Kasus Century dan SKL BLBI Tutup Buku
A
A
A
JAKARTA - Suhu udara malam di Tanakita Camping Ground yang terletak di kaki Gunung Pangrango, Cisaat, Kabupaten Sukabumi begitu menusuk tulang. Tapi ratusan jurnalis yang mengikuti Media Gathering Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "Jurnalis Lawan Korupsi" seolah tidak peduli.
Selepas berbedang asik dengan tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata disertai games kelompok, para jurnalis kemudian terbagi dengan sendirinya dalam perbincangan santai dengan dua pimpinan. Sementara beberapa yang lain asyik berdendang sendiri dan berbincang dengan jajaran KPK lainnya.
Perbincangan dengan dua pimpinan yang masih bertahan hingga larut malam disuguhkan dengan materi penanganan berbagai macam kasus korupsi. Mulai dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), perkara yang masih disidang, perkara yang masih penyidikan atau penyelidikan, hingga bagaimana kelanjutan penanganannya.
Puluhan jurnalis kaget saat seorang pimpinan KPK memastikan bahwa dua kasus besar yang mendapat sorotan masyarakat tidak akan dilanjutkan alias tutup buku.
Kasus yang dimaksud, pertama, kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau lebih dikenal dengan bailout Bank Century.
Dalam perkara ini, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya sudah menjadi terpidana dengan pidana penjara 15 tahun. Perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak April 2016. Budi Mulya kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.
Kedua, kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Perkara SKL BLBI dalam tahap penyelidikan sebelum pimpinan KPK 2015-2019 resmi menjabat.
Pimpinan KPK tersebut mengakui, dalam putusan atas nama Budi Mulya memang disebutkan perbuatan pidananya dilakukan bersama-sama Gubernur dan Deputi BI saat itu. Tetapi tetap saja pimpinan sudah memutuskan dan mengambil kesimpulan bahwa perkara Century tak akan dilanjutkan. Apalagi, kasus SKL BLBI yang hanya berstatus penyelidikan di KPK.
Ada beberapa alasan yang disodorkan pimpinan tersebut. Ada dua alasan krusial. Pertama, pimpinan KPK periode 2015-2019 bersepakat bahwa pertanggungjawaban pidana harus dilihat dengan pengembalian kerugian negara. Kalau pihak selain Budi Mulya dalam perkara Century atau terduga dalam perkara SKL BLBI ditersangkakan apakah pihak tersebut bermanfaat bagi pengembalian kerugian negara. Kalau tidak ada pengembalian kerugian negara maka untuk apa ditersangkakan.
"Ya meski ada putusan inkracht harus dilihat dulu peran pihak yang bersama-sama Budi Mulya. Makanya bermanfaat untuk pengembalian kerugian negara tidak?" ujar pimpinan tersebut.
Kedua, khusus untuk SKL BLBI penyelidik KPK kesulitan mendapat minimal dua alat bukti yang cukup untuk penetapan tersangka. Padahal patut dicatat, penyelidikan KPK terkait kasus SKL BLBI dimulai sejak era pimpinan KPK Jilid II yang diketuai Antasari Azhar.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun. Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Pimpinan KPK tadi kemudian sedikit menceritakan bagaimana respons KPK terkait putusan praperadilan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999 yang sudah inkracht.
Pengadilan memastikan, penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka korupsi pajak BCA oleh KPK adalah tidak sah. Bahkan hakim memutuskan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan.
Pimpinan tadi menceritakan, dengan ditolaknya Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan KPK di Mahkamah Agung (MA) atas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) maka KPK kasus ini seperti tidak hidup dan tidak juga mati di KPK. Artinya kasus ini diendapkan.
Mendengar cerita itu, beberapa jurnalis yang tadinya merapat satu demi satu beranjak pergi. Raut pesimistis tampak dari pekerja media ini. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana bisa tiga kasus besar yang mendapat perhatian publik itu dipetieskan.
Harapan yang tadinya tumbuh dan membumbung di atas pundak pimpinan KPK 2015-2019 akibat operasi tangkapan tangan (OTT) yang demikian masif hampir setiap bulan, seolah sirna sudah. Terbang bersama semilir angin di Tanakita Camping Ground, Jumat 19 Agustus 2016.
Sebagian lain geleng-geleng kepala dan penuh spekulasi apakah langkah mempetieskan perkara Bailout Century, SKL BLBI, dan pajak BCA karena desakan politik atau pesan pihak-pihak tertentu.
Jauh sebelum peristiwa itu, tiga pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, dan Laode Muhamad Syarif bertandang atau melakukan kunjungan ke redaksi Koran Sindo dan MNC Group. Bertempat di Auditorium Gedung Sindo, Rabu 23 Maret 2016, ketiga berdiskusi dan mengungkap arah KPK di bawah pimpinan 2015-2019.
Diskusi yang berlangsung hangat dan disertai canda ini sedikit terhenyak saat seorang pegawai MNC Group mempertanyakan bagaimana kelanjutan kasus bailout Bank Century dan SKL BLBI di KPK. Para pimpinan KPK senada berujar dua kasus itu masuk dalam fokus KPK. Di ujung penyampaian terkait dua kasus itu, seorang pimpinan menyampaikan pernyataan sarat makna. "Kita tidak ingin mempermalukan simbol negara."
Jajaran redaksi Koran Sindo dan MNC Media di bawah MNC Group terhenyak. Beberapa di antaranya tak percaya dengan pernyataan yang dikeluarkan pimpinan KPK.
Pernyataan pimpinan itu jelas sekali tafsirnya, KPK tidak mungkin mentersangkakan Boediono (Wakil Presiden 2009-2014 dan mantan gubernur BI) dalam kasus Century dan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5) dalam kasus SKL BLBI.
Bila memutar memori kita ke belakang, kita pasti paham betul bahwa dalam persidangan dan putusan Budi Mulya termaktub bahwa Budi Mulya melakukan pidananya bersama-sama dengan mantan Gubernur BI Boediono, mantan Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjriyah, mantan Deputi Gubernur Muliaman Dharmansyah Hadad (kini Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan), mantan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom.
Selanjutnya, mantan Deputi Gubernur (alm) S Budi Rochadi, Robert Tantular, Harmanus H Muslim, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede. Satu majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta bahkan menilai mantan Ketua KSSK sekaligus mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga dinilai bersama-sama melakukan korupsi.
Nadya Mulya, putri Budi Mulya beberapa kali mengungkapkan pernyataan emosional terkait putusan pidana sang ayah. Putusan demikian tinggi bagi ayahnya hingga di tingkat Mahkamah Agung disebut Nadya sangat tidak adil.
Semakin tidak adil bila hanya ayahnya yang masuk penjara dan menjadi korban tunggal. Sedangkan pihak lain yang bersama-sama Budi Mulya tidak dijerat KPK.
"Saya merasa ayah saya sudah diperlakukan tidak adil karena pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya, belum dimintai pertanggungjawabannya di hadapan hukum. Peran ayah saya sangat kecil dan sekadar tukang bayar atas keputusan oleh pihak lain yang lebih berkuasa,” tegas Nadya.
Sementara dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi SKL BLBI, KPK sudah memintai keterangan puluhan pihak terperiksa. Mereka di antaranya, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro Jakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, mantan Menteri BUMN Rini M Soemarno (kini Menteri BUMN di Kabinet Kerja Jokowi), Menko Perekonomian 1999-2000, dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.
Ihwal penanganan kasus Century dan SKL BLBI di KPK pernah digugat Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman lewat jalur praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). PN Jaksel memutuskan, memerintahkan KPK melanjutkan penyidikan kasus Bank Century.
Untuk SKL BLBI, PN Jaksel menolak permohonan MAKI agar majelis memutuskan KPK mentersangkakan seseorang yang sudah pernah dimintai keterangan sebagai terperiksa dalam penyelidikan.
Saat diskusi bulanan dengan pewarta, Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, pimpinan KPK mengakui bahwa penanganan, tindak lanjut, dan penuntasan, kasus Century dan SKL BLBI sangat tidak mudah. Syarif punya pengibaratan atas penanganan dua kasus tersebut, terutama upaya penetapan tersangka pertama dalam kasus SKL BLBI atau tersangka baru kasus Century.
"Sebenarnya bukan kita mau melemparkan tanggung jawab ke pimpinan sebelumnya, tapi dalam waktu 12 tahun ini, kalau dulu ingin tangkap ikan di kolam, sekarang di lautan yang sangat besar," kata Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 29 Maret 2016.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak menyatakan, memang sebelumnya pimpinan KPK menyatakan bahwa kasus pajak BCA bisa saja diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) penetapan tersangka lagi untuk Hadi Poernomo.
Dia mengernyitkan dahi saat disinggung bahwa kasus pajak BCA dan beberapa kasus lain sudah tutup buku di KPK. Menurut dia, terkait kasus pajak BCA tetap masih ada kemungkinan ditindaklanjuti. Tapi bersyarat.
"Kalau ada kemungkinan, maka akan ditindaklanjuti. Soal gelar perkara dulu yang disampaikan pimpinan terkait kasus pajak BCA saya coba cek lagi sudah dilakukan sampai sejauh mana," ucap Yuyuk saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 8 September 2016.
Selepas berbedang asik dengan tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata disertai games kelompok, para jurnalis kemudian terbagi dengan sendirinya dalam perbincangan santai dengan dua pimpinan. Sementara beberapa yang lain asyik berdendang sendiri dan berbincang dengan jajaran KPK lainnya.
Perbincangan dengan dua pimpinan yang masih bertahan hingga larut malam disuguhkan dengan materi penanganan berbagai macam kasus korupsi. Mulai dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), perkara yang masih disidang, perkara yang masih penyidikan atau penyelidikan, hingga bagaimana kelanjutan penanganannya.
Puluhan jurnalis kaget saat seorang pimpinan KPK memastikan bahwa dua kasus besar yang mendapat sorotan masyarakat tidak akan dilanjutkan alias tutup buku.
Kasus yang dimaksud, pertama, kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau lebih dikenal dengan bailout Bank Century.
Dalam perkara ini, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya sudah menjadi terpidana dengan pidana penjara 15 tahun. Perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak April 2016. Budi Mulya kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.
Kedua, kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Perkara SKL BLBI dalam tahap penyelidikan sebelum pimpinan KPK 2015-2019 resmi menjabat.
Pimpinan KPK tersebut mengakui, dalam putusan atas nama Budi Mulya memang disebutkan perbuatan pidananya dilakukan bersama-sama Gubernur dan Deputi BI saat itu. Tetapi tetap saja pimpinan sudah memutuskan dan mengambil kesimpulan bahwa perkara Century tak akan dilanjutkan. Apalagi, kasus SKL BLBI yang hanya berstatus penyelidikan di KPK.
Ada beberapa alasan yang disodorkan pimpinan tersebut. Ada dua alasan krusial. Pertama, pimpinan KPK periode 2015-2019 bersepakat bahwa pertanggungjawaban pidana harus dilihat dengan pengembalian kerugian negara. Kalau pihak selain Budi Mulya dalam perkara Century atau terduga dalam perkara SKL BLBI ditersangkakan apakah pihak tersebut bermanfaat bagi pengembalian kerugian negara. Kalau tidak ada pengembalian kerugian negara maka untuk apa ditersangkakan.
"Ya meski ada putusan inkracht harus dilihat dulu peran pihak yang bersama-sama Budi Mulya. Makanya bermanfaat untuk pengembalian kerugian negara tidak?" ujar pimpinan tersebut.
Kedua, khusus untuk SKL BLBI penyelidik KPK kesulitan mendapat minimal dua alat bukti yang cukup untuk penetapan tersangka. Padahal patut dicatat, penyelidikan KPK terkait kasus SKL BLBI dimulai sejak era pimpinan KPK Jilid II yang diketuai Antasari Azhar.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun. Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Pimpinan KPK tadi kemudian sedikit menceritakan bagaimana respons KPK terkait putusan praperadilan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999 yang sudah inkracht.
Pengadilan memastikan, penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka korupsi pajak BCA oleh KPK adalah tidak sah. Bahkan hakim memutuskan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan.
Pimpinan tadi menceritakan, dengan ditolaknya Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan KPK di Mahkamah Agung (MA) atas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) maka KPK kasus ini seperti tidak hidup dan tidak juga mati di KPK. Artinya kasus ini diendapkan.
Mendengar cerita itu, beberapa jurnalis yang tadinya merapat satu demi satu beranjak pergi. Raut pesimistis tampak dari pekerja media ini. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana bisa tiga kasus besar yang mendapat perhatian publik itu dipetieskan.
Harapan yang tadinya tumbuh dan membumbung di atas pundak pimpinan KPK 2015-2019 akibat operasi tangkapan tangan (OTT) yang demikian masif hampir setiap bulan, seolah sirna sudah. Terbang bersama semilir angin di Tanakita Camping Ground, Jumat 19 Agustus 2016.
Sebagian lain geleng-geleng kepala dan penuh spekulasi apakah langkah mempetieskan perkara Bailout Century, SKL BLBI, dan pajak BCA karena desakan politik atau pesan pihak-pihak tertentu.
Jauh sebelum peristiwa itu, tiga pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, dan Laode Muhamad Syarif bertandang atau melakukan kunjungan ke redaksi Koran Sindo dan MNC Group. Bertempat di Auditorium Gedung Sindo, Rabu 23 Maret 2016, ketiga berdiskusi dan mengungkap arah KPK di bawah pimpinan 2015-2019.
Diskusi yang berlangsung hangat dan disertai canda ini sedikit terhenyak saat seorang pegawai MNC Group mempertanyakan bagaimana kelanjutan kasus bailout Bank Century dan SKL BLBI di KPK. Para pimpinan KPK senada berujar dua kasus itu masuk dalam fokus KPK. Di ujung penyampaian terkait dua kasus itu, seorang pimpinan menyampaikan pernyataan sarat makna. "Kita tidak ingin mempermalukan simbol negara."
Jajaran redaksi Koran Sindo dan MNC Media di bawah MNC Group terhenyak. Beberapa di antaranya tak percaya dengan pernyataan yang dikeluarkan pimpinan KPK.
Pernyataan pimpinan itu jelas sekali tafsirnya, KPK tidak mungkin mentersangkakan Boediono (Wakil Presiden 2009-2014 dan mantan gubernur BI) dalam kasus Century dan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5) dalam kasus SKL BLBI.
Bila memutar memori kita ke belakang, kita pasti paham betul bahwa dalam persidangan dan putusan Budi Mulya termaktub bahwa Budi Mulya melakukan pidananya bersama-sama dengan mantan Gubernur BI Boediono, mantan Deputi Gubernur Siti Chalimah Fadjriyah, mantan Deputi Gubernur Muliaman Dharmansyah Hadad (kini Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan), mantan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom.
Selanjutnya, mantan Deputi Gubernur (alm) S Budi Rochadi, Robert Tantular, Harmanus H Muslim, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede. Satu majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta bahkan menilai mantan Ketua KSSK sekaligus mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga dinilai bersama-sama melakukan korupsi.
Nadya Mulya, putri Budi Mulya beberapa kali mengungkapkan pernyataan emosional terkait putusan pidana sang ayah. Putusan demikian tinggi bagi ayahnya hingga di tingkat Mahkamah Agung disebut Nadya sangat tidak adil.
Semakin tidak adil bila hanya ayahnya yang masuk penjara dan menjadi korban tunggal. Sedangkan pihak lain yang bersama-sama Budi Mulya tidak dijerat KPK.
"Saya merasa ayah saya sudah diperlakukan tidak adil karena pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya, belum dimintai pertanggungjawabannya di hadapan hukum. Peran ayah saya sangat kecil dan sekadar tukang bayar atas keputusan oleh pihak lain yang lebih berkuasa,” tegas Nadya.
Sementara dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi SKL BLBI, KPK sudah memintai keterangan puluhan pihak terperiksa. Mereka di antaranya, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro Jakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, mantan Menteri BUMN Rini M Soemarno (kini Menteri BUMN di Kabinet Kerja Jokowi), Menko Perekonomian 1999-2000, dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.
Ihwal penanganan kasus Century dan SKL BLBI di KPK pernah digugat Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman lewat jalur praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). PN Jaksel memutuskan, memerintahkan KPK melanjutkan penyidikan kasus Bank Century.
Untuk SKL BLBI, PN Jaksel menolak permohonan MAKI agar majelis memutuskan KPK mentersangkakan seseorang yang sudah pernah dimintai keterangan sebagai terperiksa dalam penyelidikan.
Saat diskusi bulanan dengan pewarta, Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, pimpinan KPK mengakui bahwa penanganan, tindak lanjut, dan penuntasan, kasus Century dan SKL BLBI sangat tidak mudah. Syarif punya pengibaratan atas penanganan dua kasus tersebut, terutama upaya penetapan tersangka pertama dalam kasus SKL BLBI atau tersangka baru kasus Century.
"Sebenarnya bukan kita mau melemparkan tanggung jawab ke pimpinan sebelumnya, tapi dalam waktu 12 tahun ini, kalau dulu ingin tangkap ikan di kolam, sekarang di lautan yang sangat besar," kata Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 29 Maret 2016.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak menyatakan, memang sebelumnya pimpinan KPK menyatakan bahwa kasus pajak BCA bisa saja diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) penetapan tersangka lagi untuk Hadi Poernomo.
Dia mengernyitkan dahi saat disinggung bahwa kasus pajak BCA dan beberapa kasus lain sudah tutup buku di KPK. Menurut dia, terkait kasus pajak BCA tetap masih ada kemungkinan ditindaklanjuti. Tapi bersyarat.
"Kalau ada kemungkinan, maka akan ditindaklanjuti. Soal gelar perkara dulu yang disampaikan pimpinan terkait kasus pajak BCA saya coba cek lagi sudah dilakukan sampai sejauh mana," ucap Yuyuk saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 8 September 2016.
(kri)