Kinerja Jaksa Agung Dinilai Coreng Citra Jokowi-JK
A
A
A
JAKARTA - Setara Institute menyoroti kinerja Jaksa Agung M Prasetyo terkait penilaiannya terhadap kinerja dua tahun Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Menurut Ketua Setara Institite, Hendardi, banyak isu krusial terkait penegakan hukum selama dua tahun Pemerintah Jokowi-JK. Salah satunya pelaksanaan eksekusi mati dan kinerja Jaksa Agung M Prasetyo.
Dia menilai eksekusi pelaksaan eksekusi yang terakhir dilakukan Kejagung menyisakan sejumlah persoalan serius.
"Dalam rangka evaluasi dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK, perlu disorot khususnya terhadap isu krusial hukuman mati terutama dikaitkan dengan peran dan kinerja Jaksa Agung seperti eksekusi mati gelombang III," tutur Hendardi melalui siaran persnya, Senin (24/10/2016).
Dia menyesalkan langkah M Prasetyo yang memberikan perintah eksekusi mati atas terpidana mati Seck Osmane dan Humprey Ejike Aweleke. Keduanya adalah warga negara Nigeria yang sedang mengajukan grasi untuk kedua kalinya.
Menurut dia, keputusan mengeksekusi keduanya telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang menyebut grasi boleh diajukan lebih dari satu kali.
"Bahkan Jaksa Agung juga melampaui kewenangan Presiden Jokowi, pihak yang sedang dituju oleh terpidana untuk memberikan pengampunan melalui grasi," katanya.
Hendardi menyebut sejak menjabat menjadi Jaksa Agung, tidak ada prestasi yang berarti dibuat Prasetyo, kecuali menjalankan eksekusi mati. "M Prasetyo lolos dari dua kali episode perombakan kabinet karena seolah-olah bekerja menegakkan hukum, padahal hanya membangun citra tanpa substansi," tuturnya. (Baca juga: Diminta Mundur, Jaksa Agung: Enggak Ada Urusannya Itu)
Menurut dia, kinerja Prasetyo tidak hanya hanya mencoreng wajah kabinet dan Presiden Jokowi, tetapi berimplikasi terhadap kinerja Kejaksaan Agung yang berdampak terhadap melemahnya kepercayaan publik institusi tersebut.
Sekader diketahui, sebelumnya Kejagung telah mengeksekusi empat terpidana mati kasus narkoba, yakni Humprey Ejike, Seck Osmane, Freddy Budiman dan Michael Titus.
Menurut Ketua Setara Institite, Hendardi, banyak isu krusial terkait penegakan hukum selama dua tahun Pemerintah Jokowi-JK. Salah satunya pelaksanaan eksekusi mati dan kinerja Jaksa Agung M Prasetyo.
Dia menilai eksekusi pelaksaan eksekusi yang terakhir dilakukan Kejagung menyisakan sejumlah persoalan serius.
"Dalam rangka evaluasi dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK, perlu disorot khususnya terhadap isu krusial hukuman mati terutama dikaitkan dengan peran dan kinerja Jaksa Agung seperti eksekusi mati gelombang III," tutur Hendardi melalui siaran persnya, Senin (24/10/2016).
Dia menyesalkan langkah M Prasetyo yang memberikan perintah eksekusi mati atas terpidana mati Seck Osmane dan Humprey Ejike Aweleke. Keduanya adalah warga negara Nigeria yang sedang mengajukan grasi untuk kedua kalinya.
Menurut dia, keputusan mengeksekusi keduanya telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang menyebut grasi boleh diajukan lebih dari satu kali.
"Bahkan Jaksa Agung juga melampaui kewenangan Presiden Jokowi, pihak yang sedang dituju oleh terpidana untuk memberikan pengampunan melalui grasi," katanya.
Hendardi menyebut sejak menjabat menjadi Jaksa Agung, tidak ada prestasi yang berarti dibuat Prasetyo, kecuali menjalankan eksekusi mati. "M Prasetyo lolos dari dua kali episode perombakan kabinet karena seolah-olah bekerja menegakkan hukum, padahal hanya membangun citra tanpa substansi," tuturnya. (Baca juga: Diminta Mundur, Jaksa Agung: Enggak Ada Urusannya Itu)
Menurut dia, kinerja Prasetyo tidak hanya hanya mencoreng wajah kabinet dan Presiden Jokowi, tetapi berimplikasi terhadap kinerja Kejaksaan Agung yang berdampak terhadap melemahnya kepercayaan publik institusi tersebut.
Sekader diketahui, sebelumnya Kejagung telah mengeksekusi empat terpidana mati kasus narkoba, yakni Humprey Ejike, Seck Osmane, Freddy Budiman dan Michael Titus.
(dam)