatan keamanan seperti ini mestinya tidak perlu dilakukan karena proses negosiasi sedang berlangsung.
Penyampaian pendapat adalah hak yang dijamin konstitusi. Pemerintah wajib memberi ruang serta mendengarkan tuntutan masyarakat kemudian melaksanakan tuntutan itu. Massa telah berkomitmen sejak awal untuk menjaga ketertiban dan kedamaian. Semestinya aparat yang mewakili pemerintah di garis depan juga demikian. Bagaimanapun mereka adalah warga negara kita yang juga tentu sangat cinta terhadap negara dan bangsanya.
Sikap Presiden Jokowi yang enggan menemui dan berdialog dengan perwakilan pengunjuk rasa juga patut disayangkan. Tidak seharusnya Presiden yang dikenal merakyat ini tidak menemui mereka seperti halnya dilakukan pada unjuk rasa lain. Bisa saja Presiden memiliki agenda lain di hari itu. Atau Presiden memiliki pandangan lain sehingga memutuskan tidak menemui para pengujung rasa.
Memang tidak ada kewajiban setiap pengunjuk rasa harus direspons atau ditemui langsung oleh Presiden. Karena Presiden memiliki wewenang menunjuk perwakilan atau menentukan prioritas agendanya. Namun kita melihat dalam kasus demo ini justru Presiden yang dirugikan karena enggan menemui mereka. Presiden akan kehilangan kesempatan emas yang sangat berharga untuk bertemu dan berdialog dengan perwakilan massa yang juga terdiri atas ulama, ustaz, dan kiai itu.
Jika menemui, Presiden bisa bertatap muka, berdialog interaktif sehingga pesan-pesan yang disampaikan bisa ditangkap secara utuh tanpa distorsi atau bias. Mendengar dan berdiskusi langsung akan lebih mampu menyelesaikan masalah daripada hanya dengan bahasa tulis, percakapan jarak jauh atau melalui perantara lain.
Dalam hal komunikasi politik sebenarnya Presiden Jokowi memiliki kepiawaian khusus hingga mampu meraup simpati masyarakat pada Pilpres 2014 maupun Pilgub 2012. Namun belakangan gaya itu sedikit berubah. Kita tidak tahu apa alasan pasti Presiden tidak hadir di tengah masyarakat yang ingin menemuinya. Beberapa hari sebelum ratusan ribu orang berdemo di Istana, Presiden melakukan manuver politik yang sangat baik dengan menemui rivalnya pada pilpres lalu Prabowo Subianto di kediamannya. Presiden juga mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI), pimpinan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ke Istana. Suasana makin adem.
Namun justru pada puncaknya Presiden berhalangan menemui mereka. Sekali lagi ini hak Presiden. Tapi hak rakyat juga untuk bisa bertemu dan berdialog dengan mereka, apalagi sudah ada agenda yang jelas, yakni mendorong tegaknya proses hukum. Kita berharap ke depan Presiden lebih peka lagi untuk mendengarkan keluh kesah rakyatnya. Bukankah dari keluh kesah yang didengarkan itulah kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya bisa terus terjaga?
Aksi damai yang mendapat apresiasi positif dari masyarakat itu pun tiba-tiba berubah ricuh setelah aparat kepolisian menghujani gas air mata di tengah kerumunan massa ketika perwakilan mereka sedang melakukan negosiasi dengan perwakilan pemerintah, yaitu Wapres Jusuf Kalla yang didampingi Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian serta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Perwakilan massa ingin bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan tuntutannya, tetapi keinginan itu tidak terpenuhi karena Presiden sedang berada di luar Istana.
Terjadilah drama dan ketegangan yang mencekam hingga akhirnya massa memutuskan mundur dari posisi di depan Istana untuk meminimalisasi jumlah korban. Tercatat ada sejumlah massa yang luka-luka akibat tembakan gas air mata, bahkan disebut seorang korban meninggal dunia. Tentu kejadian ini patut kita sesalkan. Aksi damai tersebut semestinya disikapi dengan arif dan bijak oleh pemerintah dalam hal ini aparat keamanan. Apalagi pengunjuk rasa begitu menjaga dan menaati tata tertib seperti diatur dalam undang-undang dan peraturan lain. Pendekatan keamanan seperti ini mestinya tidak perlu dilakukan karena proses negosiasi sedang berlangsung.
Penyampaian pendapat adalah hak yang dijamin konstitusi. Pemerintah wajib memberi ruang serta mendengarkan tuntutan masyarakat kemudian melaksanakan tuntutan itu. Massa telah berkomitmen sejak awal untuk menjaga ketertiban dan kedamaian. Semestinya aparat yang mewakili pemerintah di garis depan juga demikian. Bagaimanapun mereka adalah warga negara kita yang juga tentu sangat cinta terhadap negara dan bangsanya.
Sikap Presiden Jokowi yang enggan menemui dan berdialog dengan perwakilan pengunjuk rasa juga patut disayangkan. Tidak seharusnya Presiden yang dikenal merakyat ini tidak menemui mereka seperti halnya dilakukan pada unjuk rasa lain. Bisa saja Presiden memiliki agenda lain di hari itu. Atau Presiden memiliki pandangan lain sehingga memutuskan tidak menemui para pengujung rasa.
Memang tidak ada kewajiban setiap pengunjuk rasa harus direspons atau ditemui langsung oleh Presiden. Karena Presiden memiliki wewenang menunjuk perwakilan atau menentukan prioritas agendanya. Namun kita melihat dalam kasus demo ini justru Presiden yang dirugikan karena enggan menemui mereka. Presiden akan kehilangan kesempatan emas yang sangat berharga untuk bertemu dan berdialog dengan perwakilan massa yang juga terdiri atas ulama, ustaz, dan kiai itu.
Jika menemui, Presiden bisa bertatap muka, berdialog interaktif sehingga pesan-pesan yang disampaikan bisa ditangkap secara utuh tanpa distorsi atau bias. Mendengar dan berdiskusi langsung akan lebih mampu menyelesaikan masalah daripada hanya dengan bahasa tulis, percakapan jarak jauh atau melalui perantara lain.
Dalam hal komunikasi politik sebenarnya Presiden Jokowi memiliki kepiawaian khusus hingga mampu meraup simpati masyarakat pada Pilpres 2014 maupun Pilgub 2012. Namun belakangan gaya itu sedikit berubah. Kita tidak tahu apa alasan pasti Presiden tidak hadir di tengah masyarakat yang ingin menemuinya. Beberapa hari sebelum ratusan ribu orang berdemo di Istana, Presiden melakukan manuver politik yang sangat baik dengan menemui rivalnya pada pilpres lalu Prabowo Subianto di kediamannya. Presiden juga mengundang Majelis Ulama Indonesia (MUI), pimpinan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ke Istana. Suasana makin adem.
Namun justru pada puncaknya Presiden berhalangan menemui mereka. Sekali lagi ini hak Presiden. Tapi hak rakyat juga untuk bisa bertemu dan berdialog dengan mereka, apalagi sudah ada agenda yang jelas, yakni mendorong tegaknya proses hukum. Kita berharap ke depan Presiden lebih peka lagi untuk mendengarkan keluh kesah rakyatnya. Bukankah dari keluh kesah yang didengarkan itulah kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya bisa terus terjaga?
(kri)