Membangun Jakarta

Jum'at, 23 September 2016 - 10:12 WIB
Membangun Jakarta
Membangun Jakarta
A A A
PERPOLITIKAN nasional kembali menggeliat. Dinamika ini muncul sebagai efek Pilkada DKI Jakarta yang menyeret secara langsung pucuk pimpinan partai politik. Kondisi ini bukan semata tercipta karena DKI Jakarta merupakan ibu kota negara, tetapi juga terkait dengan kompleksitas persoalan yang melatarinya, mulai dari kepentingan politik, ekonomi maupun ideologi.

Sah-sah saja Pilkada DKI Jakarta menjadi ajang pertarungan elite politik nasional. Hanya saja, jangan sampai ingar-bingar politik itu mengeliminasi substansi utama dari pilkada, yakni untuk membangun DKI Jakarta. Dinamika politik yang terjadi, termasuk di dalamnya perebutan kepemimpinan, hanya merupakan instrumen antara. Wajah Jakarta seperti apa ke depanlah yang mesti menjadi fokus perhatian utama.

Wajah Jakarta sejatinya sudah diimajinasikan proklamator Soekarno yang juga peletak fondasi masterplan Ibu Kota. Saat menyampaikan pidato HUT Jakarta ke-435 pada 1962, tokoh yang akrab dengan sapaan Bung Karno itu mengajak semua komponen bangsa membangun Jakarta semegah-megahnya. Namun dia menggariskan bahwa megah yang dimaksud bukan saja berdasar indikator material seperti megahnya gedung, monumen, atau indahnya boulevard.

Sebagai ibu kota negara, Jakarta memang harus megah secara fisik dan nonfisik karena secara langsung wajahnya akan mencerminkan kewibawaan dan keberadaban bangsa. Tapi kemegahan tersebut tidak akan bermakna jika masyarakat di dalamnya banyak yang tidak berdaya.

Dalam sejumlah literatur, konsep pemberdayaan merupakan hasil kerja dari proses interaktif ideologis maupun praksis. Secara ideologis membutuhkan pendekatan top down dan bottom-up, sedangkan secara praksis mensyaratkan pertarungan antarotonomi. Selain itu, konsep pemberdayaan juga mengandung konteks keberpihakan pada wong cilik.

Belakangan visi Bung Karno dan implementasi strategi pemberdayaan terasa mengalami alienasi. Kemegahan yang didambakan diperkecil hanya pada pemahaman materialistis: apartemen menjulang, taman indah, jalan lancar, reklamasi, dan lainnya. Pendek kata, Jakarta harus seperti Singapura!

Tidak salah memang. Tapi jika mayoritas masyarakat Jakarta tidak berdaya, siapakah yang bakal mengisi gedung-gedung tinggi nan mewah dan mewarnai kota baru hasil reklamasi, misalnya?

Di sisi lain, pembangunan yang dilakukan juga tidak mencerminkan pemberdayaan masyarakat sesungguhnya. Pemprov DKI Jakarta secara gamblang menghegemoni ideologi dengan memaksakan kehendaknya seperti main gusur.

Tidak ada dialog atau interaksi top down dan bottom-up. Seolah-olah mereka sangat paham bahwa itulah kebutuhan wong cilik. Celakanya tolok ukur penggusuran yang biasanya dibungkus dengan alasan penyebab banjir, tanah milik negara, atau mengganggu keindahan sering kali tidak diterapkan secara adil terhadap pihak lain yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan.

Mereka hanya bisa menerima pemaksaan dan lambat laun ketidakberdayaan itu akan membuat mereka tersingkir dari tempat mereka mendapatkan kehidupan. Kalau faktanya demikian, siapakah nanti yang akan menikmati kemegahan Jakarta?

Membangun kemegahan fisik dan memberdayakan wong cilik memang sulit diselaraskan. Membangun fisik bisa dituntaskan dalam tempo lima tahunan, sedangkan memberdayakan manusia membutuhkan kesabaran dan kesinambungan. Tapi bukan berarti demi mengejar kesuksesan dan pencitraan yang kini secara pragmatis digembar-gemborkan sebagai tolok ukur tunggal keberhasilan pemerintahan, nasib wong cilik serta-merta dinegasikan.

Berangkat dari fakta yang ada, dalam Pilkada 2017 nanti warga Jakarta harus mampu mencari pemimpin yang mampu membangun Jakarta secara utuh seperti menjadi visi Bung Karno, yakni menjadikan Jakarta gagah luar dalam. Hal ini bisa terwujud jika sang pemimpin yang dipilih adalah yang bersedia berdialog dengan wong cilik dan menjadikan mereka tujuan utama pembangunan, bukan hanya menjadikannya sebagai tumbal pembangunan.

Pemimpin yang mau mewujudkan harapan itu tentu yang mempunyai rasa keberpihakan kepada wong cilik, bukan kepada pengembang yang biasanya menjadi tuhan pada urusan pembangunan kemegahan dan keindahan!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2107 seconds (0.1#10.140)