KPK Pastikan Gubernur Nur Alam Langgar RTRW Sultra
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam yang telah ditetapkan tersangka melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sultra. Hal ini terkait pemberian izin usaha pertambahan untuk PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
Nur Alam merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan Surat Keputusan (SK) No 828 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan seluas 3.024 hektare (Ha), SK Nomor 815 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi seluas 3.084 Ha, dan SK Nomor 435 tentang Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT AHB seluas 3.084 Ha di Kabupaten Buton dan Bombana 2009-2014.
Wakil Ketua KPK Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan menyatakan, pemberian izin pertambangan PT AHB yang dilakukan Nur Alam memang jelas telah secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.
Karena jabatan atau kedudukannya sebagai Gubernur Sultra untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara. Padahal, lahan pertambangan PT AHB berada di antara Kabupaten Buton dengan Bombana yang sedang bersengketa.
Basaria membenarkan, pemberian izin pertambangan tersebut selain melanggar peraturan dan perundang-undngan yang berlaku, juga diduga kuat melanggar RTRW Provinsi Sultra.
"Kan (dulu) sudah dikasi kesempatan untuk benahi izin yang tidak clear and clean. Jadi untuk kasus NA pada intinya adalah (akibat penyalahgunaan kewenangan) NA menerima sesuatu atau uang dari adanya izin yang diberikan," kata Basaria kepada Koran SINDO Jumat (26/8/2016).
Meski menerima uang, tindak pidana Nur Alam tidak masuk dalam delik penyuapan tapi delik perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan.
Basaria mengindikasikan dugaan sementara keuntungan yang diperoleh Nur Alam lebih dari Rp60 miliar.
Tetapi untuk kepastian angkanya, penyidik mesti melakukan pendalaman dan validasi lebih lanjut atas bukti-bukti yang ditemukan. "Masih dijajaki dulu," tandas Basaria.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menambahkan, kasus Nur Alam bukanlah kasus suap meski ada kick back yang diterima Nur Alam sekitar atau lebih dari Rp60 miliar.
Karena, lanjut dia, Nur Alam dikenakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di mana atas perbuatnnya diduga berakibat pada munculnya kerugian negara.
"Kalau jumlah kerugian negaranya sampai saat ini masih dihitung KPK dan juga meminta pihak lain untuk melakukan penghitungan dengan melibatkan pihak ahli maupun pihak pemeriksa. KPK memang memiliki angka sementara tapi sampai saat ini belum bisa kami sampaikan," tegas Priharsa saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/8/2016) malam.
Nur Alam merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan Surat Keputusan (SK) No 828 tentang Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan seluas 3.024 hektare (Ha), SK Nomor 815 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi seluas 3.084 Ha, dan SK Nomor 435 tentang Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT AHB seluas 3.084 Ha di Kabupaten Buton dan Bombana 2009-2014.
Wakil Ketua KPK Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan menyatakan, pemberian izin pertambangan PT AHB yang dilakukan Nur Alam memang jelas telah secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.
Karena jabatan atau kedudukannya sebagai Gubernur Sultra untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara. Padahal, lahan pertambangan PT AHB berada di antara Kabupaten Buton dengan Bombana yang sedang bersengketa.
Basaria membenarkan, pemberian izin pertambangan tersebut selain melanggar peraturan dan perundang-undngan yang berlaku, juga diduga kuat melanggar RTRW Provinsi Sultra.
"Kan (dulu) sudah dikasi kesempatan untuk benahi izin yang tidak clear and clean. Jadi untuk kasus NA pada intinya adalah (akibat penyalahgunaan kewenangan) NA menerima sesuatu atau uang dari adanya izin yang diberikan," kata Basaria kepada Koran SINDO Jumat (26/8/2016).
Meski menerima uang, tindak pidana Nur Alam tidak masuk dalam delik penyuapan tapi delik perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan.
Basaria mengindikasikan dugaan sementara keuntungan yang diperoleh Nur Alam lebih dari Rp60 miliar.
Tetapi untuk kepastian angkanya, penyidik mesti melakukan pendalaman dan validasi lebih lanjut atas bukti-bukti yang ditemukan. "Masih dijajaki dulu," tandas Basaria.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha menambahkan, kasus Nur Alam bukanlah kasus suap meski ada kick back yang diterima Nur Alam sekitar atau lebih dari Rp60 miliar.
Karena, lanjut dia, Nur Alam dikenakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di mana atas perbuatnnya diduga berakibat pada munculnya kerugian negara.
"Kalau jumlah kerugian negaranya sampai saat ini masih dihitung KPK dan juga meminta pihak lain untuk melakukan penghitungan dengan melibatkan pihak ahli maupun pihak pemeriksa. KPK memang memiliki angka sementara tapi sampai saat ini belum bisa kami sampaikan," tegas Priharsa saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/8/2016) malam.
(sms)