Keberpihakan Anggaran
A
A
A
DALAM beberapa hari terakhir ini, daerah atau pembangunan daerah menjadi isu di sebagian besar pemberitaan media massa. Apa yang terjadi di daerah memang menjadi menarik dengan berbagai persoalan yang mencuat. Baik pemberitaan yang inspiratif berupa pembangunan, inovasi beberapa kepala daerah, tata kelola pemerintahan, hingga persoalan anggaran, atau sebaliknya, yaitu pemberitaan tentang tindak pidana korupsi. Daerah atau dalam hal ini pemerintahan kabupaten/kota juga bupati dan kepala daerah memang seolah menjadi soko guru bagi pembangunan Indonesia secara nasional.
Jika sebagian besar pembangunan di daerah berhasil, tak dimungkiri akan berpengaruh positif pada pembangunan nasional. Istilah dari daerah untuk Indonesia sungguhlah tepat. Begitu juga jika terjadi isu-isu negatif terkait daerah, akan berpengaruh pada nasional. Tentu juga pengaruhnya negatif. Memang membangun Indonesia bukan hanya berasal dari pusat atau bergantung pada pemerintah pusat meski daerah dan pusat mempunyai keterkaitan erat. Otonomi daerah yang terus bergulir memaksa daerah untuk pintar memainkan perannya dalam pembangunan nasional.
Salah satu peran penting daerah dalam pembangunan nasional adalah keberpihakan anggaran. Ini penting karena ke mana anggaran akan berpihak akan memengaruhi arah pembangunan ke arah yang lebih baik, jalan di tempat atau justru sebaliknya. Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) menyebutkan, dari 554 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 60 daerah yang kaya (KORAN SINDO, 6 September 2016). Tidak dijelaskan secara pasti apa kriteria kabupaten/kota yang kaya. Namun, secara tersirat disebutkan bahwa daerah yang bisa lebih banyak menganggarkan uangnya untuk program pembangunan akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang banyak.
Jika asumsinya seperti itu, hanya baru sekitar 11% kabupaten/ kota yang lebih banyak menganggarkan uangnya untuk pembangunan dibandingkan untuk belanja pegawai. Sisanya, atau sekitar 494 (89%) daerah, masih berkutat pada anggaran untuk membiayai belanja pegawai dibandingkan untuk pembangunan. Jika ini terus menerus terjadi, artinya hanya sekitar 11% daerah yang benar-benar melakukan pembangunan.
Angka ini sangat rendah untuk ikut mendorong pembangunan Indonesia atau nasional. Perbandingan antara 11% dan 89% cukup jauh. Angka tersebut menunjukkan bagaimana masih banyak daerah masih membuat keberpihakan anggaran, bukan pada pembangunan.
Tentu ini bisa diubah melalui tata kelola (good governance) yang bagus, secara perlahan keberpihakan anggaran tersebut bisa diubah. Memang membutuhkan waktu, namun itu harus dimulai. Nah, dengan ini, peran kepala daerah sebagai leader dalam melakukan tata kelola pemerintahan menjadi sangat sentral. Memaksimalkan keterbatasan anggaran pembangunan sehingga akan berdampak pada pertumbuhan PAD dan secara beriring mengefisienkan SDM (sehingga belanja pegawai menjadi berkurang) membutuhkan komitmen kuat dari pemimpinan daerah. Beberapa daerah mampu melakukan ini. Kabupaten Batang di Jawa Tengah ataupun Kota Surabaya di Jawa Timur mampu melakukan hal ini.
Apalagi, saat ini pemerintah pusat menahan kucuran dana alokasi umum (DAU) 169 daerah sebesar Rp19,4 triliun. Kejelian pemimpin daerah untuk bisa tetap membangun di keterbatasan anggaran harus dijadikan tantangan, bukan penghalang. Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo mengatakan, salah satu kunci untuk memaksimalkan anggaran yang terbatas adalah pemimpin daerah harus berperan sebagai manajer. Keterbukaan anggaran sehingga masyarakat juga terlibat melakukan pengawasan membuat anggaran yang terbatas menjadi maksimal.
Apakah bisa? Kembali lagi kepada kepala daerah masing-masing. Jika anggaran terus-menerus hanya berpihak pada belanja pegawai, diyakini pembangunan akan jalan di tempat atau bahkan mundur. Apalagi lagi jika anggaran justru berpihak kepada pribadi kepala daerah dan kroninya, ujungnya adalah sikap koruptif seperti yang terjadi pada beberapa kepala daerah yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika sebagian besar pembangunan di daerah berhasil, tak dimungkiri akan berpengaruh positif pada pembangunan nasional. Istilah dari daerah untuk Indonesia sungguhlah tepat. Begitu juga jika terjadi isu-isu negatif terkait daerah, akan berpengaruh pada nasional. Tentu juga pengaruhnya negatif. Memang membangun Indonesia bukan hanya berasal dari pusat atau bergantung pada pemerintah pusat meski daerah dan pusat mempunyai keterkaitan erat. Otonomi daerah yang terus bergulir memaksa daerah untuk pintar memainkan perannya dalam pembangunan nasional.
Salah satu peran penting daerah dalam pembangunan nasional adalah keberpihakan anggaran. Ini penting karena ke mana anggaran akan berpihak akan memengaruhi arah pembangunan ke arah yang lebih baik, jalan di tempat atau justru sebaliknya. Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) menyebutkan, dari 554 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 60 daerah yang kaya (KORAN SINDO, 6 September 2016). Tidak dijelaskan secara pasti apa kriteria kabupaten/kota yang kaya. Namun, secara tersirat disebutkan bahwa daerah yang bisa lebih banyak menganggarkan uangnya untuk program pembangunan akan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang banyak.
Jika asumsinya seperti itu, hanya baru sekitar 11% kabupaten/ kota yang lebih banyak menganggarkan uangnya untuk pembangunan dibandingkan untuk belanja pegawai. Sisanya, atau sekitar 494 (89%) daerah, masih berkutat pada anggaran untuk membiayai belanja pegawai dibandingkan untuk pembangunan. Jika ini terus menerus terjadi, artinya hanya sekitar 11% daerah yang benar-benar melakukan pembangunan.
Angka ini sangat rendah untuk ikut mendorong pembangunan Indonesia atau nasional. Perbandingan antara 11% dan 89% cukup jauh. Angka tersebut menunjukkan bagaimana masih banyak daerah masih membuat keberpihakan anggaran, bukan pada pembangunan.
Tentu ini bisa diubah melalui tata kelola (good governance) yang bagus, secara perlahan keberpihakan anggaran tersebut bisa diubah. Memang membutuhkan waktu, namun itu harus dimulai. Nah, dengan ini, peran kepala daerah sebagai leader dalam melakukan tata kelola pemerintahan menjadi sangat sentral. Memaksimalkan keterbatasan anggaran pembangunan sehingga akan berdampak pada pertumbuhan PAD dan secara beriring mengefisienkan SDM (sehingga belanja pegawai menjadi berkurang) membutuhkan komitmen kuat dari pemimpinan daerah. Beberapa daerah mampu melakukan ini. Kabupaten Batang di Jawa Tengah ataupun Kota Surabaya di Jawa Timur mampu melakukan hal ini.
Apalagi, saat ini pemerintah pusat menahan kucuran dana alokasi umum (DAU) 169 daerah sebesar Rp19,4 triliun. Kejelian pemimpin daerah untuk bisa tetap membangun di keterbatasan anggaran harus dijadikan tantangan, bukan penghalang. Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo mengatakan, salah satu kunci untuk memaksimalkan anggaran yang terbatas adalah pemimpin daerah harus berperan sebagai manajer. Keterbukaan anggaran sehingga masyarakat juga terlibat melakukan pengawasan membuat anggaran yang terbatas menjadi maksimal.
Apakah bisa? Kembali lagi kepada kepala daerah masing-masing. Jika anggaran terus-menerus hanya berpihak pada belanja pegawai, diyakini pembangunan akan jalan di tempat atau bahkan mundur. Apalagi lagi jika anggaran justru berpihak kepada pribadi kepala daerah dan kroninya, ujungnya adalah sikap koruptif seperti yang terjadi pada beberapa kepala daerah yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(poe)