Obral Remisi Koruptor Bertentangan dengan Amanah Reformasi
A
A
A
JAKARTA - Obral remisi terhadap narapidana (napi) tindak pidana korupsi dinilai bertentangan dengan amanah reformasi dan semangat pemberantasan korupsi.
Pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menyatakan, sikap antikorupsi bahkan perang terhadap korupsi sesungguhnya amanat utama reformasi.
"Artinya, derivasi atau turunan perlakuan terhadap korupsi harus menjadi perhatian utama. Korupsi harus diberantas melalui tindakan preventif dan kuratif. Tidak cukup hanya dengan retorika hukum," kata Muslimin kepada Koran Sindo, kemarin.
"Tapi tindakan hukum yang komprehensif. Memberikan remisi untuk koruptor adalah tindakan yang berlawanan terhadap sikap di atas. Ini berarti melemahkan sikap perang terhadap korupsi. Lupa amanah reformasi," imbuhnya.
Ketua Program Magister Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah ini menambahkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebenarnya sudah mengakomodir tentang pengetatan aturan untuk remisi koruptor.
Kalau aturan ini tidak dirujuk dan malah diusulkan menjadi lebih longgar, artinya memberikan sinyal pelemahan pemberantasan korupsi. "Tekad untuk pemberantasan korupsi berarti mengalamai pelemahan," tandas Muslimin.
Pernyataan Muslimin berhubungan dengan pemberian remisi terhadap 428 narapidana kasus korupsi bertepatan dengan perayaan HUT RI ke-71 pada 17 Agustus 2016, yang diberikan pemerintah lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dua di antaranya, terpidana tujuh tahun kasus suap pengurusan anggaran proyek pembangunan Wisma Atlet, Sea Games, Palembang (remisi lima bulan). Berikutnya, terpidana 30 tahun kasus dugaan suap pajak dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Gayus Halomoan Tambunan (remisi enam bulan). Kasus Nazaruddin ditangani KPK sedangkan Gayus ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
Pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menyatakan, sikap antikorupsi bahkan perang terhadap korupsi sesungguhnya amanat utama reformasi.
"Artinya, derivasi atau turunan perlakuan terhadap korupsi harus menjadi perhatian utama. Korupsi harus diberantas melalui tindakan preventif dan kuratif. Tidak cukup hanya dengan retorika hukum," kata Muslimin kepada Koran Sindo, kemarin.
"Tapi tindakan hukum yang komprehensif. Memberikan remisi untuk koruptor adalah tindakan yang berlawanan terhadap sikap di atas. Ini berarti melemahkan sikap perang terhadap korupsi. Lupa amanah reformasi," imbuhnya.
Ketua Program Magister Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah ini menambahkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebenarnya sudah mengakomodir tentang pengetatan aturan untuk remisi koruptor.
Kalau aturan ini tidak dirujuk dan malah diusulkan menjadi lebih longgar, artinya memberikan sinyal pelemahan pemberantasan korupsi. "Tekad untuk pemberantasan korupsi berarti mengalamai pelemahan," tandas Muslimin.
Pernyataan Muslimin berhubungan dengan pemberian remisi terhadap 428 narapidana kasus korupsi bertepatan dengan perayaan HUT RI ke-71 pada 17 Agustus 2016, yang diberikan pemerintah lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dua di antaranya, terpidana tujuh tahun kasus suap pengurusan anggaran proyek pembangunan Wisma Atlet, Sea Games, Palembang (remisi lima bulan). Berikutnya, terpidana 30 tahun kasus dugaan suap pajak dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Gayus Halomoan Tambunan (remisi enam bulan). Kasus Nazaruddin ditangani KPK sedangkan Gayus ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
(maf)