Edy Nasution Didakwa Menjadi Perantara Suap Mantan Sekretaris MA
A
A
A
JAKARTA - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution didakwa menerima suap dengan total mencapai Rp2,3 miliar dari Chairman PT Paramount Enterprise, Eddy Sindoro.
Sebagian uang imbalan mengurus perkara sejumlah perusahaan di Mahkamah Agung melalui di PN Jakpus itu mengalir ke kantong mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
Secara berurutan, Jaksa pada KPK Titto Jaelani membeberkan, uang tersebut diperoleh Edy untuk mengurus tiga kasus. Dalam kasus pertama, Edy menerima Rp1,5 miliar untuk mengurus penolakan PT Jakarta Baru atas pelaksanaan eksekusi lahan yang berada di Tangerang sebagaimana putusan Raad van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940 milik ahli waris TAN HOK TJIOE. Penolakan eksekusi tersebut didaftarkan di PN Jakpus.
Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Internasional Ervan Adi Nugroho yang juga Direktur PT Jakarta Baru bersama Eddy Sindoro selaku penasihat PT Paramount memerintahkan Wresti Kristian Hesti untuk menemui Edy Nasution mengurus pembatalan eksekusi.
Hesti pun langsung menemui Edy Nasution di kantornya. Saat itu juga Hesti melapor kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat memo yang ditujukan kepada Nurhadi selaku Sekretaris MA untuk membantu pengurusan pembatalan eksekusi lahan di Tangerang.
Saat itu, Edy pun menyebut tarif Rp3 miliar untuk mengurus penolakan atas permohonan eksekusi tanah. Tarif tersebut ditentukan oleh Nurhadi. Uang tersebut rencananya untuk membiayai event tenis (Persatuan Tenis Warga Pengadilan) seluruh Indonesia.
Permintaan Edy selanjutnya disampaikan Hesti kepada Eddy Sindoro dan Ervan. Eddy Sindoro tak menyanggupi, dan hanya mampu menyediakan Rp1 miliar.
Terjadi negoisasi dimana pihak Edy Nasution menurunkan tarif menjadi Rp2 miliar. Namun pada akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupi uang sebesar Rp1,5 miliar. Hesti langsung menemui Edy Nasution menyampaikan kesediaan pemberian Rp1,5 miliar untuk mengurus penolakan eksekusi lahan.
"Selanjutnya Hesti menghubungi Doddy untuk mengambil uang tersebut pada Ervan Adi," kata Jaksa pada KPK Titto Jailani saat membacakan dakwaan di pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Rabu (7/9/2016).
Akhirnya, pada 26 Oktober 2015 Doddy bertemu dengan Ervan di PT Paramount untuk mengambil uang Rp1,5 miliar. Kemudian, Doddy menghubungi Edy Nasution untuk bertemu di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat.
"Kemudian terdakwa (Edy Nasution) menerima amplop besar ukuran folio warna coklat dari Doddy berisi uang Rp1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura," terang jaksa Titto.
Setelah menerima itu, lalu Edy Nasution memberitahu Hesti bahwa surat jawaban dari PN Jakarta Pusat Nomor: W10.U1/13076/065.1987.Eks/HT.02.XI.2015.03 November 2015 yang telah ditandatangani DR Gusrizal selaku Ketua PN Jakarta Pusat untuk membatalkan eksekusi lahan.
Dalam kesempatan lainnya, Edy menerima Rp100 juta untuk mengurus penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan Kymco melalui PN Jakarta Pusat. PT MTP harus membayar ganti rugi sebesar USD11.100 terhitung sejak 25 Mei 1996 kepada Kymco.
Karena Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak bisa menghadiri panggilan aanmaning itu, mereka meminta bantuan Wresti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning melalui Edy Nasution.
Wresti menemui Edy di PN Jakpus pada 14 Desember 2015 untuk meminta penundaan aanmaning PT MTP. "Saat itu terdakwa bersedia membantu penundaan pelaksanaan aanmaning dan meminta disediakan uang sebesar Rp100 juta," kata jaksa.
Tak cukup di situ, Edy juga menerima sebesar USD50 ribu ditambah Rp50 juta untuk mengurus pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meski sudah melewati batas waktu.
PT AAL menghadapi gugatan kepailitan melawan PT First Media Tbk dan perkaranya diputus kasasi pada 31 Juli 2013 antara lain menyatakan PT AAL pailit dan salinan diberitahukan kepada PT AAL pada 7 Agustus 2015. Hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum.
Atas perbuatannya, Edy Nasution didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Sebagian uang imbalan mengurus perkara sejumlah perusahaan di Mahkamah Agung melalui di PN Jakpus itu mengalir ke kantong mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
Secara berurutan, Jaksa pada KPK Titto Jaelani membeberkan, uang tersebut diperoleh Edy untuk mengurus tiga kasus. Dalam kasus pertama, Edy menerima Rp1,5 miliar untuk mengurus penolakan PT Jakarta Baru atas pelaksanaan eksekusi lahan yang berada di Tangerang sebagaimana putusan Raad van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940 milik ahli waris TAN HOK TJIOE. Penolakan eksekusi tersebut didaftarkan di PN Jakpus.
Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Internasional Ervan Adi Nugroho yang juga Direktur PT Jakarta Baru bersama Eddy Sindoro selaku penasihat PT Paramount memerintahkan Wresti Kristian Hesti untuk menemui Edy Nasution mengurus pembatalan eksekusi.
Hesti pun langsung menemui Edy Nasution di kantornya. Saat itu juga Hesti melapor kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat memo yang ditujukan kepada Nurhadi selaku Sekretaris MA untuk membantu pengurusan pembatalan eksekusi lahan di Tangerang.
Saat itu, Edy pun menyebut tarif Rp3 miliar untuk mengurus penolakan atas permohonan eksekusi tanah. Tarif tersebut ditentukan oleh Nurhadi. Uang tersebut rencananya untuk membiayai event tenis (Persatuan Tenis Warga Pengadilan) seluruh Indonesia.
Permintaan Edy selanjutnya disampaikan Hesti kepada Eddy Sindoro dan Ervan. Eddy Sindoro tak menyanggupi, dan hanya mampu menyediakan Rp1 miliar.
Terjadi negoisasi dimana pihak Edy Nasution menurunkan tarif menjadi Rp2 miliar. Namun pada akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupi uang sebesar Rp1,5 miliar. Hesti langsung menemui Edy Nasution menyampaikan kesediaan pemberian Rp1,5 miliar untuk mengurus penolakan eksekusi lahan.
"Selanjutnya Hesti menghubungi Doddy untuk mengambil uang tersebut pada Ervan Adi," kata Jaksa pada KPK Titto Jailani saat membacakan dakwaan di pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Rabu (7/9/2016).
Akhirnya, pada 26 Oktober 2015 Doddy bertemu dengan Ervan di PT Paramount untuk mengambil uang Rp1,5 miliar. Kemudian, Doddy menghubungi Edy Nasution untuk bertemu di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat.
"Kemudian terdakwa (Edy Nasution) menerima amplop besar ukuran folio warna coklat dari Doddy berisi uang Rp1,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura," terang jaksa Titto.
Setelah menerima itu, lalu Edy Nasution memberitahu Hesti bahwa surat jawaban dari PN Jakarta Pusat Nomor: W10.U1/13076/065.1987.Eks/HT.02.XI.2015.03 November 2015 yang telah ditandatangani DR Gusrizal selaku Ketua PN Jakarta Pusat untuk membatalkan eksekusi lahan.
Dalam kesempatan lainnya, Edy menerima Rp100 juta untuk mengurus penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan Kymco melalui PN Jakarta Pusat. PT MTP harus membayar ganti rugi sebesar USD11.100 terhitung sejak 25 Mei 1996 kepada Kymco.
Karena Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak bisa menghadiri panggilan aanmaning itu, mereka meminta bantuan Wresti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning melalui Edy Nasution.
Wresti menemui Edy di PN Jakpus pada 14 Desember 2015 untuk meminta penundaan aanmaning PT MTP. "Saat itu terdakwa bersedia membantu penundaan pelaksanaan aanmaning dan meminta disediakan uang sebesar Rp100 juta," kata jaksa.
Tak cukup di situ, Edy juga menerima sebesar USD50 ribu ditambah Rp50 juta untuk mengurus pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meski sudah melewati batas waktu.
PT AAL menghadapi gugatan kepailitan melawan PT First Media Tbk dan perkaranya diputus kasasi pada 31 Juli 2013 antara lain menyatakan PT AAL pailit dan salinan diberitahukan kepada PT AAL pada 7 Agustus 2015. Hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum.
Atas perbuatannya, Edy Nasution didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
(kri)